Rabu, 02 Juni 2010

STUDI BANDINGAN ANTARA FABEL KARYA LA FONTAINE DAN SATJADIBRATA

Oleh Nila Rahma, Mahasiswa Program Studi Indonesia FIB UI


I. PENDAHULUAN

Di Prancis, seperti halnya di Indonesia, fabel tak habis-habisnya menebarkan daya tariknya yang besar. Di Indonesia, dapat ditemui sejumlah fabel yang berasal dari India dan Eropa yang telah mengalami transformasi. Tak mengherankan lagi jika kita membaca fabel Indonesia yang sama atau mirip dengan fabel yang berasal dari negeri asing, bahkan yang memiliki kultur berbeda.

Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI), fabel berarti cerita yang menggambarkan watak dan budi manusia yang pelakunya diperankan oleh binatang, biasanya berisi pendidikan moral dan budi pekerti. Fabel merupakan karya sastra yang muncul sejak abad ke-17 dan dibawa oleh tradisi klasik.

Fabel karya La Fontaine dan fabel karya Satjadibrata mengandung beberapa ciri yang sama. Aspek-aspek edukatif yang disiratkan dalam cerita-cerita yang mengandung teladan dan lucu ditemukan dalam kedua karya penulis tersebut. Dalam makalah ini, penulis akan membandingkan antara karya fabel La Fontaine dan Satjadibrata. Dengan membandingkan karya tersebut, akan diketahui persamaan dan perbedaan keduanya.


II. STUDI BANDINGAN ANTARA FABEL KARYA LA FONTAINE DAN SATJADIBRATA

2.1. Tentang Pengarang
2.1.1. La Fontaine
Jean de La Fontaine dilahirkan pada tanggal 8 Juli 1621 di Chateu-Thierry. Nenek moyangnya berasal dari Champagne. Ayahnya berkedudukan sebagai penasihat raja dan bekerja sebagai pengurus pengairan dan kebutuhan swasta. Pada saat dewasa, Jean de La Fontaine pun melakukan pekerjaan serupa. Ibunya, Francoise Pidoux, adalah keturunan keluarga dokter kerajaan, namun telah wafat saat ia masih kecil.

Dengan perantara paman istrinya, Jannart, Jean de la Fontaine berkenalan dengan Fouquet, menteri keuangan Prancis pada waktu itu. Pada masa itu, para seniman, baik penulis, maupun pelukis lazim memiliki pelindung yang membiayai hidup mereka. Para pelindung terdiri dari orang-orang penting di masyarakat.

Pada tahun 1641, ia belajar di Oratoire yang ditinggalkannya setahun kemudian. Selanjutnya, ia mempelajari teologia di Seminari di Juilly. Di sana, ia tidak termasuk murid yang baik sehingga ayahnya memintanya untuk mempelajari ilmu hukum. Dari sana, La Fontaine memperoleh gelar “Pengacara Parlemen”. Sebenarnya, pekerjaan ini tidak menarik minatnya, namun dari sini ia belajar seni argumentasi yang ternyata sangat berguna dalam penulisan karya-karyanya di kemudian hari. Pada masa belajarnya saat itu, ia menjadi anggota Table Ronde, suatu kelompok kecil yang beranggotakan para penyair muda yang sering hadir di istana.

Sejak masa kanak-kanak, ayahnya telah mendorongnya untuk mempelajari puisi. Jean de la Fontaine sangat gemar membaca. Sejak kecil, ia membaca roman, cerita, dan puisi. Saat menggantikan tugas ayahnya sebagai pengurus pengairan dan kehutanan adalah masa yang mempengaruhi pengembangan bakatnya sebagai pencerita atau pengarang fabel. Dalam tugasnya, ia seringkali berkelana di daerah pedesaan dan hutan-hutan. Di sana ia menemukan rahasia dunia binatang dan tumbuh-tumbuhan.

La Fontaine menerbitkan kumpulan fabel pertamanya pada tahun 1668 pada usia 40 tahun. Ia menerbitkan Eunuque, terjemahannya pada Agustus 1653. Pada tahun 1658, ia menulis sebuah puisi berjudul "Adonis". Untuk menghormati Fouquet, ia menulis "Songe de Vaux dan Ode au Roi". Antara tahun 1658 dan 1660, ia menulis Clymene dan Ballet Rieurs du Beau-Richard. Pada tahun 1668, ia menulis fabel-fabelnya yang pertama, yaitu Fables Choices Mises en Vers. La Fointe dikenal dan diterima oleh Raja Louis XIV untuk menyajikan karyanya, Les Amours de Psyche et de Cupidon. Fabel-fabel La Fontaine terdapat dalam tiga kumpulan, yakni Le Premier Recuil (1668) yang terdiri atas buku I-VI; Le Second Recuil (1678-1679) yang terdiri atas buku VII-XI, dan buku XII (1694).

2.1.2. Satjadibrata
Satjadibrata dilahirkan di Sumedang pada tanggal 31 Agustus 1886 dari darah kyai. Ayahnya, R. Hadji Muhammad Amin adalah seorang penghulu dan meninggal saat Satjadibrata ketika masih muda. Ia mendapatkan warisan dari ayahnya berupa koleksi karya sastra Sunda.

Selama empat tahun, ia menjalani pendidikan dasar di Sumedang pada Sekolah Kelas II yang memiliki bahasa pengantar Sunda. Pada masa itu, ia sudah menunjukkan minat dan bakat yang besar dalam mata pelajaran Menggambar dan Menembang. Di luar sekolah, ia gemar membaca karya sastra Sunda dan wawacan tulisan tangan yang ditemukannya di antara koleksi ayahnya. Seringnya diajak oleh guru untuk menembang di berbagai acara pesta pernikahan ataupun khitanan membuat bakat mengarang dan bersyairnya tumbuh.

Pada tahun 1902, ia mulai belajar di Sekolah Kelas I yang memiliki bahasa pengantar Belanda. Waktu senggangnya dipergunakan untuk membaca berbagai naskah sambil menghafalkan bait tembang serta menulis tembang. Pada tahun 1905, ia melanjutkan sekolah di Kweekschool voor Onderwijzers dengan hasil kelulusan terbaik. Pada tahun 1926, ia mulai aktif menulis artikel untuk sejumlah majalah Sunda. Pada tahun 1928, ia bekerja di Balai Pustaka sebagai redaktur.

Sakadang Peucang adalah karya pertamanya yang diterbitkan pada tahun 1930. Setahun kemudian, 1931, ia menerbitkan Rasiah Tembang Sunda. Tidak lama berselang, pada tahun 1932, sebuah wiracarita yang berirama indah berjudul Wawatjan Sastra-Satri. Selain itu, Satjadibrata juga menyusun Kamus Sunda-Indonesia yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada Desember 1943 dan Kamus Sunda-Sunda yang terbit pada tahun 1946.

Satjadibrata termasuk sastrawan produktif. Ia menulis di berbagai media, menerjemahkan, dan menyadur karya-karya sastrawan dari dalam maupun luar negeri. Di antara hasil terjemahan karya sastra asing adalah Graaf de Monte Cristo (1928), Lalakon si Tjongtjorang (Pinokio), dan Boedak Timoe (1929). Ia diangkat menjadi anggota Lembaga Bahasa Sunda. Di sana, karya-karya yang dihasilkannya menjadi koleksi arsip pemerintah Jawa Barat hingga saat ini.

2.2. Analisis Studi Bandingan antara Fabel Karya La Fonte dan Satjadibrata

Dalam fabel, terdapat unsur-unsur kebaikan dan kejahatan. Pengarang fabel mempergunakan nama berbagai binatang untuk mempersonifikasikan kebaikan dan kejahatan tersebut. Jadi, fabel merupakan cerita yang menggambarkan suatu kehidupan yang dinamis, yaitu kehidupan manusia itu sendiri.

Bagi orang Indonesia, Kancil dengan akal cerdiknya melambangkan manusia cerdik sekaligus pandai berbicara. Ia tampil sebagai makhluk yang terampil dan penuh dengan gagasan. Tipe masyarakat yang digambarkan melalui Kancil adalah masyarakat kecil yang lemah dan memiliki masalah, namun selalu berhasil terpecahkan berkat kecerdasannya. Kancil dapat menghadapi keadaaan apapun dalam kehidupan. Akan tetapi, ia menghalalkan segala cara, tanpa peduli benar atau tidaknya cara yang ia gunakan.

Kancil seperti halnya rubah di negeri Eropa. Rubah digambarkan oleh Taine, peneliti Prancis, sebagai binatang yang cerdas dan memiliki kemampuan menipu yang bermutu. Ia memiliki semangat dan keberanian yang tinggi. Tutur katanya yang baik dan mimik muka yang ekspresif menakdirkannya untuk hidup bergantung pada makhluk lain, menempatkan diri di kalangan orang kaya, di istana, dan datang untuk meminta belas kasihan sebanyak mungkin.

Dalam “Si Kancil dan Seratus Lima Puluh Buaya”, usaha untuk menghindari kematian terwujud dalam kalimat yang memukau. Kancil dengan kemampuan verbal yang tinggi dapat meyakinkan musuhnya.

“Percuma makan tubuhku. Aku terlalu kecil untuk kalian semua. Aku tak akan dapat mengisi perut-perut kalian. Tapi kalau kau ingin dagingku untuk obat, boleh. Tapi tidak boleh makan terlalu banyak. Berapa jumlah kalian semua?” ”Hanya, lebih baik kalau kau membagi-bagikannya dengan teman-temanmu. Mereka akan menganggapmu murah hati. Sebenarnya, aku telah berbuat kebodohan dengan membukakan rahasiaku. Aku bisa saja membiarkan kalian mati karena makan dagingku. Hal itu tentu akan baik bagi binatang-binatang yang lain. Mereka tak perlu lagi takut kepada buaya”


Kefasihan berbicara terlihat juga pada Rubah dalam ”Le Lion, le Loup et le Renard”. Kepandaian Rubah berbicara tak hanya untuk mengeluarakan dirinya dari bahaya, tetapi juga untuk membalas dendam kepada fitnahan serigala seperti digambarkan berikut ini:

Je crains, Sire, dit-il, qu’un rapport peu sincere
Ne ma’it a mepris impute
D’avoir differe cet hommage
Mais j’’etais en pelerinage
Et m’acquittas d’un voeu fait pour otre sante
Meme j’ai vu dans mon voyage
Gens experts et savants, leur aid it la languer
Don’t Votre Majeste craint, a bon droit la suite
Vous ne manquez que de chaleur;
Le long age en vous l’a detruite
D’un Loup ecorche vif appliquez-vous la peau
Toute chaude et toute fumante;
Le secret sans doute en est beau
Pour la nature defaillante
Messire Loup vous servira
S’il vous plait, de robe de chamber.

“Saya khawatir, Tuan, akan adanya laporan yang kurang benar. Saya dianggap bersalah telah bersikap tak hormat. Tetapi, saya sedang dalam perjalanan ziarah dan menjalankan tugas di bawah sumpa yang dibuat untuk kesehatan Tuan. Dalam perjalanan itu, saya bertemu dengan orang-orang pandai dan ahli, saya ceritrakan penyakit yang Yang Mulia takuti kelanjutannya. Tuanku hanya kedinginan, usia tuan membuat Tuan demikian. Dari seekor serigala yang dikuliti hidup-hidup, gunakanlah kulitnya panas-panas dan berasap. Resep ini pasti baik untuk tubuh yang melemah. Tuan Serigala akan dapat digunakan sebagai pakaian kamar”


Dalam kedua kutipan fabel di atas, “Si Kancil dan Seratus Lima Puluh Buaya” dan ”Le Lion, le Loup et le Renard”, ditemukan kesamaan berupa penggambaran tokoh dengan karakter sama. Hal ini diwakili oleh Kancil dan Rubah. Keduanya memiliki kecerdasan yang tinggi sehingga berhasil mengelabuhi musuhnya. La Fontaine dan Satjadibrata memperlihatkan kesamaan-kesamaan antara manusia dan binatang. Kesamaan-kesamaan tersebut terlihat pada aspek lahiriah, sifat, perasaan, serta ungkapan-ungkapan dalam tata pergaulan umat manusia dan juga percakapan yang dipergunakan oleh para tokoh dalam cerita. Keduanya memanusiakan binatang dan mewarnainya dengan suatu simbolisme sosial. Setiap binatang mewakili tipe tertentu manusia dan tipe sosial.

III. PENUTUP
Sejumlah cerita binatang Indonesia berasal dari kumpulan cerita India yang dikenal dengan nama Panchatantra. Sementara itu, La Fontaine menyatakan dirinya sebagai penerus, peniru, dan murid setia Aesop. Sedangkan fabel karangan Aesop juga berasal dari sumber yang sama, yakni cerita-cerita India kuno. Menurut sejarah fabel, cerita binatang bermula dari India tidak hanya menyebar ke Barat (arah Eropa dan Afrika), tetapi juga ke arah Timur (arah Indonesia dan Malaysia).

La Fontaine pernah terlibat dalam perjuangan politik pada masanya. Ia mengutuk semangat dan politik pemimpinnya, Colbert. Fabel-fabel La Fontaine menjadi suatu pembelaan politik bagi Fouquet, pelindungnya, yang merupakan lawan politik dari Colbert. Hal ini berbeda dengan Satjadibrata. Fabel-fabelnya tidak bertujuan politik sama sekali. Fabel-fabel karyanya merupakan kumpulan dari cerita yang sudah tersebar secara turun-temurun.

Tidaklah mengherankan saat diketahui Prancis dan Indonesia memiliki fabel yang serupa. Kedua fabel ini, “Si Kancil dan Seratus Lima Puluh Buaya” dan ”Le Lion, le Loup et le Renard” berasal dari sumber yang sama, yaitu cerita-cerita binatang dari India yang paling kuno dan diciptakan oleh pujangga-pujangga Hindu. Dapat disimpulkan bahwa La Fontaine dan Satjadibrata terpengaruh oleh pujanga-pujangga Hindu dari India.


DAFTAR PUSTAKA

Budianta, Melani, dkk. 2006. Membaca Sastra. Jakarta: Indonesiatera.

Aksa, Yati Haswidi. 1990. Rubah dan Kancil (Suatu Gambaran Tatanan Dunia: Studi Bandingan Beberapa Fabel Karya La Fontaine dan Satjadibrata. Disertasi Tidak Diterbitkan. Jakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia.
Fokkema, D.W. 1998. Teori Sastra Abad Kedua Puluh. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Tim Penyusun Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Depertemen Pendidikan Nasional.

2 komentar:

  1. Hi,

    Saya lg cari reverensi ttg si kancil, mau tanya, ada reverensi mengenai siapa pencipta dongeng si kancil?


    Thanks.

    BalasHapus
  2. Assalamualaikum, maaf sahabat KOhesi sekalian... bahwa saya mau bilang kalau di blog ini ada kesalahan yang agak fatal he... itu yang ada pada posting tentang jurnal kohesi volume dua yang namanya " Akbar Priyono" itu dari FIB tulen bukan dari F MIPA. Akbar Priyono tepatnya dari Sastra Jawa UI..... terimakasih

    BalasHapus