Senin, 01 Maret 2010

Fitrah Pengakuan

Oleh Nila Rahma, Mahasiswa Program Studi Indonesia FIB UI


Ajip Rosidi bukan hanya seorang kritikus sastra, melainkan juga seorang penulis karya sastra. Laki-laki kelahiran 31 Januari 1938 di Jatiwangi, Majalengka, ini mulai muncul dalam majalah-majalah kebudayaan terkemuka di Jakarta sejak tahun 1952. H.B. Jassin memasukkan beliau ke dalam angkatan ’66.

Sebagai penyair, Ajip telah menerbitkan beberapa kumpulan sajak, yaitu Ketemu di Djalan (1956) bersama dengan S.M. Ardan dan Sobron Aidit; Pesta (1956) yang menjadikannya sebagai pemenang hadiah sastra nasional dari B.M.K.N. Untuk puisi tahun 1955-1956; Tjari Muatan (1959); Surat Tjinta Endaj Rasidin (1960), dan Djeram (1970). Dalam tulisan ini, penulis akan membahas kumpulan sajak Jeram melalui dua sajak yang terpilih, “Sajak buat Tuhan I” dan “Sajak buat Tuhan II”. Dalam Jeram, banyak ditemukan puisi religi. Kedua sajak tersebut mewakili sajak-sajak lainnya karena penulis mendapatkan kesan yang cukup mendalam saat membaca keduanya.

Sajak buat Tuhan
I
Kalau aku bicara pada-Mu, Tuhan
Bukan mau mengadukan dera dan derita
Tak kuharap Kau berdiri di depan
Ke dahiku mengeluskan tangan mesra

Kalau kutulis sajak ini, Tuhan
Bukan lantaran rindu-dendam atau demam
Tak kuharap Kau membacanya
Sambil duduk mengisap pipa kala senja

Karena Kau lebih tahu apa rasa hatiku
Dan mengerti bagaimana pikiranku
Karena Kau paling Aku dari aku
Yang terkadang kesamaran sama bayangan
8-1-1960

Jika dilihat sekilas, puisi ini seperti puisi lama karena terdiri dari empat baris dalam tiap baitnya dan diakhiri dengan bunyi yang sama di tiap barisnya. Akan tetapi, ada satu bunyi akhir pada baris kedua-bait terakhir yang memiliki perbedaan dengan lainnya. Hal ini membuktikan bahwa puisi di atas bukanlah puisi lama, melainkan puisi modern. Seluruh barisnya mengungkapkan tema kerendahan hati terhadap Tuhan. Kerendahan hati dapat kita tangkap melalui penggunaan bahasanya. Untuk membuktikan hal ini, marilah kita membahasnya melalui satu per satu baitnya.

Kalau aku bicara pada-Mu, Tuhan
Bukan mau mengadukan dera dan derita
Tak kuharap Kau berdiri di depan
Ke dahiku mengeluskan tangan mesra

Aku lirik tengah berandai-andai jika ia dilanda derita yang cukup berat. Sebenarnya, ia ingin mencurahkan segala derita yang ia rasa pada Tuhan. Aku lirik berbeda dengan orang kebanyakan. Jika orang lain seringkali mengadu pada Tuhan saat mereka dilanda dera dan derita, ia berpikir bahwa ia tak perlu melakukannya. Kita dapat melihatnya pada Tak kuharap Kau berdiri di depan/ ke dahiku mengeluskan tangan mesra. Elusan tangan mesra merupakan simbol dari kelembutan pada seseorang yang membutuhkan perhatian. Namun, aku lirik tak menghendakinya.

Hampir sama seperti bait sebelumnya, bait kedua mengungkapkan pengandaian. Jika aku lirik menulis sebuah sajak maka bukan berarti ia akan berharap sajaknya dibaca oleh Tuhan lantaran rindu-dendam ataupun demam. Baris terakhir menggambarkan suasana yang santai dalam menikmati sesuatu, sambil duduk mengisap pipa kala senja. “Tak kuharap Kau membacanya/ sambil duduk mengisap pipa kala senja.” Dalam bait kedua ini, kita dapat menangkap harapan aku lirik bahwa ia ingin diperhatikan dengan serius, bukan dengan perhatian sambilan saja seperti digambarkan pemuisi.

Tak dilakukannya aduan yang dilakukan oleh Aku lirik ternyata bukan berarti ia tak ingin direspon oleh Tuhan. Hal ini disebabkan oleh Aku lirik sadar akan kuasa Tuhan bahwa Tuhan memiliki dua puluh sifat wajib, salah satunya adalah Mahatahu (aliman). Dari sajak ini, kita dapat menangkap kebesaran Tuhan dengan kemahatahuan-Nya. Lebih dari itu, Tuhan lebih mengetahui segala hal yang makhluk-Nya rasakan daripada perasaan makhluk iu sendiri. Hal ini dilukiskan pada rangkaian kata berikut

Karena Kau lebih tahu apa rasa hatiku
Dan mengerti bagaimana pikiranku
Karena Kau paling Aku dari aku
yang terkadang kesamaran sama bayanagan

Secara keseluruhan, pemuisi mempergunakan diksi yang mudah dimengerti oleh pembaca atau biasa disebut dengan kata konkret. Kata konkret tidak memiliki abstraksi makna karena dia mengacu pada makna sebenarnya. Kemudahan inilah yang membuat sajak ini terkesan sederhana, namun memiliki makna yang mendalam sehingga mudah ditangkap. Pengimajian dalam puisi ini dapat kita rasakan melalui rangkaian kata yang mengacu pada tema, kerendahhatian, sehingga kita merasakan suasana yang cukup sunyi. Secara keseluruhan, “Sajak buat Tuhan I” didominasi oleh bunyi vokal di tiap akhir
barisnya. Hal ini menimbulkan keselarasan serta keharmonisan, keharmonisan hubungan hamba dengan Tuhan.

Dari puisi ini, kita dapat mengambil hikmah bahwa Tuhan bersifat Mahatahu sehingga apapun yang kita lakukan, bahkan yang baru kita pikirkan, diketahuinya. Oleh karena itu, patutlah kita menyadari bahwa keberadaaan kita di dunia ini adalah atas karunia Tuhan dan Ia tak bosan-bosan mengontrol kita di sini, di dunia ini.

Ajip memberikan judul sajak berikut sama dengan sajak sebelumnya, hanya berbeda urutan, yakni I dan II. Inilah yang disebut dengan dua sajak-satu nafas, sajak satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Apakah sajak kedua ini juga meneruskan kerendahhatian Aku lirik? Marilah kita tilik dari satu per satu baitnya.

Sajak buat Tuhan
II
Makin terasa, betapa sendiri
Hidupku bermukim di bumi. Tiada kawan
yang mau mengulurkan tangan
dan sedia bersama menempuh jalan
tatkala tiap langkah buntu

Tak seorang pun, juga Kau
datanng mendekat, menepuk-nepuk bahu
menganjurkan tabah dan jangan ragu.
Tiada. Hanya aku saja lagi
yang setia padaku. Hidup bersama
dalam duka dan putusasa.

Hanya aku jua, yang tetap cinta
kepada hidupku, tiada dua! Duh, tiada
lagi yang lain kujadikan gagang
tempat sirih pulang.

Rasa sendiri di dunia ramai, mengeratkan
aku padaMu, sepi-mutlak!
Rasa lengang di tengah orang, menyadarkan
antara Kau dan aku tiada jarak!

Saat seluruh bumi diam sunyi ….
16-4-1960

Bait pertama melukiskan perasaan Aku lirik yang tengah kesepian dalam hidup ini. Ia merasa tak ada orang lain yang sudi membangkitkan semangatnya kembali ketika ia terpuruk dalam keadaan yang begitu rumit. Kerumitan persoalan itu digambarkan pemuisi melalui diksi ‘buntu’. Buntu menyimbolkan keputusasaan, akhir dari segalanya, dan tak terselesaikan.

Keputusasaan aku lirik yang tak terkira membuncah hingga ia pun menyalahkan Tuhan sebab ia merasa bahwa Tuhan tak jua menyapanya. Sebenarnya, Aku lirik mengharapkan adanya kerabat yang bersedia memberikan anjuran supaya ia kuat menghadapi cobaan hidup. Akan tetapi, penantian itu sia-sia. Ia tak jua menjumpai harapannya. Dahsyatnya kesendirian si Aku lirik menjadikan ia bertambah duka dan putus asa. Kita dapat merasakannya melalui lukisan kata pemuisi, “ Tiada. Hanya aku saja lagi/ yang setia padaku. Hidup bersama/ dalam duka dan putusasa.”

Kecintaan pada diri Aku lirik hanya dirasakan oleh dirinya sendiri. Menurutnya, tak ada orang lain yang memperhatikan ataupun mencintainya. Ia merasa bahwa sudah tak ada tempat lagi berbagi, tak ada tempat lagi guna mengadu segala resah dan gelisah. Hilangnya tempat mengadu diungkap pada,” Duh, tiada/ lagi yang lain kujadikan gagang/ tempat sirih pulang.”

Kesendirian yang ia rasakan semakin membuncah meski dalam situasi ramai. Namun, justru kesendirianlah yang mengantarkannya pada makna sendiri. Akhirnya, ia menyadari bahwa keeratan dengan Tuhan sebagai hal yang mutlak ketika tak ada orang lain di sisi kita. Lebih dari itu, ia merasa tiada jarak antara hamba dan Tuhan-Nya karena sesungguhnya Tuhan selalu bersama kita.

Rasa sendiri di dunia ramai, mengeratkan
Anganku padaMu, sepi-mutlak!
Rasa lengang di tengah orang, menyadarkan
antara Kau dan aku tiada jarak!

Saat seluruh bumi diam sunyi…


Seperti sajak-sajak Ajip lainnya, dalam “Sajak buat Tuhan” dipergunakan diksi yang mudah dimengerti atau biasa disebut dengan kata konkret. Pemuisi terlihat tak gemar mempergunakan gaya bahasa yang macam-macam. Kesederhanaan inilah yang justru memberi kesan yang mendalam karena mudah dimengerti kaum awam. Pengimajian yang tertangkap dari rangkaian kata dalam puisi itu membawa kita pada suasana yang gelisah pada kali pertama. Akan tetapi, suasana ini terasa dinamis saat perjalanan menuju akhir. Saat di tengah terjadi klimaks, yakni ketika ia merasa tak lagi punya tempat mengadu. “ Hanya aku jua yang tetap cinta/ kepada hidupku, tiada dua! Duh, tiada/ lagi yang lain kujadikan gagang/ tempat sirih pulang.”. Pada akhir bait, kita merasakan suasana yang begitu syahdu saat seorang hamba begitu merasa dekat dengan sang Pencipta.

Secara keseluruhan, “Sajak buat Tuhan II” didominasi oleh bunyi vokal di tiap akhir barisnya. Hal ini menimbulkan keselarasan serta keharmonisan, keharmonisan hubungan hamba dengan Tuhan. Penggunaan tanda baca seru juga mempertegas makna yang ingin disampaikan, seperti pada “aku padaMu sepi mutlak!” dan “antara Kau dan aku tiada jarak!”. Penegasan yang disampaikan oleh pemuisi adalah bahwa antara Tuhan dan hamba-Nya sungguh tak berjarak karena sesungguhnya Tuhan selalu dekat.

Melalui “Sajak buat Tuhan I” dan “Sajak Buat Tuhan II”, kita dapat menangkap rangkaian rasa fitrah antara hamba dan Tuhan. Keduanya merupakan suatu bentuk kerendahhatian seorang hamba meski terkadang ia merasa tak didampingi-Nya. Keduanya dapat dijadikan teladan bahwasanya kita tak pernah sendiri, di manapun dan kapanpun.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran. 2005. Gema Insani Press: Jakarta
Rosidi, Ajip. 2001. Jeram: Tiga Kumpulan Sajak. PT Dunia Pustaka Jaya: Jakarta.
Rosidi, Ajip. 1991. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Binacipta: Bandung.