Sabtu, 12 Juni 2010

GAK APA-APA IP TURUN :)

oleh Nila Rahma, Atlet Terjun Payung (hehe)

Hai, teman-teman :)
Apa kabarnya nih setelah melihat nilai-nilai di SIAK bermunculan?
Merasa lebih baik karena sesuai dengan harapan?
Atau merasa lebih tidak baik karena tidak sesuai dengan harapan?
Atau bahkan biasa-biasa aja?
Emmm, ada yang gak lulus mata kuliah semester ini? Santai aja, masih ada temennya, haha.
Saya yakin jawaban tiap Anda berbeda-beda.
Jika nilai Anda naik, saya mengucapkan SELAMAT :)
Jika nilai Anda tidak naik, bisa baca tulisan berikut dan semoga bisa jadi bahan bacaan di tengah liburan.

Jika masih ada nilai yang belum keluar, berdoalah yang terbaik. Bukankah Allah Mahakuasa atas segala sesuatu? Mungkin aja yang seharusnya nilainya A- bisa jadi A karena keypad (-)nya ngga bisa dipencet waktu mau masukin nilai. Sedangkan batas waktu pemasukan nilai ke SIAK sudah di garis sakaratulmaut. Loh, apa yang gak mungkin coba?

Oke, badai pasi berlalu. Tapi, bagaimana cara melalukan kesedihan ini? Huaaaaa (nangis ke laut aja). Baiklah, teman-teman. Saya akan mencoba menghibur diri saya sendiri dan menghibur kalian (jika mampu), hehe...

Terjun payung menjadi kata yang cukup representatif untuk menggambarkan keadaan IP ataupun IPK yang turun drastis. Masalah? Iya, masalah. Tapi bukan KIAMAT. Mari kita analisis bersama: Sebenarnya, apakah yuang terjadi dan bagaimana menyikapinya?

1. Kenapa IP turun?
Biasanya, IP turun bisa disebabkan oleh kekurangpahaman mahasiswa terhadap materi perkuliahan.
2. Kenapa bisa kurang paham?
Karena kurang belajar.

3. Kenapa kurang belajar?
Ada yang bilang karena sibuk di organisasi. Rapat melulu jadi nggak bisa bagi waktu, Waktunya habis dipake rapat. Haha, yang ini kayaknya nggak bener lho. Karena apa, karena ternyata IP Ketua BEM FIB kita NAIK. Mari kita beri tepuk tangan. Plok plok plok.
Kurang belajar bisa disebabkan oleh kekurangpintaran mengatur waktu. Seperti saya ini yang tidak pintar, haha. Manajemen waktu MUTLAK harus dikuasai oleh mahasiswa kura-kura (kuliah rapat, kuliah rapat).

4. Kan capek habis dari kampus, abisnya udah malem. Jadi, nyampe rumah langsung tidur. Nah, kalo kayak gini, siapa yang salah?
Yang salah ya diri sendiri. Ini namanya MALES. Seperti saya, haha. Kan ada omongan terkenal tuh: Siapa mau dapet lebih ya kudu kerja lebih. Bukan begitu, Sodara-sodara? Soal waktu tidur: kalo mau, tidur 3 jam aja sehari. Kalo yang namanya aktivis mah tidur segitu juga udah cukup. Kalo mabit kan diajarin tidur cuma 2-3 jam. Mari kita aplikasikan. Hayoo, siapa gak setuju?_kayaknya banyak nih, hehe.

5. Kesimpulan dari obrolan di atas adalah: Siapa yang salah? Diri sendiri. Hayoo, ngaku! Kalo nggak ngaku, digebukin polisi (halah, apa hubungannya coba? Tertawa yuuk, haha). Nah, pertanyaan selanjutnya adalah: Jika sudah begini (nilai terjun payung), terus SAYA HARUS BAGAIMANA?
Gampang. Tenang aja Lhoh, kok tenang? Iya dong. Kalo nggak tenang, nggak bisa menyikapi masalah dengan bijak. Kalo kayak gini bisa nangis seharian di kamar sampe matanya nggak beraer karna udah abis mata airmatanya (halah, lebay!)
Setelah membaca buku Membangun Peradaban dengan Ilmu, saya memperoleh banyak hal untuk melihat sebuah masalah. Misalnya masalah IP ini.

Kutipan halaman 6 buku tersebut,
”Dalam permainan sepakbola, apabila seorang penyerang mau menendang bola ke gawang, semua pemain belakang lawan akan menutupi gawang itu. Peluang menciptakan gol menjadi sempit. Sang penyerang yang cerdik tentu akan memberikan bola ke belakang, supaya pertahanan musuh mengembang terbuka. Dalam sepakbola sekalipun, kemajuan, kemenangan, bukan senantiasa menyerang dengan mengarahkan bola ke depan tetapi juga mundur untuk mengatur strategi baru.”

Nah, apa hubungannya dengan pembahasan kita?
Saya ingin menggarisbawahi perkataan Prof. Wan. Yang ini: tetapi juga mundur untuk mengatur strategi baru.
Apa maksudnya?

Kalo saya nih mencernanya begini:
GAK APA-APA IP TURUN. Toh ada alasan yang dapat diterima. Misalnya meskipun IP turun, jumlah pengetahun Anda tentang sesuatu yang sangat Anda minati makin banyak karena jam-jam kuliah dihabiskan dengan membaca buku-buku terkait dengan itu. Bisa juga bolos di jam-jam kuliah untuk hadir dalam acra yang kita ykini lebih memberikan manfaat pada diri kita (syuku2 bagi ummat juga). Asal IPK nya masih di atas 3 ya nggak jadi masalah, ya minimal lebih dari sama dengan 2,75 lah. Bukankah ini strategi untuk masa depan? Karena bagaimanapun, Anda akan menggeluti bidag yang sangat Anda minati daripada yang lain.

GAK APA-APA IP TURUN. Toh ada Substitusi: ada hal pengganti. Misalnya IP turun, tapi Anda menjadi Juara SUATU PERLOMBAAN, misalnya Balap Mobil, Balap Motor, Balap Kuis, Balap Sepeda, Lomba Lari, ataupun Lomba Makan Kerupuk (halah, yang ini nggak masuk). Jadi, ada PENGGANTI yang bisa membahagiakan Anda.

GAK APA-APA IP TURUN. Kan IP sekarang. Insyaallah, jika masih diberi umur, kita bisa PERBAIKI di SEMESTER BERIKUTNYA. Dengan cara apa? Rajin belajar, Rajin berdoa, Rajin bagi waktu, rajin bagi-bagi makanan. Loh kok bisa? Ya iyalah bisa. Kan kalo orang baik, termasuk yang suka memberi, biasanya, dimudahkan jalan kebaikannya.

Jadi, GAK APA-APA IP TURUN ASAL NGGAK DIULANGI LAGI SEMESTER DEPAN. Oke, teman-teman. SEMANGAT!

“To move forward you must look backword, but not to stay backword”
‘Jangan kembali ke belakang untuk terperangkap kepada infrastruktur zaman lampau. Akan tetapi, pandang ke belakang untuk mencari I’tibar”
Gampangannya begini: kalo mau maju, liat ke belakang untuk mengambbil pelajaran, tapi jangan kelamaan ntar bisa-bisa nggak balik-balik lagi ke sini buat maju ke depan.

Minggu, 06 Juni 2010

Mencerna Konflik Palestina

Oleh Nila Rahma, Mahasiswa Program Studi Indonesia FIB UI


Palestina adalah tempat diturunkannya semua agama samawi, yakni Yahudi, Nasrani, dan Islam. Selain itu, letak geografis Palestina menjadikannya sebagai salah satu rute perdagangan internasional terpenting. Ia menghubungkan tempat peradaban Lembah Nil dan wilayah selatan Syria dan Iraq pada bagian lainnya. Wilayah ini menjadi pusat berbagai ekspedisi militer sehingga semua imperium besar pun mengincarnya, seperti Babylonia, Aushoria, Al Hethyeen, Parsia, Yunani, Romawi, Kekhalifahan Utsmani, dan Inggris. Napoleon pernah menyerang wilayah ini, namun digagalkan oleh perjuangan bangsa setempat.


Palestina Jatuh ke Tangan Israel

Tahun 1099, Jerussalem jatuh ke tangan pasukan Salib setelah memulai peperangan sejak 1095. Delapan puluh delapan tahun kemudian, pada tahun 1187, Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil membebaskan Al-Aqsha dari kekuasaan pasukan Salib. Pada Perang Dunia I (1914-1919), Inggris mengalahkan Utsmani yang menguasai Palestina. Karena kemenangannya itu, Palestina berada dalam kekuasaan Inggris. Lobi Zionis yang dikomando Theodore Herzl berhasil meyakinkan Inggris agar mereka mendapatkan The Promised Land di Palestina.

Theodore Herzl berhasil mendirikan negara Israel di wilayah Palestina pada tahun 1897, tepatnya setelah 50 tahun 3 bulan sejak ia menuliskan mimpinya di catatan harian. Ketika Sekutu menang pada PD II (1945), wilayah Protektorat Inggris, termasuk Palestina, diserahkan kepada Amerika. Hingga sampai saat ini pun, Amerika lah yang menjadi pendukung utama Israel di kancah dunia.

Dalam perang tahun 1967, Raja Husein dari Yordania menyerahkan Tepi Barat Yordan kepada Israel dengan alasan kalah perang. Pada tahun yang sama, Gamal Abdul Nasser menyerahkan Gunung Sinai dan Jalur Gaza. Hafedz Assad dari Suriah menyerahkan Dataran tinggi Golan.


Misi di Balik Pendirian Negara Israel

Pendirian negara Israel dilatarbelakangi oleh misi politik, yakni mendirikan negara bagi warga Yahudi dunia (nasionalisme-teologis). Tak dipungkiri jika isu agama dan kepentingan politik serta ekonomi berkelindan menjadi ideologi yang tidak dapat dipisahkan lagi dari Israel. Menjemput The Promised Land ‘tanah yang dijanjikan’ menjadi senjata utama mereka untuk melakukan tindak perebutan Palestina. Isu agama menjadi alasan yang paling ampuh karena mampu menjadi alat legitimasi. Jika mereka mempergunakan isu ekonomi, politik, ataupun HAM sebagai senjata maka efeknya tak akan seampuh ini. Misi keagamaan juga dijadikan sebagai alat pembangun solidaritas orang-orang Yahudi di seluruh dunia untuk bersama bahu-membahu guna mewujudkan berdirinya negara bagi warga Yahudi.

Target besar mereka adalah mendirikan negara Israel. Untuk mengecoh mata dunia, mereka seolah-olah fokus untuk melakukan penghancuran Al-Aqsha sehingga terlihat ini benar-benar sebagai misi keagamaan. Sudah tak awam lagi bahwa di bawah Al-Aqsha telah dibangun terowongan-terowongan. Untuk memperlihatkan keseolah-olahan seriusnya itu, mereka juga telah membuat maket Haikal Sulaiman. Dalam Al-Kitab diceritakan bahwa Haikal Sulaiman adalah tempat ibadah Nabi Sulaiman dan ayahnya, Daud. Di dalam Taurat (kata mereka), disebutkan pula bahwa Haikal Sulaiman harus didirikan lagi di The Promised Land. Mengenai pendirian Haikal Sulaiman ini, sebagian para Rabbi Yahudi tidak menyetujuinya.

Dukungan Barat terhadap Israel bukan tanpa sebab. Berikut ini beberapa alasannya:
1. Israel dapat menjadi jembatan paling kuat bagi kepentingan ekonomi dan politik Barat (Amerika) untuk secara gradual menguasai Timur Tengah.
2. Israel memiliki kesamaan nilai dengan Barat, sekuler-liberal.
3. Sebagian besar pemimpin politisk dan pelaku-pelaku ekonomi Israel berorientasi ke Barat.
4. Israel merupakan perluasan Peradaban Barat di Timur Tengah yang sejak lama menjadi batu sandungan sangat kuat bagi Barat.
5. Israel yang berada di tengah wilayah Timur Tengah ini sangat strategis dan menjembatani Asia, Afrika, dan Eropa untuk masuk ke seluruh wilayah Timur Tengah.

Kesewenang-wenangan Israel dalam penyerangan sungguh sangat menyengsarakan rakyat Palestina. Bagaimana tidak?
1. Kedatangan warga Yahudi selalu disertai pengusiran penduduk yang ada.
2. Yahudi melakukan pendekatan kekerasan terhadap rakyat Palestina.
3. Pembantaian terjadi sepanjang Yahudi berkoloni di Palestina sejak tahun 1930-an hingga sekarang.
4. Bangsa Palestina yang merupakan penduduk asli harus mengungsi dan sengsara, sementara para pendatang menikmati kehidupan baru mereka.

Berikut ini adalah beberapa pembantaian yang dilakukan oleh Israel:
1. Pembantaian King David (1946): 92 orang tewas.
2. Pembantaian Baldat Al-Syaikh (1947): 60 tewas
3. Pembantaian Yehida (1947): 13 tewas
4. Pembantaian Khisas (1947): 10 tewas
5. Pembantaian Qazaza (1947): 5 anak-anak tewas
6. Pembantaian Hotel Samirami (1948): 19 tewas
7. Pembantaian Naser al-Din (1948)
8. Pembantaian Tantura (1948): 200 tewas
9. Pembantaian Mesjid Dahmash (1948) 100 tewas
10. Pembantaian Dawayma (1948): 100 tewas
11. Pembantaian Houla (1948): 85 tewas
12. Pembantaian Salha (1948): 254 tewas
13. Pembantaian Deir Yasin (1948): 254 tewas
14. Pembantaian di Qibya (1953): 96 tewas
15. Pembantaian Kafr Qasem (1956): 49 tewas
16. Pembantaian Khan Yunis (1956): 275 tewas
17. Pembantaian di Kota Gaza ( 1956): 60 tewas
18. Pembantaian Fakhani (1981): 150 tewas
19. Pembantaian di Mesjidil Ibrahimi (1994): 5 tewas
20. Pembantaian Qana (1996): 109 tewas
21. Pembantaian Shabra dan Satila

Dan ingatlah ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil, ”Janganlah kamu menyembah selain Allah, berbuat baiklah kepada orangtua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Dan bertutur katalah yang baik kepada manusia, laksanakanlah salat dan tunaikanlah zakat.” Tetapi kemudian kamu berpaling, kecuali sebagian kecil dari kamu, dan kamu masih menjadi pembangkang.
Dan ingatlah ketika Kami mengambil janji kamu, ”Janganlah kamu menumpahkan darahmu (membunuh orang) dan mengusir saudara sebangsamu dari kampung halamanmu.” Kemudian kamu berikrar dan bersaksi.
Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh sesamamu dan mengusir segolongan dari kamu dari kampung halamannya. Kamu saling membantu (menghadapi) mereka dalam kejahatan dan permusuhan. Dan jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal kamu dilarang mengusir mereka. Apakah kamu beriman sebagian Kitab (Taurat) dan ingkar kepada sebagian yang lain? Maka tidak ada balasan yang pantas bagi orang yang berbuat demikian di antara kamu selain kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada azab yang paling berat. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan. (Al-Baqarah: 83—85)


Daftar Pustaka

Al-Qur’an. 2005. Jakarta: Gema Insani Press.

Buku
Hidayat, Nuim. 2009. Imperialisme Baru. Jakarta: Gema Insani Press.
Husaini, Adian. 2009. Indonesia Masa Depan. Jakarta: Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia.

Presentasi
Bachtiar, Tiar Anwar. Memahami Konflik Palestina. Diakses pada 5 Juni 2010.

Rabu, 02 Juni 2010

STUDI BANDINGAN ANTARA FABEL KARYA LA FONTAINE DAN SATJADIBRATA

Oleh Nila Rahma, Mahasiswa Program Studi Indonesia FIB UI


I. PENDAHULUAN

Di Prancis, seperti halnya di Indonesia, fabel tak habis-habisnya menebarkan daya tariknya yang besar. Di Indonesia, dapat ditemui sejumlah fabel yang berasal dari India dan Eropa yang telah mengalami transformasi. Tak mengherankan lagi jika kita membaca fabel Indonesia yang sama atau mirip dengan fabel yang berasal dari negeri asing, bahkan yang memiliki kultur berbeda.

Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI), fabel berarti cerita yang menggambarkan watak dan budi manusia yang pelakunya diperankan oleh binatang, biasanya berisi pendidikan moral dan budi pekerti. Fabel merupakan karya sastra yang muncul sejak abad ke-17 dan dibawa oleh tradisi klasik.

Fabel karya La Fontaine dan fabel karya Satjadibrata mengandung beberapa ciri yang sama. Aspek-aspek edukatif yang disiratkan dalam cerita-cerita yang mengandung teladan dan lucu ditemukan dalam kedua karya penulis tersebut. Dalam makalah ini, penulis akan membandingkan antara karya fabel La Fontaine dan Satjadibrata. Dengan membandingkan karya tersebut, akan diketahui persamaan dan perbedaan keduanya.


II. STUDI BANDINGAN ANTARA FABEL KARYA LA FONTAINE DAN SATJADIBRATA

2.1. Tentang Pengarang
2.1.1. La Fontaine
Jean de La Fontaine dilahirkan pada tanggal 8 Juli 1621 di Chateu-Thierry. Nenek moyangnya berasal dari Champagne. Ayahnya berkedudukan sebagai penasihat raja dan bekerja sebagai pengurus pengairan dan kebutuhan swasta. Pada saat dewasa, Jean de La Fontaine pun melakukan pekerjaan serupa. Ibunya, Francoise Pidoux, adalah keturunan keluarga dokter kerajaan, namun telah wafat saat ia masih kecil.

Dengan perantara paman istrinya, Jannart, Jean de la Fontaine berkenalan dengan Fouquet, menteri keuangan Prancis pada waktu itu. Pada masa itu, para seniman, baik penulis, maupun pelukis lazim memiliki pelindung yang membiayai hidup mereka. Para pelindung terdiri dari orang-orang penting di masyarakat.

Pada tahun 1641, ia belajar di Oratoire yang ditinggalkannya setahun kemudian. Selanjutnya, ia mempelajari teologia di Seminari di Juilly. Di sana, ia tidak termasuk murid yang baik sehingga ayahnya memintanya untuk mempelajari ilmu hukum. Dari sana, La Fontaine memperoleh gelar “Pengacara Parlemen”. Sebenarnya, pekerjaan ini tidak menarik minatnya, namun dari sini ia belajar seni argumentasi yang ternyata sangat berguna dalam penulisan karya-karyanya di kemudian hari. Pada masa belajarnya saat itu, ia menjadi anggota Table Ronde, suatu kelompok kecil yang beranggotakan para penyair muda yang sering hadir di istana.

Sejak masa kanak-kanak, ayahnya telah mendorongnya untuk mempelajari puisi. Jean de la Fontaine sangat gemar membaca. Sejak kecil, ia membaca roman, cerita, dan puisi. Saat menggantikan tugas ayahnya sebagai pengurus pengairan dan kehutanan adalah masa yang mempengaruhi pengembangan bakatnya sebagai pencerita atau pengarang fabel. Dalam tugasnya, ia seringkali berkelana di daerah pedesaan dan hutan-hutan. Di sana ia menemukan rahasia dunia binatang dan tumbuh-tumbuhan.

La Fontaine menerbitkan kumpulan fabel pertamanya pada tahun 1668 pada usia 40 tahun. Ia menerbitkan Eunuque, terjemahannya pada Agustus 1653. Pada tahun 1658, ia menulis sebuah puisi berjudul "Adonis". Untuk menghormati Fouquet, ia menulis "Songe de Vaux dan Ode au Roi". Antara tahun 1658 dan 1660, ia menulis Clymene dan Ballet Rieurs du Beau-Richard. Pada tahun 1668, ia menulis fabel-fabelnya yang pertama, yaitu Fables Choices Mises en Vers. La Fointe dikenal dan diterima oleh Raja Louis XIV untuk menyajikan karyanya, Les Amours de Psyche et de Cupidon. Fabel-fabel La Fontaine terdapat dalam tiga kumpulan, yakni Le Premier Recuil (1668) yang terdiri atas buku I-VI; Le Second Recuil (1678-1679) yang terdiri atas buku VII-XI, dan buku XII (1694).

2.1.2. Satjadibrata
Satjadibrata dilahirkan di Sumedang pada tanggal 31 Agustus 1886 dari darah kyai. Ayahnya, R. Hadji Muhammad Amin adalah seorang penghulu dan meninggal saat Satjadibrata ketika masih muda. Ia mendapatkan warisan dari ayahnya berupa koleksi karya sastra Sunda.

Selama empat tahun, ia menjalani pendidikan dasar di Sumedang pada Sekolah Kelas II yang memiliki bahasa pengantar Sunda. Pada masa itu, ia sudah menunjukkan minat dan bakat yang besar dalam mata pelajaran Menggambar dan Menembang. Di luar sekolah, ia gemar membaca karya sastra Sunda dan wawacan tulisan tangan yang ditemukannya di antara koleksi ayahnya. Seringnya diajak oleh guru untuk menembang di berbagai acara pesta pernikahan ataupun khitanan membuat bakat mengarang dan bersyairnya tumbuh.

Pada tahun 1902, ia mulai belajar di Sekolah Kelas I yang memiliki bahasa pengantar Belanda. Waktu senggangnya dipergunakan untuk membaca berbagai naskah sambil menghafalkan bait tembang serta menulis tembang. Pada tahun 1905, ia melanjutkan sekolah di Kweekschool voor Onderwijzers dengan hasil kelulusan terbaik. Pada tahun 1926, ia mulai aktif menulis artikel untuk sejumlah majalah Sunda. Pada tahun 1928, ia bekerja di Balai Pustaka sebagai redaktur.

Sakadang Peucang adalah karya pertamanya yang diterbitkan pada tahun 1930. Setahun kemudian, 1931, ia menerbitkan Rasiah Tembang Sunda. Tidak lama berselang, pada tahun 1932, sebuah wiracarita yang berirama indah berjudul Wawatjan Sastra-Satri. Selain itu, Satjadibrata juga menyusun Kamus Sunda-Indonesia yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada Desember 1943 dan Kamus Sunda-Sunda yang terbit pada tahun 1946.

Satjadibrata termasuk sastrawan produktif. Ia menulis di berbagai media, menerjemahkan, dan menyadur karya-karya sastrawan dari dalam maupun luar negeri. Di antara hasil terjemahan karya sastra asing adalah Graaf de Monte Cristo (1928), Lalakon si Tjongtjorang (Pinokio), dan Boedak Timoe (1929). Ia diangkat menjadi anggota Lembaga Bahasa Sunda. Di sana, karya-karya yang dihasilkannya menjadi koleksi arsip pemerintah Jawa Barat hingga saat ini.

2.2. Analisis Studi Bandingan antara Fabel Karya La Fonte dan Satjadibrata

Dalam fabel, terdapat unsur-unsur kebaikan dan kejahatan. Pengarang fabel mempergunakan nama berbagai binatang untuk mempersonifikasikan kebaikan dan kejahatan tersebut. Jadi, fabel merupakan cerita yang menggambarkan suatu kehidupan yang dinamis, yaitu kehidupan manusia itu sendiri.

Bagi orang Indonesia, Kancil dengan akal cerdiknya melambangkan manusia cerdik sekaligus pandai berbicara. Ia tampil sebagai makhluk yang terampil dan penuh dengan gagasan. Tipe masyarakat yang digambarkan melalui Kancil adalah masyarakat kecil yang lemah dan memiliki masalah, namun selalu berhasil terpecahkan berkat kecerdasannya. Kancil dapat menghadapi keadaaan apapun dalam kehidupan. Akan tetapi, ia menghalalkan segala cara, tanpa peduli benar atau tidaknya cara yang ia gunakan.

Kancil seperti halnya rubah di negeri Eropa. Rubah digambarkan oleh Taine, peneliti Prancis, sebagai binatang yang cerdas dan memiliki kemampuan menipu yang bermutu. Ia memiliki semangat dan keberanian yang tinggi. Tutur katanya yang baik dan mimik muka yang ekspresif menakdirkannya untuk hidup bergantung pada makhluk lain, menempatkan diri di kalangan orang kaya, di istana, dan datang untuk meminta belas kasihan sebanyak mungkin.

Dalam “Si Kancil dan Seratus Lima Puluh Buaya”, usaha untuk menghindari kematian terwujud dalam kalimat yang memukau. Kancil dengan kemampuan verbal yang tinggi dapat meyakinkan musuhnya.

“Percuma makan tubuhku. Aku terlalu kecil untuk kalian semua. Aku tak akan dapat mengisi perut-perut kalian. Tapi kalau kau ingin dagingku untuk obat, boleh. Tapi tidak boleh makan terlalu banyak. Berapa jumlah kalian semua?” ”Hanya, lebih baik kalau kau membagi-bagikannya dengan teman-temanmu. Mereka akan menganggapmu murah hati. Sebenarnya, aku telah berbuat kebodohan dengan membukakan rahasiaku. Aku bisa saja membiarkan kalian mati karena makan dagingku. Hal itu tentu akan baik bagi binatang-binatang yang lain. Mereka tak perlu lagi takut kepada buaya”


Kefasihan berbicara terlihat juga pada Rubah dalam ”Le Lion, le Loup et le Renard”. Kepandaian Rubah berbicara tak hanya untuk mengeluarakan dirinya dari bahaya, tetapi juga untuk membalas dendam kepada fitnahan serigala seperti digambarkan berikut ini:

Je crains, Sire, dit-il, qu’un rapport peu sincere
Ne ma’it a mepris impute
D’avoir differe cet hommage
Mais j’’etais en pelerinage
Et m’acquittas d’un voeu fait pour otre sante
Meme j’ai vu dans mon voyage
Gens experts et savants, leur aid it la languer
Don’t Votre Majeste craint, a bon droit la suite
Vous ne manquez que de chaleur;
Le long age en vous l’a detruite
D’un Loup ecorche vif appliquez-vous la peau
Toute chaude et toute fumante;
Le secret sans doute en est beau
Pour la nature defaillante
Messire Loup vous servira
S’il vous plait, de robe de chamber.

“Saya khawatir, Tuan, akan adanya laporan yang kurang benar. Saya dianggap bersalah telah bersikap tak hormat. Tetapi, saya sedang dalam perjalanan ziarah dan menjalankan tugas di bawah sumpa yang dibuat untuk kesehatan Tuan. Dalam perjalanan itu, saya bertemu dengan orang-orang pandai dan ahli, saya ceritrakan penyakit yang Yang Mulia takuti kelanjutannya. Tuanku hanya kedinginan, usia tuan membuat Tuan demikian. Dari seekor serigala yang dikuliti hidup-hidup, gunakanlah kulitnya panas-panas dan berasap. Resep ini pasti baik untuk tubuh yang melemah. Tuan Serigala akan dapat digunakan sebagai pakaian kamar”


Dalam kedua kutipan fabel di atas, “Si Kancil dan Seratus Lima Puluh Buaya” dan ”Le Lion, le Loup et le Renard”, ditemukan kesamaan berupa penggambaran tokoh dengan karakter sama. Hal ini diwakili oleh Kancil dan Rubah. Keduanya memiliki kecerdasan yang tinggi sehingga berhasil mengelabuhi musuhnya. La Fontaine dan Satjadibrata memperlihatkan kesamaan-kesamaan antara manusia dan binatang. Kesamaan-kesamaan tersebut terlihat pada aspek lahiriah, sifat, perasaan, serta ungkapan-ungkapan dalam tata pergaulan umat manusia dan juga percakapan yang dipergunakan oleh para tokoh dalam cerita. Keduanya memanusiakan binatang dan mewarnainya dengan suatu simbolisme sosial. Setiap binatang mewakili tipe tertentu manusia dan tipe sosial.

III. PENUTUP
Sejumlah cerita binatang Indonesia berasal dari kumpulan cerita India yang dikenal dengan nama Panchatantra. Sementara itu, La Fontaine menyatakan dirinya sebagai penerus, peniru, dan murid setia Aesop. Sedangkan fabel karangan Aesop juga berasal dari sumber yang sama, yakni cerita-cerita India kuno. Menurut sejarah fabel, cerita binatang bermula dari India tidak hanya menyebar ke Barat (arah Eropa dan Afrika), tetapi juga ke arah Timur (arah Indonesia dan Malaysia).

La Fontaine pernah terlibat dalam perjuangan politik pada masanya. Ia mengutuk semangat dan politik pemimpinnya, Colbert. Fabel-fabel La Fontaine menjadi suatu pembelaan politik bagi Fouquet, pelindungnya, yang merupakan lawan politik dari Colbert. Hal ini berbeda dengan Satjadibrata. Fabel-fabelnya tidak bertujuan politik sama sekali. Fabel-fabel karyanya merupakan kumpulan dari cerita yang sudah tersebar secara turun-temurun.

Tidaklah mengherankan saat diketahui Prancis dan Indonesia memiliki fabel yang serupa. Kedua fabel ini, “Si Kancil dan Seratus Lima Puluh Buaya” dan ”Le Lion, le Loup et le Renard” berasal dari sumber yang sama, yaitu cerita-cerita binatang dari India yang paling kuno dan diciptakan oleh pujangga-pujangga Hindu. Dapat disimpulkan bahwa La Fontaine dan Satjadibrata terpengaruh oleh pujanga-pujangga Hindu dari India.


DAFTAR PUSTAKA

Budianta, Melani, dkk. 2006. Membaca Sastra. Jakarta: Indonesiatera.

Aksa, Yati Haswidi. 1990. Rubah dan Kancil (Suatu Gambaran Tatanan Dunia: Studi Bandingan Beberapa Fabel Karya La Fontaine dan Satjadibrata. Disertasi Tidak Diterbitkan. Jakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia.
Fokkema, D.W. 1998. Teori Sastra Abad Kedua Puluh. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Tim Penyusun Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Depertemen Pendidikan Nasional.

PEMINJAMAN ISTILAH-ISTILAH BIDANG EKONOMI DARI BAHASA INGGRIS DALAM BAHASA INDONESIA

Oleh Nila Rahma, Mahasiswa Program Studi Indonesia FIB UI


I. PENDAHULUAN


Bahasa selalu berkembang dalam masyarakat yang juga semakin berkembang. Penggunaannya menyangkut berbagai bidang, seperti bidang hukum, politik, budaya, ataupun ekonomi. Dalam perkembangannya, suatu bahasa akan menerima kata-kata asing yang kemudian menjadi bagian dari kosakata bahasa tersebut.

Tidak ada satupun bahasa di dunia ini yang sudah memiliki kosakata yang lengkap dan tidak memerlukan ungkapan untuk gagasan, temuan, atau rekacipta yang baru. Bahasa Inggris yang merupakan bahasa internasional pun pernah menyerap kata dari bahasa Yunani, Latin, Prancis, dan bahasa-bahasa lain.

Sementara itu, istilah-istilah dalam bahasa Indonesia diambil dari berbagai sumber, terutama dari tiga golongan bahasa yang penting, yaitu (1) bahasa Melayu; (2) bahasa Nusantara, seperti Sansekerta dan Jawa Kuno; serta (3) bahasa asing, seperti bahasa Arab dan bahasa Inggris. Dalam makalah ini, akan diperlihatkan peminjaman istilah-istilah bidang ekonomi dari bahasa Inggris dalam bahasa Indonesia.


II. PEMINJAMAN ISTILAH-ISTILAH BIDANG EKONOMI
DARI BAHASA INGGRIS DALAM BAHASA INDONESIA

Pengambilalihan istilah dari bahasa Inggris dalam masyarakat Indonesia adalah untuk menambah konsep dan tanda dalam bahasa Indonesia. Ini merupakan hasil kontak bahasa antara bahasa Ingggris dan bahasa Indonesia. Kontak bahasa adalah hubungan kebahasaan yang terjadi antara satu masyarakat bahasa dengan masyarakat bahasa yang lain (Samsuri, 1968: 661).

Selain itu, akan terjadi saling pengaruh, baik langsung atupun tidak langsung, antara bahasa-bahasa tersebut. Ketika terjadi proses saling berpengaruh itu, bahasa yang lebih penting akan banyak mempengaruhi bahasa yang kurang penting (Moeliono, 1980: 15). Suatu bahasa akan menerima kata-kata asing yang kemudian menjadi bagian dari kosakata bahasa tersebut.

Dalam perkembangannya, suatu bahasa harus menambah jumlah konsep dan tanda untuk melakukan berbagai kegiatan. Dalam penjelasan ini, diberikan beberapa istilah bidang ekonomi dari bahasa Inggris dalam bahasa Indonesia. Pada setiap istilah, akan terdapat keterangan dengan abjad (a) dan (b) dengan penjelasan sebagai berikut:
(a) Istilah dari bahasa aslinya disertai dengan maknanya
(b) Makna dari Kamus Bahasa Indonesia Edisi Keempat

(1) Bank
(a) bank: establishment for keeping money and valuables safely, the money being paid out on the costumer’s order
(b) bank: lembaga keuangan yang usaha pokonya memberikan pinjaman (kredit) dan jasa dalam pembayaran dan peredaran uang

(2) Akumulasi
(a) accumulation: The addition to capital of interest or profits
(b) akumulasi: tambahan dana secara periodik dari bunga atau dari laba neto

(3) Barter
(a) Barter: exchange (goods, property, etc) for other goods, etc)
(b) Barter:perdagangan dengan saling tukar barang.

(4) Bisnis
(a) Business: buying and selling; commerce, trade
(b) Bisnis: usaha dagang; usaha komersial dalam dunia perdagangan

(5) Cek
(a) Check: bill (in restaurant)
(b) Cek: Kertas atau formulir yang digunakan sebagai alat pembayaran; formulir tersebut dikeluarkan oleh bank dan diberikan kepada perseorangan atau perseorangan atau perusahaan yang membuka giro di bank tersebut.

(6) Embargo
(a) Embargo: order that forbids (trade movement of ships, etc; stoppage of commerce; or of branch of commerce; seize (ships or goods) by government authority for the service of the state.
(b) Embargo: Larangan mengirimkan (mengekspor) barang dagangan dan sebagainya ke suatu negara (misalnya karena dalam permusuhan).

(7) Komoditi
(a) Commodity: Useful things especially an article of trade
(b) Komoditi: barang dagangan; benda niaga

(8) Subsidi
(a) Subsidy: money granted, especially by a government to an industry or other cause needing help or to anually in war, to keep prices at a desired level
(b) Subsidi: bantuan uang dan sebagainya kepada yayasan atau perkumpulan (biasanya dari pihak pemerintah)

(9) Transfer
(a) Transfer: change position, move; hand over the possession of property, etc
(b) Transfer: pindah atau beralih tempat

(10) Royalti
(a) Royalty: payment of money by a mining or oil company to owner of the land; sum paid to the owner of copy right or patent
(b) Royalti: imbalan atau uang jasa yang dibayar oleh penerbit kepada pengarang untuk setiap buku yang diterbitkan.


Munculnya istilah-istilah bidang ekonomi yang diserap dari bahasa Inggris seperti diuraikan di atas merupakan sebuah gambaran jelas mengenai perkembangan bahasa Indonesia. Apabila seseorang atau suatu masyarakat hendak menggambarkan suatu konsep baru, ia akan menciptakan kata-kata baru atau menyerap istilah-istilah asing dari bahasa asing yang memiliki kontak kebudayaan dengannya. Peminjaman dilakukan karena tidak adanya tanda untuk menggambarkan suatu konsep yang sudah ada dalam bahasa Indonesia.


III. PENUTUP

Dalam perkembangannya, suatu bahasa harus menambah jumlah konsep dan tanda untuk melakukan berbagai kegiatan. Dari hasil studi kasus tentang kemunculan istilah-istilah bidang ekonomi yang diserap dari bahasa Inggris dalam bahasa Indonesia seperti diuraikan di atas, terlihat jelas bahwa peminjaman istilah-istilah asing sangat dibutuhkan jika masyarakat hendak menggambarkan suatu konsep baru.




DAFTAR PUSTAKA


Echols, John M. dan Hassan Shadily. 1977. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT Gramedia

Moeliono, Anton. 1980. “Bahasa Indonesia dan Ragam-ragamnya” dalam Majalah Penulisan Bahasa Indonesia Jilid I No. 1 hal. 15—34.

Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia. 2007. Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Samsuri. 1968. Analisa Bahasa. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Siregar, Amelia Fariza. 1985. Peminjaman Istilah-Istilah dari Bahasa Asing dalam Bahasa Indonesia di Bidang Ekonomi. Skripsi tidak diterbitkan. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia

Tim Penyusun. 1995. Pedoman Pengindonesiaan Nama dan Kata Asing. Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Tim Penyusun. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional

Usman, Zuber. 1960. Kedudukan Bangsa dan Bahasa Indonesia. Jakarta: Gunung Agung

Tinjauan Sosiologis Senja di Jakarta Karya Mochtar Lubis

Oleh Nila Rahma, Mahasiswa Program Studi Indonesia FIB UI

Novel Senja di Jakarta telah banyak diperbincangkan para pengamat sastra Indonesia. A. Teew (1980: 264-265) mengatakan bahwa novel ini merupakan karya Mochtar Lubis yang agung. Keberhasilan Mochtar Lubis dalam menggambarkan kebobrokan masyarakat lapisan bawah maupun atas sekitar tahun 1950-an sebelum pemilihan umum saat itu patut diacungi jempol. Dalam tulisan ini, saya ingin mempersoalkan latar belakang kehidupan Mochtar Lubis yang dihubungkan dengan novelnya, Senja di Jakarta.

Kritik ekspresif (expressive criticism) memandang karya sastra terutama dalam hubungannya dengan penulis sendiri. Kritik ini mendefinisikan puisi/karya sastra sebagai sebuah ekspresi, curahan atau ucapan perasaan, atau sebagai produk imajinasi pengarang yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran, dan perasaan-perasaannya.

Seorang sastrawan tidak akan pernah terlepas dari pengalaman dan kondisi sosial-budayanya di dalam pelahiran karya-karya sastra. Segi sosiologis sastrawan inilah yang menjadi landasan misi segala jenis penciptaan. Sastrawan melahirkan karyanya berdasarkan pengalaman sosial–budayanya; kalaupun bukan dia sendiri yang mengalami, setidak-tidaknya ia menjadi saksi suatu kondisi sosial – budaya yang hidup dan dinamis.

Mochtar Lubis lahir di Padang, Sumatera Barat pada 7 Maret 1922 dan meninggal dunia pada 2 Juli 2004 pada umur 82 tahun di Jakarta. Ia pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Ekonomi INS Kayu Tanam, Sumatera serta Jefferson Fellowship East and West Center, Universitas Hawai. Selain sastrawan, Mochtar Lubis adalah pengarang ternama asal Indonesia. Ia turut mendirikan Kantor Berita ANTARA. Mochtar Lubis juga mendirikan dan memimpin harian Indonesia Raya. Selain itu, majalah sastra Horizon juga didirikan olehnya bersama dengan kawan-kawan. Pada waktu pemerintahan rezim Soekarno, ia dijebloskan ke dalam penjara hampir sembilan tahun dan baru dibebaskan pada tahun 1966. Mochtar Lubis sering mendapatkan penghargaan seperti Magsaysay Award untuk jurnalistik dan kesusasteraan, Golden Pen Award dari International Association of Editors and Publishers, dan Hadiah Sastra dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional.

Mochtar Lubis menulis Senja di Jakarta pada saat ia dikenakan tahanan rumah oleh pemerintah Orde Lama. Awalnya, novel itu berjudul Yang Terinjak dan Melawan. Masa penulisan novel Senja di Jakarta diungkapkannya dalam Catatan Subversif sebagai berikut:

... Informasi tentang keadaan-keadaan politik selalu mengalir datang dari kawan-kawan. Saya juga sekarang telah mulai menulis roman saya yang diberi nama Yang Terinjak dan Melawan. Sekarang telah menjadi jelas dalam otak saya buku roman apakah yang akan saya tulis. Saya ingin melukiskan dalam roman keadaan sosial dan politik negeri kita. Betapa kehausan akan kekuatan, keserakahan dalam harta benda dan kekuasaan dalam menggunakan kedudukan partai telah menimbulkan kerusakan-kerusakan yang amat banyak di tengah-tengah masyarakat kita. Saya telah menulisnya dengan lancar dan mudah sekali meskipun saya tahu buku ini mungkin dalam masa lama belum akan diterbitkan di Indonesia, akan tetapi saya merasa dengan melukiskannya saya telah menyusun laporan yang perlu diketahui masyarakat kita kelak. (Lubis, 1987: 111-112)


Keadaan politik dan sosial di Indonesia yang kacau pada tahun 1950-an ingin disampaikan pengarang melalui novel ini. Carut-marut kondisi saat itu juga dapat diketahui dari buku-buku Sejarah, seperti Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV: Zaman Jepang dan Pemerintahan RI (Notosusanto, 1975) dan Pertumbuhan, Perkembangan, dan Perkembangan Lekra di Indonesia (Ismail, 1972). Dengan demikian, dapat diartikan bahwa Senja di Jakarta muncul atas pengaruh keadaan ekonomi dan sosial di Indonesia yang kacau pada tahun-tahun tersebut. Mochtar Lubis yang dikenal sebagai wartawan sekaligus pengarang mampu memotret kegelisahan dirinya terhadap keadaan masyarakat melalui Senja di Jakarta.

Mochtar Lubis menggambarkan para manusia Indonesia lapisan atas dengan menghadirkan Suryono, Raden Kaslan, Husin Limbara, dan kawan-kawannya. Mereka seakan tak pernah puas pada hal yang telah miliki sehingga mereka bersama-sama melakukan korupsi. Melalui pendirian perusahaan-perusahaan fiktif yang akan menangani lisensi impor barang-barang kebutuhan pokok rakyat, mereka mengepul lembaran-lembaran uang. Sementara itu, Neneng, Saimun, Itam, dan Pak Ijo digambarkan sebagai manusia-manusia Indonesia yang sungguh setengah mati berjuang untuk bertahan hidup. Keputusan Neneng untuk melacurkan diri hanya untuk memperoleh sesuap nasi menjadi gambaran penting dalam potret kebobrokan akhlak manusia.

Kekhasan Mochtar Lubis yang juga mencerminkan seorangs wartawan adalah menyertakan Laporan Kota dalam beberapa bagian novelnya seperti berikut ini:

LAPORAN KOTA:
Malam itu seperti biasa juga. Malam ramai di pasar Glodok. Ribuan lampu listrik berkelip seperti kunang-kunang menari dalam malam. Lampu-lampu mobil bergerak, bola-bola mata kuning. Wangi makanan merangkak keluar dari restoran, berat di udara, serasa bisa dipegang, dan dimasukkan ke dalam mulut, dikunyah. Mereka berdua meneguk air liur. Sebesar kelereng meyumbat kerongkongan, dan kemudian mereka meludahkan bersama-sama, pecah di tanah dekat kaki mereka. (Lubis, 1981: 31)


Berita dan cerita hanya berbeda tipis. Peristiwa selama Mei 1956 hingga Januari 1957 yang menyangkut jatuhnya kabinet, sepak terjang partai, dan berita di media massa tak luput dari perhatian Mochtar Lubis untuk dituangkan dalam novelnya. Berbagai peristiwa dalam Senja di Jakarta merupakan reprensentasi dari semangat zaman saat itu. Baginya, tugas wartawan adalah mencatat dan menuliskan kejadian yang faktual secara objektif. Pandangan pribadi dan praduga wartawan tidak boleh masuk di dalam berita. Itulah sebabnya, beberapa karya fiksi Mochtar tidak sepenuhnya merupakan imajinasi, tetapi juga mengungkap babak kehidupan nyata yang pernah dialami.


DAFTAR PUSTAKA
Djoko Pradopo, Rahmat. 1994. Prinsip-prinsip Kritik Sastra Teori dan Penerapannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Hardjana, Andre. 1981. Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia.

Lubis, Mochtar. 1987. Catatan Subversif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan PT Gramedia Pustaka Utama.

Lubis, Mochtar. 1981. Senja di Jakarta. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.

Senggono, Endo. 1985. Senja di Jakarta: Analisis Tema dan Tokoh secara Sosiologis. Skripsi tidak diterbitkan. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Teeuw, A. 1980. Sastra Indonesia Baru I. Ende-Flores: Penerbit Nusa Indah.