Senin, 16 Juli 2012

Pagi Menganga

Namanya Pagi. Sejak semalam, ia tak kunjung tidur sebab ada yang mengganjal dalam jiwanya. Ia sudah tak mampu lagi berbicara, bahkan mengeja. Mulutnya telah tercabik panas kemarin sore. Panasnya terlalu panas hingga ia tak lagi bisa mengecap. Lidahnya telah melepuh tergores saat panas itu datang. Jika ditanya sudah makan atau belum, ia menulis di selembar kertas, Aku telah kenyang dengan panas itu. Kala malam tiba, panas itu pun tak henyak dari mulutnya. Panas itu masih betah menetap di balik gigi-giginya hingga jika mulut Pagi tertutup maka mulutnya serasa hampir meledak. Terpaksa ia terus membuka mulutnya meski tak dapat berkata. # Sastra namanya. Ia teman Pagi. Ke mana-mana mereka selalu berdua. Tak pernah sekali pun aku lihat mereka berdua tak bersama. Aku tidak mengenal mereka berdua, tapi aku telah sering melihatnya. Yang terjadi antara aku dan mereka hanyalah sekadar sapa-sapa senyum. Ia tinggal di ujung blok perumahan dekat gerbang utama. Pertama aku tahu mereka, bukan mengenal, saat mereka jalan berdua di taman kota. Setiap kali kemalaman dari pulang kerja di akhir pekan kedua, aku melihat mereka duduk berdua di bangku panjang taman kota. Entah apa yang mereka lakukan. Aku hanya tahu, tak mengenal mereka. # Di suatu malam saat pulang kerja, tak sengaja aku seangkot dengan Sastra. Bukan berniat menguping, tapi Sastra berbicara dengan kadar yang bisa didengar oleh seluruh penumpang angkot kali ini. "Kamu sudah di sana?" Hening. "Mungkin lima belas menit lagi aku sampai." Hening. Telepon genggam itu ditutupnya. Sebab aku tak mengenal Sastra, aku hanya sapa-sapa senyum saja dengan dia. Itupun sekali dua kali saja selama di angkot hingga ia minta turun pada sopir angkot saat tiba di taman kota. # Tak sengaja aku telah menghitungnya, tak pernah kujumpai mereka yang sedang berdua di taman kota saat pekan kedua. Ini sudah yang kedua kalinya. Ini bukan urusanku, tapi aku telah tahu. # "Sepulang kantor tadi, aku melihat seorang bapak tua yang menjual cerita di pinggir jalan tentang rasa" "Dengan angka limaratus, Pak Tua telah sepakat memberikan cerita itu padaku dan berjanji tak akan memberikannya pada siapapun sebab ia telah menjualnya padaku." "Bagaimana dengan Pak Tua itu sekarang?" "Pak Tua itu langsung pergi dengan gerobaknya sebab cerita yang dijualnya padaku itu adalah jualan terakhirnya." "Boleh aku membuka bungkusan cerita itu?" "Boleh saja." Sastra menyodorkan bungkusan itu pada Pagi yang sedari tadi penasaran dengan isinya. Pagi tak langsung membuka meski ia begitu penasaran pada bungkusan itu. Ia lebih memilih untuk berbincang dengan Sastra sebab ini sudah hampir tengah malam yang artinya mereka berdua sudah harus pulang sebentar lagi. # 15.15 Diambilnya cangkir yang tergantung di rak putih itu dan ditaruhnya satu kantong teh beraroma bunga. Ia memencet tombol merah sehingga keluarlah air panas dari mulut dispenser dekat meja kerjanya. Sengaja tidak ia tuangkan gula. Ditemani teh beraroma bunga, Pagi mengambil bungkusan Sastra yang diberikannya semalam. Lambat-lambat ia mengeja isi bungkusan itu. Tak ada suara ataupun kata yang keluar sejak matanya menyapu kata pertama. Ia mengeja persis seperti waktu kecil bertemu dengan kata. Diperhatikannya dengan sebaik-baiknya. Tak ada jeda pandang pada selain kertas di depannya.Selama ini tak pernah sekalipun Pagi tak menggubris saat, Siti, bibi di rumahnya memintanya untuk me-SMS suaminya bahwa Siti harus pulang terlambat sebab cucian di rumah Neng masih banyak yang belum digosok. Sudah lima kali Siti menepuk pundak Pagi, namun ia tak bergerak. Kepalanya tertunduk, tampak ia sedang mengeja kertas di depannya. Siti nampak semakin takut dan bingung sebab Pagi tak juga menyahut bicaranya. Siti sudah tak lagi memikirkan tentang kepulangannya yang terlambat. Ia berkata, "Neng ini kenapa?". Siti semakin terkaget saat Pagi menoleh ke arahnya. Dilihatnya mata dan mulut Pagi yang berkobaran. Persis api, tapi bukan api. Tak berasap. Sejak sore itu, Pagi menganga. Depok, 12 Juli 2012