Senin, 28 Desember 2009

Cerita Lebaran

Libur Lebaran tahun ini penuh cerita
Saat saya memutuskan pulang tanggal 18 alias H minus dua,
detak jantung berdegup biasa
sebagai pertanda akan melampauinya dengan baik-baik saja

Jumat siang, kaki ini melanglang naik bus kota
jurusan terminal di Jakarta, Lebak Bulus namanya
Di sana kawan-kawan tengah menanti
dua jam sebelum keberangkatan tepatnya
Mereka terlalu khawatir tertinggal armada

Sebenarnya, saya pun diwanti-wanti agar datang in time istilahnya
Saya jawab,”Ya, saya akan datang sebelum keberangkatan armada.”
Sungguh benar janji saya
Tubuh ini dan barang bawaan dua tas tiba
dua puluh menit sebelum bus meninggalkan Jakarta

Tak terasa melaju, kita pun sampai di Cikampek
Macet begitu dahsyat hingga ratusan mobil bagaikan satu armada berderek
Sungguh terlalu capek
Kami berkeringat hingga lepek
sebab AC berhembus cethek

Biasanya, saya menjumpai rumah setelah 16 jam berada di armada
Tahun ini memang berbeda masanya
Molor sepuluh jam lebih menjadikan bosan makin terlalu
Bagaimana tidak? Saya pulang tepat pada Puncak arus mudik,
Jumat malam Sabtu
***
Tiba di rumah tepat 45 menit sebelum sayup azan asyar terdengar
Alhamdulillah, kutemui ayah dan ibu
dengan otak dan rasa berbinar
Dalam perjalanan itu, perutku hanya terisi seporsi makan malam
hingga ia berteriak, “Aku lapar!”

Usai magrib, pintu rumah diketuk kerabat
Teman sebayaku singgah, Nurin namanya
Kami bersiap diri menyusul buka bersama
Sebab kami tak pakar bermotor di jalan raya,
Kakaknyalah jadi korban hingga kami berbonceng tiga

Bertemu dengan kawan sebaya usai lama tak berjumpa
membuat hati terasa berbunga
Kami bertegur sapa, bertanya kabar, dan menikmati es blewah
Emmm, sungguh manis rupanya

Beberapa kotak nasi dan beberapa es blewah terwadah
menyapa kami untuk terus minta disantap
Rupanya, perut ini terlalu rakus jika menanggapinya
Gagasan seorang teman guna menyedekahkannya
pada tukang becak dan abang ojek menjadi solusinya

***
Malam takbiran cukup indah
Bercengkerama dengan keluarga hingga larut malam pun tak terasa
Bertanya rasa, cinta, dan asa
Malam ini penuh cinta dan cerita

Pagi-pagi buta, Bapak telah menyiapkan baju dan sarungnya
Beliau diamanahi untuk menjadi imam salat Idul Fitri di masjid dekat rumah
Saya bertanya,”Hari ini Bapak mau baca surat apa?”
“Al-A’la dan Al-Ghasiyah”, jawabnya.
Kedua surat itu memang sudah biasa dibaca Rasulullah saat hari raya
Jika kita mengikutinya, kita melaksanakan sunahnya

“Baju saya mana ya?”
“Sapu tangan warna coklat ada di lemari mana?”
“Ibu, sarungku yang baru beli kemarin sudahkah disetrika?”
“Jangan lupa nyapu, ngepel, nyiram bunga, dan ngelap kaca ya!”

Suara-suara itu makin merdu saat terucap dari mulut-mulut terbuka
Kami sadar kewajiban
Kami tak membedakan pekerjaan rumah bagi saudara laki-laki ataupun perempuan
Kami harus mencuci piring seusai memakainya
Kami menghormati itu semua
Kami bahagia meski terkadang dalam selang gelak tawa terselip duka

***
Tradisi bertemu nenek buyut kami tunaikan saat lebaran ketiga
Paman dari seberang, Borneo, pun datang untuk bersua
Kami berkendara Avanza menerjang jalan berbatu di suatu desa
Berjabat tangan, muka, dan hati: itulah tradisi keluarga

Kami bersama-sama memanjatkan doa pada Allah ta’ala
Memohon ampun atas khilaf ucap dan tindakan berkelamut dosa
Teriring pula doa khusus untuk saudara kami yang telah dahulu menghadap Penguasa

Berkeliling ke rumah saudara, bertemu dengan kawan, dan tetangga
Menjadi fitri dengan saling memaafkan hingga gugur dosa-dosa
Makanan, minuman, jajanan, bahkan obrolan pun jadi santapan utama

Begitu indah ukhuwah ini
hingga Allah ta’ala menjamin rezeki bagi orang-orang yang senantiasa menjaga tali silaturahmi
Semoga kita termasuk dalam golongan orang-orang yang selalu saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran meski terkadang dilanda duka tak terperi.
Amiin.

Potret Masa Lalu

Sungguh menakjubkan putaran waktu yang dicipta Allah. Aku ingin tuliskan putaran waktu yang kuingat. Sebanyak mungkin. Di sini. Saat ini.

Aku tak bisa bercerita banyak bagaimana saya waktu bayi dulu. Aku hanya mampu bercerita sedikit tentang masa itu dengan pengetahuan tentang diriku dari sekitar. Aku terlahir sebagai anak keempat dari enam bersaudara. Aku mendekam di dalam kandungan selama sepuluh bulan. Itu bukan jangka waktu biasa, sembilan bulan sepuluh hari.

Saat berumur beberapa bulan, aku pernah terjatuh dari gendongan seorang teman perempuan Mbak Ulfah, Mbak Dwi namanya. Ah, tak apa. Bahkan, seingatku, aku tak pernah merasakan sakit itu. Aku bahagia dapat melihat potret diriku sendiri saat bayi. Enak sekali. Di mana-mana selalu digendong ibu. Terpotret dalam gambar juga di sekelilingku banyak anak-anak lucu yang bahkan saat ini mereka sudah punya anak seumuran anak-anak dalam foto.

Dua kakak lelakiku selalu berpose seperti jagoan. Ada adegan mengangkat dua tangan yang diangkat tepat di depan dada. Tangan kanan lebih maju daripada yang kiri. Kakinya setengah turun dengan muka yang menantang terarah pada kamera. Ah, lucu sekali! Amir adalah kakak pertama. Dia tegas, tapi terkadang suka menunda pekerjaan. Tapi, apapun itu, dia mencontohiku untuk selalu berani bertindak dan tetap bertahan selama kita benar.

Selepas SMA, ia meneruskan studinya ke IKIP Malang dnegan mengambil jurusan Pendidikan Kewarganegaraan. Tak utuh setahun, ia memutusan untuk keluar dari tempat itu. Alasannya, dia tak begitu kuat dengan udara Malang yang dingin. Sakit typusnya sering kambuh. Saat pulang pun, ia dalam keadaan sakit. Mungkin, ada sebab yang lain. Tapi, aku belum tahu. Kan kutanyakan padanya esok.

Salman, kakak laki-laki ketigaku. Saking cintanya dengan ayam jagonya, dia mendoumentasikannya dalam sebuah foto. Di sana ada aku, Mbak Sita, Mbak Atin, Iput kecil, Mbah Yah, Kak Salman, dan seekor ayam jagonya itu. Dia seringkali mengelus-elus bulu ayamnya. Sepulang sekolah, pasti ayam yang diperhatikannya. Tak pernah aku mendengarnya kalah dalam pertarungan. Selalu menang! Sebenarnya, aku tak bangga padamu atas hal ini sebab ternyata ada yang lebih berarti dalam ingatanku tentangmu.
--bersambung

Sabit

Tit tit tit.

Bunyi hape memecah konsentrasiku yang sedang baca Kompas, berita mengenai jebolnya tanggul di Situ Gintung, Banten.

Nduk, bisa ke Bekasi sekarang nggak?
Kak Rifky nginep d rmh tmnnya mlm ini
Km temenin ak ya

Kubalas,
Oke

Langsung aku melangkah meniti tangga bercat hitam sempurna yang meliuk mengitari sebatang besi kokoh. Tak biasanya aku mendaki dengan melekatkan tangan pada pegangan tangga karena tak mau kuulangi peristiwa shubuh suram itu. Saat itu, mata dan otakku menyatakan bahwa anak tangga tinggal satu lagi, ternyata salah. Dan, terkilirlah. Sakit.
Tangga di kosan Cempaka Sari menyimpan misteri yang sampai saat ini takterpecahkan. Ia telah memakan korban lebih dari sepuluh anak. Kasusnya sama, koordinasi otak dan mata yang tak sesuai dengan fakta. Hanya karena sebuah anak tangga yang terlewatkan. Nah, sekarang aku tahu rahasia misteri itu: kehati-hatian sangat diperlukan dalam setiap situasi, tak terkecuali untuk menapaki anak tangga.

Meskipun begitu, aku tetap gemar menapakinya. Ya iyalah, kalo aku nggak lewatin situ ya nggak bakal sampe ke kamar. Lebih dari itu, tadi malam kusadari keeksotisan langit terlihat ketika berdiri di atasnya. Aku dapat memandang langit karena tangga kosan ada di deket taman dalam yang tak beratap. Terbuka.

Bulan sabit seolah tersenyum pada setiap insan yang memandangnya. Namun, tak banyak orang punya waktu untuk sekedar mendongakkan mukanya. Aku tak berpikir bahwa orang yang mendongakkan muka adalah orang sombong. Mereka menyempatkan waktu untuk berkedip pada bulan, bintang, kucuran air hujan, dan langit. Mereka mulia karena berada di atas.
Biru laut. Ah tidak, dia lebih pekat dari itu. Ada semburat hitam. Seperti degradasi lukis buatan anak TK yang memenangi perlombaan mewarnai di Taman Mini Indonesia Indah. Sebenanya, TMII itu besar, tapi kok dibilang kecil ya. Bingung.

Memang, lukisan Allah tak tertandingi. Bayangkan saja, Dia hanya melukis langit dan lekatkan bulan padanya. Tak utuh, kira-kira seperenam saja. Sabit tepatnya. Indah sempurna. Lebih indah dari yang utuh. Kusadar sekarang kesempurnaan tak selalu menuntut keutuhan, tapi menutut memberikan yang terbaik.

Terkadang, aku berpikir, di mana ujung langit itu berada. Tapi tak kutemukan jawabnya. Pernah kubaca sebuah buku, bahwa langit itu segala sesuatu yang berada di atas. Ketika kita berada di dalam ruangan maka langit kita adalah atap. Langit, apa iti langit? Sebuah judul buku bersampul biru muda. Yang pasti, kulihat dia tersenyu manis pada dunia saat ini. Melihat anak kecil bermain petak umpet di sebelah kosan. Riuh.
Indah dan damai kurasa. Aku punya firasat indah, aku bisa terbang ke bulan kayak lagunya Memes, “pesawatku terbang ke bulan.” Itu hanyalah sebuah firasat baik. Ada juga kok firasat buruknya. Jangan-jangan pas perjalanan pulang aku bakal jatuh seusai mampir ke bulan. Pesawatnya nyungsep ke Mars. Aduh, jangan sampai deh. Ngomongin pulang, jadi inget aku harus segera pulang ke Bekasi. Segera.

Memasuki Diri

Mengerti lingkungan, sejatinya, hanya mampu dilakukan saat diri telah lulus mengerti diri sendiri. Sebuah perjalanan yang tak pendek saat semuanya dikembalikan pada diri: siapakah saya?; dari manakah saya?; Apa tujuan hidup saya?; Ke mana saya akan kembali?

Sebuah diskusi menarik kami lakukan pada Rabu malam, 9 Desember 2009 di kosan. Saya, Dadah, dan Miu membincang pengenalan diri. Diawali dengan obrolan kecil, diselingi tawa ceria, dan makanan tentunya, kami menonton sebuah pengantar film, Celestine Prophecy. Sebagai sebuah sarana pembelajaran, cuplikan ini menjadi anjuran yang bagus.

Malam itu, saya mendapat peneguhan pembelajaran bahwa tempat bergantung segala sesuatu adalah Allah –untuk afirmasi yang ke sekian kalinya-. Allah, pemberi energi dan cinta yang tak terbatas, menguatkan saya untuk percaya diri menatap hidup. Terkatakan sebagai tindakan awam jika saya masih merasa tidak berarti saat tak ada teman ataupun saudara yang berada di dekat saya.

Bayangkan saja: saat semua teman ataupun saudara memiliki urusan masing-masing yang harus ditunaikan dalam waktu yang sama dan tempat yang berbeda, apakah saya harus sedih karena tidak ada yang menemani saya? Atau saya harus bingung sebab ingin tahu mereka berada di mana dan sedang apa? Jawabannya: tidak! Saya percaya bahwa banyak orang di sekitar kita memiliki energi dan cinta untuk dibagikan pada kita. Ingat, itu terbatas! Bagaimana jika mereka semua meninggalkan kita? Bagaimana jika ada musibah dahsyat melanda dan kita tertinggal hidup seorang diri di kerumunan orang tak dikenal?

CONTOH KECIL
Siang itu, saya berjalan menyusuri jalan setapak balik hutan antara Stasiun UI dan FIB. Tiba-tiba, ada yang mencolek pundak. Saya kaget. Saya berputar 360 derajat ke arah kiri, tapi dia sudah berada di sebelah kanan saya.

“Ooo, mbak Ika.”
“Iya. Kok kamu jalan sendirian?
“Iya, Mbak. Udah biasa kok.”
“Ooo, gitu ya. Eh, saya nggak PD lho kalo jalan sendiri gitu. Gimana gitu rasanya. Kayak ada yang kurang. Nggak sreg aja. Jadi, saya lebih suka ada barengannya.”
“Ooo.” Saya termanggut-manggut. Pun tersenyum menolehnya.

Kami berdua berjalan hingga sampai berjumpa Gedung II.
“Mbak, saya mau ke Kansas dulu ya. Mau makan. Sedari pagi, saya belum makan. Laper.”
“Sendirian?”
“Iya. Atau Mbak mau ikut?”
“Oh, nggak. Saya udah makan kok. Saya juga nggak PD lho kalo makan di Kansas sendirian. Gimana gitu rasanya. Aneh aja. Nggak nyaman. Nyaman kalo bareng temen-temen”
“Ooo.” Lagi-lagi, saya termanggut-manggut dan tersenyum menolehnya.
“Oke. Saya duluan ya.”
“Iya, Mbak.”
Kami berpisah di koridor gedung perpustakaan menuju Kansas. Mbak Ika belok kiri. Tujuan kami berlainan.

PEMBELAJARAN
Sebuah keadaan mengkhawatirkan saat kita sendiri tak mampu menjadi teman bagi jiwa dan diri kita sendiri. Begitu kasihan jika kita hanya merasa berarti saat ada orang yang memperhatikan kita. Perhatian, cinta, dan apresiasi seakan tak habis kita ingini. Fitrah memang, tapi dari mana seharusnya?

Seseorang akan diperhatikan atau diapresiasi hanya jika dia memiliki nilai untuk diperlakukan seperti itu. Perhatian, cinta, dan apresiasi itu berasal dari diri sendiri. Lalu, dari manakah asal kekuatan diri itu? Pemberi energi dan cinta yang tak terbatas adalah Allah. Dialah yang Maha Pengasih. Dia Maha atas kesemuanya, tak terbatas.

Orang yang telah mengenali diri akan pede dalam melakukan aktivitasnya. Tak perlu lagi merasa sendiri atau tak terperhatikan. Merasai perhatian yang bersumber dari arah tepat akan berefek tepat. Jika diri telah membendung perhatian lebih, tak usah lagi bermohon perhatian pada yang lain. Lebih dari itu, diri pun mampu berbagi pada sekitar.

Keadilan bukanlah Kalkulasi Angka Senilai

Membincang perempuan tak ada habisnya. Hak, kewajiban, dan penghargaan, kesemuanya menjadi menarik saat dilekatkan padanya. Perempuan semakin menarik diperbincangkan saat ditelisik peranannya dalam ranah publik. Banyak terdengar sayup teriakan tuntutan kesetaraan peran perempuan dengan laki-laki di seluruh penjuru ranah. Tuntutan untuk memperoleh porsi yang sama menjadi senjata ampuh untuk memperjuangkan hak perempuan. Apakah memang harus begitu? Apakah keadilan selalu merujuk pada kalkulasi angka senilai, 50:50?

Dua jenis manusia di dunia ini ada dua, perempuan dan laki-laki. Diciptakannya jenis yang lebih dari satu ini pasti ada maksudnya, saling melengkapi ataupun yang lain. Allah berfirman dalam QS An-Nisa:1 sebagai berikut
Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan Allah menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan peliharalah hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.

Jika dalam suatu situasi dan kondisi ditemukan lebih dari satu orang, secara otomatis, satu orang akan jadi pemimpin dan yang lain akan dipimpinnya. Jika tidak, kondisi dan situasi akan kacau karena tak ada yang bersedia dipimpin ataupun sebaliknya. Kepemimpinan bukan berarti mutlak dipahami bahwa satunya lebih tinggi dari yang lain, melainkan sebuah cara untuk menciptakan kondisi ideal secara bersama-sama sehingga tujuan dapat dicapai dengan baik dengan sebelumnya menempatkan segala sesuatunya pada tempat yang tepat.

Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.
Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan akan mendapat suraga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan mendapat tempat yang baik di surga ‘Adn. Dan keridhaan Allah lebih besar. Itulah kemenangan yang agung.

Kedua ayat di atas, QS At-Taubah 71-72, memberikan jaminan dan kedudukan yang sama bagi mu’min laki-laki dan mu’min perempuan di hadapan Allah. Jika dipandang dari segala seginya, niscaya terlihat bahwa kedudukan perempuan mendapat jaminan yang tinggi dan mulia. Keduanya sama-sama memikul kewajiban dan mendapat hak. Keduanya bertugas menegakkan kebenaran dan keadilan, mengokohkan akhlak yang tinggi dalam pembangunan masyarakat, menjauhkan kerusakan akhlak, dan menentramkan bila terjadi kekacauan.

Kesamaan memiliki hak dan kewajiban di antara laki-laki dan perempuan bukanlah berarti bahwa kesemua pekerjaan yang dapat dilakukan laki-laki dapat juga dilakukan oleh perempuan. Oleh sebab itu, meskipun sama-sama berhak dan sama-sama berkewajiban, pekerjaan harus dibagi. Jika keduanya mengerjakan pekerjaan yang sama akan timbul hasil yang sia-sia, bahkan ada yang tak terlaksana. Hal seperti ini mengisyaratkan kepada kita bahwa sebenarnya keadilan tak sepenuhnya ditunjukkan oleh kalkulasi angka senilai, 50:50, melainkan ketepatan dalam peletakan segala hal hingga memunculkan hasil yang memang tepat dan pantas didapat.
Wallahu a’lam.

Bahan Pustaka
Al-Qur’anul karim
Hamka. 1984. Kedudukan Perempuan dalam Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Megawangi, Ratna. 1999. Membiarkan Berbeda?: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Bandung: Mizan.