Sabtu, 18 September 2010

Merencanakan Pendidikan Anak

Seorang anak sebaiknya diarahkan sesuai minat dan bakatnya sejak kecil. Jika menunggu gede alias seusia anak SMA itu kelamaan. Buang-buang waktu. Semuanya harus sejak dini supaya lebih fokus dan terarah.



Untuk jenjang Playgroup dan TK, kita yang belum atau tidak punya TK sendiri di rumah, harus pintar memilihkan tempat belajar untuk mereka sejak dini. Yang jelas, sudah sepatutnya kita memberikan pengetahuan tentang Islam sejak dini pada mereka :D Pilih TK yang islami :D



Seusai TK, anak-anak bisa dimasukkan ke SD atau MI atau SDIT. Saat mendaftar di SD atau sederajatnya, murid mendapatkan Nomor Induk Siswa Nasional. Nomor induk inilah yang akan dipergunakan hingga mereka belajar di tingkat SMA. Kalo zaman kita dulu masih pake Nomor Induk Sekolah sehingga setiap jenjang pendidikan nomornya berubah-ubah. Kali ini, sudah tidak lagi seperti itu.



Masih inget saat kita SD dulu, teman-teman? Kita mengenyam SD selama enam tahun. Sungguh, itu waktu yang terlalu lama untuk menjawab soal-soal ujian. Ada alternatif yang bisa kita tawarkan ke anak-anak kita nanti. Seperti ini: Kelas 1, 2, dan 3, biarkan mereka bersekolah. Saat menginjak kelas empat, kita cabut anak kita dari sekolah dan laksanakan Homeschooling :D Kenapa Homeschooling? Saya pikir homeschooling dapat menjawab keinginan para orangtua yang menginginkan anaknya untuk lebih fokus pada satu hal. Misalnya mendalami Ilmu Komputer atau Menulis atau Wirausaha atau Menghafal Qur’an atau yang lain.



Oiya, untuk Homeschooling, lebih baik Tidak Membawa Kurikulum Sekolahan ke Rumah, tapi benar-benar Membentuk Anak Sesuai Minat dan Bakatnya. Selama kurang lebih dua tahun, biarkanlah anak-anak fokus pada satu bidang saja. Jika seorang anak sangat menyukai Ilmu Komputer, orangtua bisa mendatangkan guru komputer ke rumah untuk mengajarinya. Jika seorang anak sangat menyukai Menulis sejak kecil, juga bisa difasilitasi dengan cara serupa.



Sangat menyenangkan jika minat dan bakat anak-anak sesuai dengan kompetensi orangtuanya sehingga belajar menjadi hal yang sangat menyenangkan. Seperti yang dilakukan oleh Dina. Ia diharuskan membuat resensi setiap buku yang telah dibaca, lalu diserahkan ke abahnya sendiri, Adian Husaini, untuk dikomentari dan dinilai. Saat ini, Dina telah merampungkan novelnya yang terdiri dari 150 halaman dan sedang dalam proses penerbitan. Bukankah lebih baik ahli dalam satu bidang tertentu daripada mempelajari berbagai bidang, tapi tidak ahli?



Banyak yang berpikir bahwa anak-anak Homeschooling itu kurang gaul alias kuper. Ah, tidak juga. Mereka tetap bersosialisasi dengan teman-teman di lingkungan rumah. Jika mereka mengikuti kegiatan di luar, seperti Tae Kwon Do, itu lebih bagus. Hal seperti ini tidak menghalangi seorang anak dalam bergaul kok :D



Oiya, jangan khawatir mengenai Ujian Nasionalnya. Saat seumuran dengan anak-anak yang menginjak ke kelas enam, anak bisa diikutkan ke Bimbel selama setahun. Pelajaran SD itu nggak susah-susah amat kok. Bisa dikebut setahun dengan bimbel. Jangan lupa untuk mendaftarkan anak pada Ujian Kesetaraan. Dengan demikian, anak-anak tetap bisa mengaktualisasikan diri sejak dini sekaligus tidak tertinggal ujian kelulusan yang diselenggarakan pemerintah. Tak perlu dikhawatirkan jika hasil nilai ujian mereka ternyata kurang bagus. ‘Kan kita Butuh Mencetak Ahli, bukan Mencetak Nilai-Nilai Bagus. Banyak yang bernilai bagus, tapi tak ahli. Tapi seorang ahli selalu dibutuhkan ummat, bukan?



Seusainya lulus SD, orangtua dihadapkan pada pilihan lagi. Apakah akan menitipkannya pada sekolah konvensional ataukah pesantren? Atau pada alternatif lain. Biasanya, seorang anak yang sudah mengenal bakatnya sejak dini, akan diteruskan hingga ia dewasa. Yang jelas, jangan sampai lupa pada tujuan pendidikan dalam Islam, yaitu untuk mengenal Allah. Di manapun kita menginjakkan kaki untuk menimba ilmu, tak henti untuk belajar agama. Begitu juga dengan anak-anak kita nanti. Wahai, para calon orangtua, mari siapkan diri untuk jadi orangtua pintar secara pikiran dan hati untuk menyongsong masa emas esok hari :D

Kamis, 12 Agustus 2010

The Tours of My Holiday Part1: Jogja

My campuss, University of Indonesia, has very long holiday for three months, June till August. There are many activities that should be done. Go to campus for BEM activities and talks with my friends. Sometimes, we wanna meet each aother and sharing about many things. That's a kind of women's custom :D



Jogja

On early July 2010, I and my friends went to Jogja. They are Eka, Omen, Oot, Dhana, Dwi, and Afif. We left Tanah Abang Station to Jogja by Brantas train with Economy Class. The ticket price is 38000 per person. There is no seat number! So, we have to look for the seats as soon as possible. Thanks, Omen :D You're truly A Man of Train This Year, haha :D



Some of us shocked with the condition of the train because it was narrow and sultry. Although like that, we enjoyed our trip by crushing, laughing, and sleeping. It took about 12 hours. We arrived at Lempuyangan Station about 6 am.



There, we lived at Harum Hotel at Sosrowijatyan Street, a part of Malioboro. The price is 100.000 per a day for two people. It is the holiday price. For the daily, it's just 80.000. The location is very strategic. If we wanna go to Malioboro, it just takes 5 minutes. Beside that, the shelter of Trans Jogja is not far too. So, Harum Hotel is recommended :D



For two days there, we visited some tourism places, like Masjid Agung Jogja, Keraton Jogja, Malioboro, Borobudur, and some of museums in Borobudur area. We visited The Faculty of Humanity, Gadjah Mada University too.



Many experiences there. It's very amused when Oot was forced by the statue seller to buy his stupa in Borobudur. Because Oot is a kind man and has great sympathy with him, finally he bought it. But, the problem is when Oot said, "I don't know what for this!." Haha :D



The other story is when we walked along the Malioboro street. I've found cute broochs.

"How does the price of this one?" asked me.

"fifteen"

"Waaaw. It's too expensive. I think its just 3 thousand. How?"

"Emmmm. Emmmm. No, no, no. 10.000 for 3 pieces."

"Okay. I 'll buy 3 pieces."



Guys, if you wanna buy some on Malioboro, you have to bargain. You have to do that if you wanna get cheap price. All of the things there :D



Thanks a lot for Eka, Dhana, Oot, Dwi, Omen, and Afif. It was nice trip with you :D Next time, I hope we will go to somewhere together again. Afif, get better soon ya :D



Okay, guys, tomorrow, insyaallah, I will share to you about Banjarmasin. I'm in Banjar now. See you :D

Kamis, 08 Juli 2010

Cermin Tengah Tahun Keluarga Keilmuan dan Kajian Budaya

Laporan Pertanggungjawaban adalah istilah yang menakutkan bagi saya sejak dulu, sejak duduk di bangku SMA. Saat saya harus mempertanggungjawabkan kelakuan saya dalam sebuah organisasi. Saat mempertanggungjwabkan janji-janji manis di awal dengan berjuta impian. Saat perasaan dan hati ini selalu deg-degan dalam mengucapkan.

SMA
Saya akui perjalanan karir organisasi bernama OSIS SMA Negeri 1 Padangan tak sebaik cerita kawan-kawan OSIS di Jakarta, Bandung, ataupun Depok. Dulu, kami adalah kerumunan manusia SMA yang ingin berbuat sesuatu untuk SMA kami. Tapi, nyatanya tak juga sesuai dengan jutaan impi di awalan. Meski begitu, saat saya berkunjung ke SMA beberapa waktu lalu. Pak Slamet, penjual bakso di kantin SMA bilang,”Nil, OSIS sekarang kok kurang rame ya. Lebih rame waktu kamu dulu.” Ah, Pak Slamet ada-ada saja. Saat itu saya tak berbuat apa-apa. Tak ada yang sia-sia. Itulah pembelajaran.

Tahun pertama, kedua, dan ketiga saya lalui di UI. Banyak hal menjadi pelajaran, termasuk yang satu ini: BEM FIB UI. Dengan penuh kekhawatiran dan kegemasan, akhirnya saya terima juga tawaran Ijonk pada saya untuk menjadi Kepala Departemen Kelmuan dan Kajian Budaya. Sebuah depertemen baru. Sebuah amanah dengan double job, yang dulunya adalah Departemen Keilmuan dan Departemen Kajian Budaya.

Bismillahirrahmanirrahim.
Laa haula walaa quwwata illa billah.
Menjadi pemimpin bukan berarti tanpa cacat, tapi memang tak termaafkan jika memberi contoh cacat dengan sengaja. Bergabung di berbagai organisasi di waktu-waktu lalu adalah pembelajaran yang tak pernah terlupakan dan di setiap langkahnya ada pelajaran. Di sini, saya harus menjadi lebih baik dari yang lalu.

Enam bulan telah berlalu. Dan semua itu harus dipertanggungjawabkan. Bukan hanya kepada Ketua BEM. Bukan hanya untuk Dewan Perwakilan Mahasiswa. Bukan hanya untuk anak-anak saya dalam Departemen Keilmuan dan Kajian Budaya. Bukan hanya untuk masyarakat FIB UI. Melainkan juga untuk yang mencipta raga dan jiwa seluruh insan di dunia, pada Allah ta’ala.

Kamis, 8 Juli 2010.
Baru saja kaki tiba dari Jogja jam setengah 10. Jam 11-nya sudah duduk di 4101 untuk Sidang LPJ Tengah Tahun di hadapan masyarakat FIB UI.

Teman-teman, banyak pelajaran yang tertempel di hadapan muka kita. Pilihannya, ada dua: ambil atau tidak. Di sinilah, marilah kita ambil itu. Pada gilirannya, saya membacakan LPJ yang telah saya buat beberapa waktu lalu. Semuanya diungkapkan. Jika mau baca selengkapnya, bisa baca di LPJ, ada di BEM.

Alhamdulillah, semuanya menanggapi dengan baik. DPM menanggapi dengan baik dan memberikan apresiasi yang baik untuk kita. Alhamdulillah, ketua BEM pun memberikan apresiasi yang baik bagi kita.

Teman-teman, menjadikan keluarga ini sebagai wadah tempaan yang menghasilkan kebermanfaatan adalah salah satu dari sekian cita-cita saya tahun ini. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Namun, itu baru dari mereka. Belum dari Dia, Sang Penguasa. Wallahu a’lam. Semoga langkah-langkah kita adalah jalan mendekat pada-Nya.

Terima kasih, saudara-saudaraku. Aku sayang kalian.

Sabtu, 12 Juni 2010

GAK APA-APA IP TURUN :)

oleh Nila Rahma, Atlet Terjun Payung (hehe)

Hai, teman-teman :)
Apa kabarnya nih setelah melihat nilai-nilai di SIAK bermunculan?
Merasa lebih baik karena sesuai dengan harapan?
Atau merasa lebih tidak baik karena tidak sesuai dengan harapan?
Atau bahkan biasa-biasa aja?
Emmm, ada yang gak lulus mata kuliah semester ini? Santai aja, masih ada temennya, haha.
Saya yakin jawaban tiap Anda berbeda-beda.
Jika nilai Anda naik, saya mengucapkan SELAMAT :)
Jika nilai Anda tidak naik, bisa baca tulisan berikut dan semoga bisa jadi bahan bacaan di tengah liburan.

Jika masih ada nilai yang belum keluar, berdoalah yang terbaik. Bukankah Allah Mahakuasa atas segala sesuatu? Mungkin aja yang seharusnya nilainya A- bisa jadi A karena keypad (-)nya ngga bisa dipencet waktu mau masukin nilai. Sedangkan batas waktu pemasukan nilai ke SIAK sudah di garis sakaratulmaut. Loh, apa yang gak mungkin coba?

Oke, badai pasi berlalu. Tapi, bagaimana cara melalukan kesedihan ini? Huaaaaa (nangis ke laut aja). Baiklah, teman-teman. Saya akan mencoba menghibur diri saya sendiri dan menghibur kalian (jika mampu), hehe...

Terjun payung menjadi kata yang cukup representatif untuk menggambarkan keadaan IP ataupun IPK yang turun drastis. Masalah? Iya, masalah. Tapi bukan KIAMAT. Mari kita analisis bersama: Sebenarnya, apakah yuang terjadi dan bagaimana menyikapinya?

1. Kenapa IP turun?
Biasanya, IP turun bisa disebabkan oleh kekurangpahaman mahasiswa terhadap materi perkuliahan.
2. Kenapa bisa kurang paham?
Karena kurang belajar.

3. Kenapa kurang belajar?
Ada yang bilang karena sibuk di organisasi. Rapat melulu jadi nggak bisa bagi waktu, Waktunya habis dipake rapat. Haha, yang ini kayaknya nggak bener lho. Karena apa, karena ternyata IP Ketua BEM FIB kita NAIK. Mari kita beri tepuk tangan. Plok plok plok.
Kurang belajar bisa disebabkan oleh kekurangpintaran mengatur waktu. Seperti saya ini yang tidak pintar, haha. Manajemen waktu MUTLAK harus dikuasai oleh mahasiswa kura-kura (kuliah rapat, kuliah rapat).

4. Kan capek habis dari kampus, abisnya udah malem. Jadi, nyampe rumah langsung tidur. Nah, kalo kayak gini, siapa yang salah?
Yang salah ya diri sendiri. Ini namanya MALES. Seperti saya, haha. Kan ada omongan terkenal tuh: Siapa mau dapet lebih ya kudu kerja lebih. Bukan begitu, Sodara-sodara? Soal waktu tidur: kalo mau, tidur 3 jam aja sehari. Kalo yang namanya aktivis mah tidur segitu juga udah cukup. Kalo mabit kan diajarin tidur cuma 2-3 jam. Mari kita aplikasikan. Hayoo, siapa gak setuju?_kayaknya banyak nih, hehe.

5. Kesimpulan dari obrolan di atas adalah: Siapa yang salah? Diri sendiri. Hayoo, ngaku! Kalo nggak ngaku, digebukin polisi (halah, apa hubungannya coba? Tertawa yuuk, haha). Nah, pertanyaan selanjutnya adalah: Jika sudah begini (nilai terjun payung), terus SAYA HARUS BAGAIMANA?
Gampang. Tenang aja Lhoh, kok tenang? Iya dong. Kalo nggak tenang, nggak bisa menyikapi masalah dengan bijak. Kalo kayak gini bisa nangis seharian di kamar sampe matanya nggak beraer karna udah abis mata airmatanya (halah, lebay!)
Setelah membaca buku Membangun Peradaban dengan Ilmu, saya memperoleh banyak hal untuk melihat sebuah masalah. Misalnya masalah IP ini.

Kutipan halaman 6 buku tersebut,
”Dalam permainan sepakbola, apabila seorang penyerang mau menendang bola ke gawang, semua pemain belakang lawan akan menutupi gawang itu. Peluang menciptakan gol menjadi sempit. Sang penyerang yang cerdik tentu akan memberikan bola ke belakang, supaya pertahanan musuh mengembang terbuka. Dalam sepakbola sekalipun, kemajuan, kemenangan, bukan senantiasa menyerang dengan mengarahkan bola ke depan tetapi juga mundur untuk mengatur strategi baru.”

Nah, apa hubungannya dengan pembahasan kita?
Saya ingin menggarisbawahi perkataan Prof. Wan. Yang ini: tetapi juga mundur untuk mengatur strategi baru.
Apa maksudnya?

Kalo saya nih mencernanya begini:
GAK APA-APA IP TURUN. Toh ada alasan yang dapat diterima. Misalnya meskipun IP turun, jumlah pengetahun Anda tentang sesuatu yang sangat Anda minati makin banyak karena jam-jam kuliah dihabiskan dengan membaca buku-buku terkait dengan itu. Bisa juga bolos di jam-jam kuliah untuk hadir dalam acra yang kita ykini lebih memberikan manfaat pada diri kita (syuku2 bagi ummat juga). Asal IPK nya masih di atas 3 ya nggak jadi masalah, ya minimal lebih dari sama dengan 2,75 lah. Bukankah ini strategi untuk masa depan? Karena bagaimanapun, Anda akan menggeluti bidag yang sangat Anda minati daripada yang lain.

GAK APA-APA IP TURUN. Toh ada Substitusi: ada hal pengganti. Misalnya IP turun, tapi Anda menjadi Juara SUATU PERLOMBAAN, misalnya Balap Mobil, Balap Motor, Balap Kuis, Balap Sepeda, Lomba Lari, ataupun Lomba Makan Kerupuk (halah, yang ini nggak masuk). Jadi, ada PENGGANTI yang bisa membahagiakan Anda.

GAK APA-APA IP TURUN. Kan IP sekarang. Insyaallah, jika masih diberi umur, kita bisa PERBAIKI di SEMESTER BERIKUTNYA. Dengan cara apa? Rajin belajar, Rajin berdoa, Rajin bagi waktu, rajin bagi-bagi makanan. Loh kok bisa? Ya iyalah bisa. Kan kalo orang baik, termasuk yang suka memberi, biasanya, dimudahkan jalan kebaikannya.

Jadi, GAK APA-APA IP TURUN ASAL NGGAK DIULANGI LAGI SEMESTER DEPAN. Oke, teman-teman. SEMANGAT!

“To move forward you must look backword, but not to stay backword”
‘Jangan kembali ke belakang untuk terperangkap kepada infrastruktur zaman lampau. Akan tetapi, pandang ke belakang untuk mencari I’tibar”
Gampangannya begini: kalo mau maju, liat ke belakang untuk mengambbil pelajaran, tapi jangan kelamaan ntar bisa-bisa nggak balik-balik lagi ke sini buat maju ke depan.

Minggu, 06 Juni 2010

Mencerna Konflik Palestina

Oleh Nila Rahma, Mahasiswa Program Studi Indonesia FIB UI


Palestina adalah tempat diturunkannya semua agama samawi, yakni Yahudi, Nasrani, dan Islam. Selain itu, letak geografis Palestina menjadikannya sebagai salah satu rute perdagangan internasional terpenting. Ia menghubungkan tempat peradaban Lembah Nil dan wilayah selatan Syria dan Iraq pada bagian lainnya. Wilayah ini menjadi pusat berbagai ekspedisi militer sehingga semua imperium besar pun mengincarnya, seperti Babylonia, Aushoria, Al Hethyeen, Parsia, Yunani, Romawi, Kekhalifahan Utsmani, dan Inggris. Napoleon pernah menyerang wilayah ini, namun digagalkan oleh perjuangan bangsa setempat.


Palestina Jatuh ke Tangan Israel

Tahun 1099, Jerussalem jatuh ke tangan pasukan Salib setelah memulai peperangan sejak 1095. Delapan puluh delapan tahun kemudian, pada tahun 1187, Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil membebaskan Al-Aqsha dari kekuasaan pasukan Salib. Pada Perang Dunia I (1914-1919), Inggris mengalahkan Utsmani yang menguasai Palestina. Karena kemenangannya itu, Palestina berada dalam kekuasaan Inggris. Lobi Zionis yang dikomando Theodore Herzl berhasil meyakinkan Inggris agar mereka mendapatkan The Promised Land di Palestina.

Theodore Herzl berhasil mendirikan negara Israel di wilayah Palestina pada tahun 1897, tepatnya setelah 50 tahun 3 bulan sejak ia menuliskan mimpinya di catatan harian. Ketika Sekutu menang pada PD II (1945), wilayah Protektorat Inggris, termasuk Palestina, diserahkan kepada Amerika. Hingga sampai saat ini pun, Amerika lah yang menjadi pendukung utama Israel di kancah dunia.

Dalam perang tahun 1967, Raja Husein dari Yordania menyerahkan Tepi Barat Yordan kepada Israel dengan alasan kalah perang. Pada tahun yang sama, Gamal Abdul Nasser menyerahkan Gunung Sinai dan Jalur Gaza. Hafedz Assad dari Suriah menyerahkan Dataran tinggi Golan.


Misi di Balik Pendirian Negara Israel

Pendirian negara Israel dilatarbelakangi oleh misi politik, yakni mendirikan negara bagi warga Yahudi dunia (nasionalisme-teologis). Tak dipungkiri jika isu agama dan kepentingan politik serta ekonomi berkelindan menjadi ideologi yang tidak dapat dipisahkan lagi dari Israel. Menjemput The Promised Land ‘tanah yang dijanjikan’ menjadi senjata utama mereka untuk melakukan tindak perebutan Palestina. Isu agama menjadi alasan yang paling ampuh karena mampu menjadi alat legitimasi. Jika mereka mempergunakan isu ekonomi, politik, ataupun HAM sebagai senjata maka efeknya tak akan seampuh ini. Misi keagamaan juga dijadikan sebagai alat pembangun solidaritas orang-orang Yahudi di seluruh dunia untuk bersama bahu-membahu guna mewujudkan berdirinya negara bagi warga Yahudi.

Target besar mereka adalah mendirikan negara Israel. Untuk mengecoh mata dunia, mereka seolah-olah fokus untuk melakukan penghancuran Al-Aqsha sehingga terlihat ini benar-benar sebagai misi keagamaan. Sudah tak awam lagi bahwa di bawah Al-Aqsha telah dibangun terowongan-terowongan. Untuk memperlihatkan keseolah-olahan seriusnya itu, mereka juga telah membuat maket Haikal Sulaiman. Dalam Al-Kitab diceritakan bahwa Haikal Sulaiman adalah tempat ibadah Nabi Sulaiman dan ayahnya, Daud. Di dalam Taurat (kata mereka), disebutkan pula bahwa Haikal Sulaiman harus didirikan lagi di The Promised Land. Mengenai pendirian Haikal Sulaiman ini, sebagian para Rabbi Yahudi tidak menyetujuinya.

Dukungan Barat terhadap Israel bukan tanpa sebab. Berikut ini beberapa alasannya:
1. Israel dapat menjadi jembatan paling kuat bagi kepentingan ekonomi dan politik Barat (Amerika) untuk secara gradual menguasai Timur Tengah.
2. Israel memiliki kesamaan nilai dengan Barat, sekuler-liberal.
3. Sebagian besar pemimpin politisk dan pelaku-pelaku ekonomi Israel berorientasi ke Barat.
4. Israel merupakan perluasan Peradaban Barat di Timur Tengah yang sejak lama menjadi batu sandungan sangat kuat bagi Barat.
5. Israel yang berada di tengah wilayah Timur Tengah ini sangat strategis dan menjembatani Asia, Afrika, dan Eropa untuk masuk ke seluruh wilayah Timur Tengah.

Kesewenang-wenangan Israel dalam penyerangan sungguh sangat menyengsarakan rakyat Palestina. Bagaimana tidak?
1. Kedatangan warga Yahudi selalu disertai pengusiran penduduk yang ada.
2. Yahudi melakukan pendekatan kekerasan terhadap rakyat Palestina.
3. Pembantaian terjadi sepanjang Yahudi berkoloni di Palestina sejak tahun 1930-an hingga sekarang.
4. Bangsa Palestina yang merupakan penduduk asli harus mengungsi dan sengsara, sementara para pendatang menikmati kehidupan baru mereka.

Berikut ini adalah beberapa pembantaian yang dilakukan oleh Israel:
1. Pembantaian King David (1946): 92 orang tewas.
2. Pembantaian Baldat Al-Syaikh (1947): 60 tewas
3. Pembantaian Yehida (1947): 13 tewas
4. Pembantaian Khisas (1947): 10 tewas
5. Pembantaian Qazaza (1947): 5 anak-anak tewas
6. Pembantaian Hotel Samirami (1948): 19 tewas
7. Pembantaian Naser al-Din (1948)
8. Pembantaian Tantura (1948): 200 tewas
9. Pembantaian Mesjid Dahmash (1948) 100 tewas
10. Pembantaian Dawayma (1948): 100 tewas
11. Pembantaian Houla (1948): 85 tewas
12. Pembantaian Salha (1948): 254 tewas
13. Pembantaian Deir Yasin (1948): 254 tewas
14. Pembantaian di Qibya (1953): 96 tewas
15. Pembantaian Kafr Qasem (1956): 49 tewas
16. Pembantaian Khan Yunis (1956): 275 tewas
17. Pembantaian di Kota Gaza ( 1956): 60 tewas
18. Pembantaian Fakhani (1981): 150 tewas
19. Pembantaian di Mesjidil Ibrahimi (1994): 5 tewas
20. Pembantaian Qana (1996): 109 tewas
21. Pembantaian Shabra dan Satila

Dan ingatlah ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil, ”Janganlah kamu menyembah selain Allah, berbuat baiklah kepada orangtua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Dan bertutur katalah yang baik kepada manusia, laksanakanlah salat dan tunaikanlah zakat.” Tetapi kemudian kamu berpaling, kecuali sebagian kecil dari kamu, dan kamu masih menjadi pembangkang.
Dan ingatlah ketika Kami mengambil janji kamu, ”Janganlah kamu menumpahkan darahmu (membunuh orang) dan mengusir saudara sebangsamu dari kampung halamanmu.” Kemudian kamu berikrar dan bersaksi.
Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh sesamamu dan mengusir segolongan dari kamu dari kampung halamannya. Kamu saling membantu (menghadapi) mereka dalam kejahatan dan permusuhan. Dan jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal kamu dilarang mengusir mereka. Apakah kamu beriman sebagian Kitab (Taurat) dan ingkar kepada sebagian yang lain? Maka tidak ada balasan yang pantas bagi orang yang berbuat demikian di antara kamu selain kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada azab yang paling berat. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan. (Al-Baqarah: 83—85)


Daftar Pustaka

Al-Qur’an. 2005. Jakarta: Gema Insani Press.

Buku
Hidayat, Nuim. 2009. Imperialisme Baru. Jakarta: Gema Insani Press.
Husaini, Adian. 2009. Indonesia Masa Depan. Jakarta: Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia.

Presentasi
Bachtiar, Tiar Anwar. Memahami Konflik Palestina. Diakses pada 5 Juni 2010.

Rabu, 02 Juni 2010

STUDI BANDINGAN ANTARA FABEL KARYA LA FONTAINE DAN SATJADIBRATA

Oleh Nila Rahma, Mahasiswa Program Studi Indonesia FIB UI


I. PENDAHULUAN

Di Prancis, seperti halnya di Indonesia, fabel tak habis-habisnya menebarkan daya tariknya yang besar. Di Indonesia, dapat ditemui sejumlah fabel yang berasal dari India dan Eropa yang telah mengalami transformasi. Tak mengherankan lagi jika kita membaca fabel Indonesia yang sama atau mirip dengan fabel yang berasal dari negeri asing, bahkan yang memiliki kultur berbeda.

Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI), fabel berarti cerita yang menggambarkan watak dan budi manusia yang pelakunya diperankan oleh binatang, biasanya berisi pendidikan moral dan budi pekerti. Fabel merupakan karya sastra yang muncul sejak abad ke-17 dan dibawa oleh tradisi klasik.

Fabel karya La Fontaine dan fabel karya Satjadibrata mengandung beberapa ciri yang sama. Aspek-aspek edukatif yang disiratkan dalam cerita-cerita yang mengandung teladan dan lucu ditemukan dalam kedua karya penulis tersebut. Dalam makalah ini, penulis akan membandingkan antara karya fabel La Fontaine dan Satjadibrata. Dengan membandingkan karya tersebut, akan diketahui persamaan dan perbedaan keduanya.


II. STUDI BANDINGAN ANTARA FABEL KARYA LA FONTAINE DAN SATJADIBRATA

2.1. Tentang Pengarang
2.1.1. La Fontaine
Jean de La Fontaine dilahirkan pada tanggal 8 Juli 1621 di Chateu-Thierry. Nenek moyangnya berasal dari Champagne. Ayahnya berkedudukan sebagai penasihat raja dan bekerja sebagai pengurus pengairan dan kebutuhan swasta. Pada saat dewasa, Jean de La Fontaine pun melakukan pekerjaan serupa. Ibunya, Francoise Pidoux, adalah keturunan keluarga dokter kerajaan, namun telah wafat saat ia masih kecil.

Dengan perantara paman istrinya, Jannart, Jean de la Fontaine berkenalan dengan Fouquet, menteri keuangan Prancis pada waktu itu. Pada masa itu, para seniman, baik penulis, maupun pelukis lazim memiliki pelindung yang membiayai hidup mereka. Para pelindung terdiri dari orang-orang penting di masyarakat.

Pada tahun 1641, ia belajar di Oratoire yang ditinggalkannya setahun kemudian. Selanjutnya, ia mempelajari teologia di Seminari di Juilly. Di sana, ia tidak termasuk murid yang baik sehingga ayahnya memintanya untuk mempelajari ilmu hukum. Dari sana, La Fontaine memperoleh gelar “Pengacara Parlemen”. Sebenarnya, pekerjaan ini tidak menarik minatnya, namun dari sini ia belajar seni argumentasi yang ternyata sangat berguna dalam penulisan karya-karyanya di kemudian hari. Pada masa belajarnya saat itu, ia menjadi anggota Table Ronde, suatu kelompok kecil yang beranggotakan para penyair muda yang sering hadir di istana.

Sejak masa kanak-kanak, ayahnya telah mendorongnya untuk mempelajari puisi. Jean de la Fontaine sangat gemar membaca. Sejak kecil, ia membaca roman, cerita, dan puisi. Saat menggantikan tugas ayahnya sebagai pengurus pengairan dan kehutanan adalah masa yang mempengaruhi pengembangan bakatnya sebagai pencerita atau pengarang fabel. Dalam tugasnya, ia seringkali berkelana di daerah pedesaan dan hutan-hutan. Di sana ia menemukan rahasia dunia binatang dan tumbuh-tumbuhan.

La Fontaine menerbitkan kumpulan fabel pertamanya pada tahun 1668 pada usia 40 tahun. Ia menerbitkan Eunuque, terjemahannya pada Agustus 1653. Pada tahun 1658, ia menulis sebuah puisi berjudul "Adonis". Untuk menghormati Fouquet, ia menulis "Songe de Vaux dan Ode au Roi". Antara tahun 1658 dan 1660, ia menulis Clymene dan Ballet Rieurs du Beau-Richard. Pada tahun 1668, ia menulis fabel-fabelnya yang pertama, yaitu Fables Choices Mises en Vers. La Fointe dikenal dan diterima oleh Raja Louis XIV untuk menyajikan karyanya, Les Amours de Psyche et de Cupidon. Fabel-fabel La Fontaine terdapat dalam tiga kumpulan, yakni Le Premier Recuil (1668) yang terdiri atas buku I-VI; Le Second Recuil (1678-1679) yang terdiri atas buku VII-XI, dan buku XII (1694).

2.1.2. Satjadibrata
Satjadibrata dilahirkan di Sumedang pada tanggal 31 Agustus 1886 dari darah kyai. Ayahnya, R. Hadji Muhammad Amin adalah seorang penghulu dan meninggal saat Satjadibrata ketika masih muda. Ia mendapatkan warisan dari ayahnya berupa koleksi karya sastra Sunda.

Selama empat tahun, ia menjalani pendidikan dasar di Sumedang pada Sekolah Kelas II yang memiliki bahasa pengantar Sunda. Pada masa itu, ia sudah menunjukkan minat dan bakat yang besar dalam mata pelajaran Menggambar dan Menembang. Di luar sekolah, ia gemar membaca karya sastra Sunda dan wawacan tulisan tangan yang ditemukannya di antara koleksi ayahnya. Seringnya diajak oleh guru untuk menembang di berbagai acara pesta pernikahan ataupun khitanan membuat bakat mengarang dan bersyairnya tumbuh.

Pada tahun 1902, ia mulai belajar di Sekolah Kelas I yang memiliki bahasa pengantar Belanda. Waktu senggangnya dipergunakan untuk membaca berbagai naskah sambil menghafalkan bait tembang serta menulis tembang. Pada tahun 1905, ia melanjutkan sekolah di Kweekschool voor Onderwijzers dengan hasil kelulusan terbaik. Pada tahun 1926, ia mulai aktif menulis artikel untuk sejumlah majalah Sunda. Pada tahun 1928, ia bekerja di Balai Pustaka sebagai redaktur.

Sakadang Peucang adalah karya pertamanya yang diterbitkan pada tahun 1930. Setahun kemudian, 1931, ia menerbitkan Rasiah Tembang Sunda. Tidak lama berselang, pada tahun 1932, sebuah wiracarita yang berirama indah berjudul Wawatjan Sastra-Satri. Selain itu, Satjadibrata juga menyusun Kamus Sunda-Indonesia yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada Desember 1943 dan Kamus Sunda-Sunda yang terbit pada tahun 1946.

Satjadibrata termasuk sastrawan produktif. Ia menulis di berbagai media, menerjemahkan, dan menyadur karya-karya sastrawan dari dalam maupun luar negeri. Di antara hasil terjemahan karya sastra asing adalah Graaf de Monte Cristo (1928), Lalakon si Tjongtjorang (Pinokio), dan Boedak Timoe (1929). Ia diangkat menjadi anggota Lembaga Bahasa Sunda. Di sana, karya-karya yang dihasilkannya menjadi koleksi arsip pemerintah Jawa Barat hingga saat ini.

2.2. Analisis Studi Bandingan antara Fabel Karya La Fonte dan Satjadibrata

Dalam fabel, terdapat unsur-unsur kebaikan dan kejahatan. Pengarang fabel mempergunakan nama berbagai binatang untuk mempersonifikasikan kebaikan dan kejahatan tersebut. Jadi, fabel merupakan cerita yang menggambarkan suatu kehidupan yang dinamis, yaitu kehidupan manusia itu sendiri.

Bagi orang Indonesia, Kancil dengan akal cerdiknya melambangkan manusia cerdik sekaligus pandai berbicara. Ia tampil sebagai makhluk yang terampil dan penuh dengan gagasan. Tipe masyarakat yang digambarkan melalui Kancil adalah masyarakat kecil yang lemah dan memiliki masalah, namun selalu berhasil terpecahkan berkat kecerdasannya. Kancil dapat menghadapi keadaaan apapun dalam kehidupan. Akan tetapi, ia menghalalkan segala cara, tanpa peduli benar atau tidaknya cara yang ia gunakan.

Kancil seperti halnya rubah di negeri Eropa. Rubah digambarkan oleh Taine, peneliti Prancis, sebagai binatang yang cerdas dan memiliki kemampuan menipu yang bermutu. Ia memiliki semangat dan keberanian yang tinggi. Tutur katanya yang baik dan mimik muka yang ekspresif menakdirkannya untuk hidup bergantung pada makhluk lain, menempatkan diri di kalangan orang kaya, di istana, dan datang untuk meminta belas kasihan sebanyak mungkin.

Dalam “Si Kancil dan Seratus Lima Puluh Buaya”, usaha untuk menghindari kematian terwujud dalam kalimat yang memukau. Kancil dengan kemampuan verbal yang tinggi dapat meyakinkan musuhnya.

“Percuma makan tubuhku. Aku terlalu kecil untuk kalian semua. Aku tak akan dapat mengisi perut-perut kalian. Tapi kalau kau ingin dagingku untuk obat, boleh. Tapi tidak boleh makan terlalu banyak. Berapa jumlah kalian semua?” ”Hanya, lebih baik kalau kau membagi-bagikannya dengan teman-temanmu. Mereka akan menganggapmu murah hati. Sebenarnya, aku telah berbuat kebodohan dengan membukakan rahasiaku. Aku bisa saja membiarkan kalian mati karena makan dagingku. Hal itu tentu akan baik bagi binatang-binatang yang lain. Mereka tak perlu lagi takut kepada buaya”


Kefasihan berbicara terlihat juga pada Rubah dalam ”Le Lion, le Loup et le Renard”. Kepandaian Rubah berbicara tak hanya untuk mengeluarakan dirinya dari bahaya, tetapi juga untuk membalas dendam kepada fitnahan serigala seperti digambarkan berikut ini:

Je crains, Sire, dit-il, qu’un rapport peu sincere
Ne ma’it a mepris impute
D’avoir differe cet hommage
Mais j’’etais en pelerinage
Et m’acquittas d’un voeu fait pour otre sante
Meme j’ai vu dans mon voyage
Gens experts et savants, leur aid it la languer
Don’t Votre Majeste craint, a bon droit la suite
Vous ne manquez que de chaleur;
Le long age en vous l’a detruite
D’un Loup ecorche vif appliquez-vous la peau
Toute chaude et toute fumante;
Le secret sans doute en est beau
Pour la nature defaillante
Messire Loup vous servira
S’il vous plait, de robe de chamber.

“Saya khawatir, Tuan, akan adanya laporan yang kurang benar. Saya dianggap bersalah telah bersikap tak hormat. Tetapi, saya sedang dalam perjalanan ziarah dan menjalankan tugas di bawah sumpa yang dibuat untuk kesehatan Tuan. Dalam perjalanan itu, saya bertemu dengan orang-orang pandai dan ahli, saya ceritrakan penyakit yang Yang Mulia takuti kelanjutannya. Tuanku hanya kedinginan, usia tuan membuat Tuan demikian. Dari seekor serigala yang dikuliti hidup-hidup, gunakanlah kulitnya panas-panas dan berasap. Resep ini pasti baik untuk tubuh yang melemah. Tuan Serigala akan dapat digunakan sebagai pakaian kamar”


Dalam kedua kutipan fabel di atas, “Si Kancil dan Seratus Lima Puluh Buaya” dan ”Le Lion, le Loup et le Renard”, ditemukan kesamaan berupa penggambaran tokoh dengan karakter sama. Hal ini diwakili oleh Kancil dan Rubah. Keduanya memiliki kecerdasan yang tinggi sehingga berhasil mengelabuhi musuhnya. La Fontaine dan Satjadibrata memperlihatkan kesamaan-kesamaan antara manusia dan binatang. Kesamaan-kesamaan tersebut terlihat pada aspek lahiriah, sifat, perasaan, serta ungkapan-ungkapan dalam tata pergaulan umat manusia dan juga percakapan yang dipergunakan oleh para tokoh dalam cerita. Keduanya memanusiakan binatang dan mewarnainya dengan suatu simbolisme sosial. Setiap binatang mewakili tipe tertentu manusia dan tipe sosial.

III. PENUTUP
Sejumlah cerita binatang Indonesia berasal dari kumpulan cerita India yang dikenal dengan nama Panchatantra. Sementara itu, La Fontaine menyatakan dirinya sebagai penerus, peniru, dan murid setia Aesop. Sedangkan fabel karangan Aesop juga berasal dari sumber yang sama, yakni cerita-cerita India kuno. Menurut sejarah fabel, cerita binatang bermula dari India tidak hanya menyebar ke Barat (arah Eropa dan Afrika), tetapi juga ke arah Timur (arah Indonesia dan Malaysia).

La Fontaine pernah terlibat dalam perjuangan politik pada masanya. Ia mengutuk semangat dan politik pemimpinnya, Colbert. Fabel-fabel La Fontaine menjadi suatu pembelaan politik bagi Fouquet, pelindungnya, yang merupakan lawan politik dari Colbert. Hal ini berbeda dengan Satjadibrata. Fabel-fabelnya tidak bertujuan politik sama sekali. Fabel-fabel karyanya merupakan kumpulan dari cerita yang sudah tersebar secara turun-temurun.

Tidaklah mengherankan saat diketahui Prancis dan Indonesia memiliki fabel yang serupa. Kedua fabel ini, “Si Kancil dan Seratus Lima Puluh Buaya” dan ”Le Lion, le Loup et le Renard” berasal dari sumber yang sama, yaitu cerita-cerita binatang dari India yang paling kuno dan diciptakan oleh pujangga-pujangga Hindu. Dapat disimpulkan bahwa La Fontaine dan Satjadibrata terpengaruh oleh pujanga-pujangga Hindu dari India.


DAFTAR PUSTAKA

Budianta, Melani, dkk. 2006. Membaca Sastra. Jakarta: Indonesiatera.

Aksa, Yati Haswidi. 1990. Rubah dan Kancil (Suatu Gambaran Tatanan Dunia: Studi Bandingan Beberapa Fabel Karya La Fontaine dan Satjadibrata. Disertasi Tidak Diterbitkan. Jakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia.
Fokkema, D.W. 1998. Teori Sastra Abad Kedua Puluh. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Tim Penyusun Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Depertemen Pendidikan Nasional.

PEMINJAMAN ISTILAH-ISTILAH BIDANG EKONOMI DARI BAHASA INGGRIS DALAM BAHASA INDONESIA

Oleh Nila Rahma, Mahasiswa Program Studi Indonesia FIB UI


I. PENDAHULUAN


Bahasa selalu berkembang dalam masyarakat yang juga semakin berkembang. Penggunaannya menyangkut berbagai bidang, seperti bidang hukum, politik, budaya, ataupun ekonomi. Dalam perkembangannya, suatu bahasa akan menerima kata-kata asing yang kemudian menjadi bagian dari kosakata bahasa tersebut.

Tidak ada satupun bahasa di dunia ini yang sudah memiliki kosakata yang lengkap dan tidak memerlukan ungkapan untuk gagasan, temuan, atau rekacipta yang baru. Bahasa Inggris yang merupakan bahasa internasional pun pernah menyerap kata dari bahasa Yunani, Latin, Prancis, dan bahasa-bahasa lain.

Sementara itu, istilah-istilah dalam bahasa Indonesia diambil dari berbagai sumber, terutama dari tiga golongan bahasa yang penting, yaitu (1) bahasa Melayu; (2) bahasa Nusantara, seperti Sansekerta dan Jawa Kuno; serta (3) bahasa asing, seperti bahasa Arab dan bahasa Inggris. Dalam makalah ini, akan diperlihatkan peminjaman istilah-istilah bidang ekonomi dari bahasa Inggris dalam bahasa Indonesia.


II. PEMINJAMAN ISTILAH-ISTILAH BIDANG EKONOMI
DARI BAHASA INGGRIS DALAM BAHASA INDONESIA

Pengambilalihan istilah dari bahasa Inggris dalam masyarakat Indonesia adalah untuk menambah konsep dan tanda dalam bahasa Indonesia. Ini merupakan hasil kontak bahasa antara bahasa Ingggris dan bahasa Indonesia. Kontak bahasa adalah hubungan kebahasaan yang terjadi antara satu masyarakat bahasa dengan masyarakat bahasa yang lain (Samsuri, 1968: 661).

Selain itu, akan terjadi saling pengaruh, baik langsung atupun tidak langsung, antara bahasa-bahasa tersebut. Ketika terjadi proses saling berpengaruh itu, bahasa yang lebih penting akan banyak mempengaruhi bahasa yang kurang penting (Moeliono, 1980: 15). Suatu bahasa akan menerima kata-kata asing yang kemudian menjadi bagian dari kosakata bahasa tersebut.

Dalam perkembangannya, suatu bahasa harus menambah jumlah konsep dan tanda untuk melakukan berbagai kegiatan. Dalam penjelasan ini, diberikan beberapa istilah bidang ekonomi dari bahasa Inggris dalam bahasa Indonesia. Pada setiap istilah, akan terdapat keterangan dengan abjad (a) dan (b) dengan penjelasan sebagai berikut:
(a) Istilah dari bahasa aslinya disertai dengan maknanya
(b) Makna dari Kamus Bahasa Indonesia Edisi Keempat

(1) Bank
(a) bank: establishment for keeping money and valuables safely, the money being paid out on the costumer’s order
(b) bank: lembaga keuangan yang usaha pokonya memberikan pinjaman (kredit) dan jasa dalam pembayaran dan peredaran uang

(2) Akumulasi
(a) accumulation: The addition to capital of interest or profits
(b) akumulasi: tambahan dana secara periodik dari bunga atau dari laba neto

(3) Barter
(a) Barter: exchange (goods, property, etc) for other goods, etc)
(b) Barter:perdagangan dengan saling tukar barang.

(4) Bisnis
(a) Business: buying and selling; commerce, trade
(b) Bisnis: usaha dagang; usaha komersial dalam dunia perdagangan

(5) Cek
(a) Check: bill (in restaurant)
(b) Cek: Kertas atau formulir yang digunakan sebagai alat pembayaran; formulir tersebut dikeluarkan oleh bank dan diberikan kepada perseorangan atau perseorangan atau perusahaan yang membuka giro di bank tersebut.

(6) Embargo
(a) Embargo: order that forbids (trade movement of ships, etc; stoppage of commerce; or of branch of commerce; seize (ships or goods) by government authority for the service of the state.
(b) Embargo: Larangan mengirimkan (mengekspor) barang dagangan dan sebagainya ke suatu negara (misalnya karena dalam permusuhan).

(7) Komoditi
(a) Commodity: Useful things especially an article of trade
(b) Komoditi: barang dagangan; benda niaga

(8) Subsidi
(a) Subsidy: money granted, especially by a government to an industry or other cause needing help or to anually in war, to keep prices at a desired level
(b) Subsidi: bantuan uang dan sebagainya kepada yayasan atau perkumpulan (biasanya dari pihak pemerintah)

(9) Transfer
(a) Transfer: change position, move; hand over the possession of property, etc
(b) Transfer: pindah atau beralih tempat

(10) Royalti
(a) Royalty: payment of money by a mining or oil company to owner of the land; sum paid to the owner of copy right or patent
(b) Royalti: imbalan atau uang jasa yang dibayar oleh penerbit kepada pengarang untuk setiap buku yang diterbitkan.


Munculnya istilah-istilah bidang ekonomi yang diserap dari bahasa Inggris seperti diuraikan di atas merupakan sebuah gambaran jelas mengenai perkembangan bahasa Indonesia. Apabila seseorang atau suatu masyarakat hendak menggambarkan suatu konsep baru, ia akan menciptakan kata-kata baru atau menyerap istilah-istilah asing dari bahasa asing yang memiliki kontak kebudayaan dengannya. Peminjaman dilakukan karena tidak adanya tanda untuk menggambarkan suatu konsep yang sudah ada dalam bahasa Indonesia.


III. PENUTUP

Dalam perkembangannya, suatu bahasa harus menambah jumlah konsep dan tanda untuk melakukan berbagai kegiatan. Dari hasil studi kasus tentang kemunculan istilah-istilah bidang ekonomi yang diserap dari bahasa Inggris dalam bahasa Indonesia seperti diuraikan di atas, terlihat jelas bahwa peminjaman istilah-istilah asing sangat dibutuhkan jika masyarakat hendak menggambarkan suatu konsep baru.




DAFTAR PUSTAKA


Echols, John M. dan Hassan Shadily. 1977. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT Gramedia

Moeliono, Anton. 1980. “Bahasa Indonesia dan Ragam-ragamnya” dalam Majalah Penulisan Bahasa Indonesia Jilid I No. 1 hal. 15—34.

Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia. 2007. Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Samsuri. 1968. Analisa Bahasa. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Siregar, Amelia Fariza. 1985. Peminjaman Istilah-Istilah dari Bahasa Asing dalam Bahasa Indonesia di Bidang Ekonomi. Skripsi tidak diterbitkan. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia

Tim Penyusun. 1995. Pedoman Pengindonesiaan Nama dan Kata Asing. Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Tim Penyusun. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional

Usman, Zuber. 1960. Kedudukan Bangsa dan Bahasa Indonesia. Jakarta: Gunung Agung

Tinjauan Sosiologis Senja di Jakarta Karya Mochtar Lubis

Oleh Nila Rahma, Mahasiswa Program Studi Indonesia FIB UI

Novel Senja di Jakarta telah banyak diperbincangkan para pengamat sastra Indonesia. A. Teew (1980: 264-265) mengatakan bahwa novel ini merupakan karya Mochtar Lubis yang agung. Keberhasilan Mochtar Lubis dalam menggambarkan kebobrokan masyarakat lapisan bawah maupun atas sekitar tahun 1950-an sebelum pemilihan umum saat itu patut diacungi jempol. Dalam tulisan ini, saya ingin mempersoalkan latar belakang kehidupan Mochtar Lubis yang dihubungkan dengan novelnya, Senja di Jakarta.

Kritik ekspresif (expressive criticism) memandang karya sastra terutama dalam hubungannya dengan penulis sendiri. Kritik ini mendefinisikan puisi/karya sastra sebagai sebuah ekspresi, curahan atau ucapan perasaan, atau sebagai produk imajinasi pengarang yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran, dan perasaan-perasaannya.

Seorang sastrawan tidak akan pernah terlepas dari pengalaman dan kondisi sosial-budayanya di dalam pelahiran karya-karya sastra. Segi sosiologis sastrawan inilah yang menjadi landasan misi segala jenis penciptaan. Sastrawan melahirkan karyanya berdasarkan pengalaman sosial–budayanya; kalaupun bukan dia sendiri yang mengalami, setidak-tidaknya ia menjadi saksi suatu kondisi sosial – budaya yang hidup dan dinamis.

Mochtar Lubis lahir di Padang, Sumatera Barat pada 7 Maret 1922 dan meninggal dunia pada 2 Juli 2004 pada umur 82 tahun di Jakarta. Ia pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Ekonomi INS Kayu Tanam, Sumatera serta Jefferson Fellowship East and West Center, Universitas Hawai. Selain sastrawan, Mochtar Lubis adalah pengarang ternama asal Indonesia. Ia turut mendirikan Kantor Berita ANTARA. Mochtar Lubis juga mendirikan dan memimpin harian Indonesia Raya. Selain itu, majalah sastra Horizon juga didirikan olehnya bersama dengan kawan-kawan. Pada waktu pemerintahan rezim Soekarno, ia dijebloskan ke dalam penjara hampir sembilan tahun dan baru dibebaskan pada tahun 1966. Mochtar Lubis sering mendapatkan penghargaan seperti Magsaysay Award untuk jurnalistik dan kesusasteraan, Golden Pen Award dari International Association of Editors and Publishers, dan Hadiah Sastra dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional.

Mochtar Lubis menulis Senja di Jakarta pada saat ia dikenakan tahanan rumah oleh pemerintah Orde Lama. Awalnya, novel itu berjudul Yang Terinjak dan Melawan. Masa penulisan novel Senja di Jakarta diungkapkannya dalam Catatan Subversif sebagai berikut:

... Informasi tentang keadaan-keadaan politik selalu mengalir datang dari kawan-kawan. Saya juga sekarang telah mulai menulis roman saya yang diberi nama Yang Terinjak dan Melawan. Sekarang telah menjadi jelas dalam otak saya buku roman apakah yang akan saya tulis. Saya ingin melukiskan dalam roman keadaan sosial dan politik negeri kita. Betapa kehausan akan kekuatan, keserakahan dalam harta benda dan kekuasaan dalam menggunakan kedudukan partai telah menimbulkan kerusakan-kerusakan yang amat banyak di tengah-tengah masyarakat kita. Saya telah menulisnya dengan lancar dan mudah sekali meskipun saya tahu buku ini mungkin dalam masa lama belum akan diterbitkan di Indonesia, akan tetapi saya merasa dengan melukiskannya saya telah menyusun laporan yang perlu diketahui masyarakat kita kelak. (Lubis, 1987: 111-112)


Keadaan politik dan sosial di Indonesia yang kacau pada tahun 1950-an ingin disampaikan pengarang melalui novel ini. Carut-marut kondisi saat itu juga dapat diketahui dari buku-buku Sejarah, seperti Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV: Zaman Jepang dan Pemerintahan RI (Notosusanto, 1975) dan Pertumbuhan, Perkembangan, dan Perkembangan Lekra di Indonesia (Ismail, 1972). Dengan demikian, dapat diartikan bahwa Senja di Jakarta muncul atas pengaruh keadaan ekonomi dan sosial di Indonesia yang kacau pada tahun-tahun tersebut. Mochtar Lubis yang dikenal sebagai wartawan sekaligus pengarang mampu memotret kegelisahan dirinya terhadap keadaan masyarakat melalui Senja di Jakarta.

Mochtar Lubis menggambarkan para manusia Indonesia lapisan atas dengan menghadirkan Suryono, Raden Kaslan, Husin Limbara, dan kawan-kawannya. Mereka seakan tak pernah puas pada hal yang telah miliki sehingga mereka bersama-sama melakukan korupsi. Melalui pendirian perusahaan-perusahaan fiktif yang akan menangani lisensi impor barang-barang kebutuhan pokok rakyat, mereka mengepul lembaran-lembaran uang. Sementara itu, Neneng, Saimun, Itam, dan Pak Ijo digambarkan sebagai manusia-manusia Indonesia yang sungguh setengah mati berjuang untuk bertahan hidup. Keputusan Neneng untuk melacurkan diri hanya untuk memperoleh sesuap nasi menjadi gambaran penting dalam potret kebobrokan akhlak manusia.

Kekhasan Mochtar Lubis yang juga mencerminkan seorangs wartawan adalah menyertakan Laporan Kota dalam beberapa bagian novelnya seperti berikut ini:

LAPORAN KOTA:
Malam itu seperti biasa juga. Malam ramai di pasar Glodok. Ribuan lampu listrik berkelip seperti kunang-kunang menari dalam malam. Lampu-lampu mobil bergerak, bola-bola mata kuning. Wangi makanan merangkak keluar dari restoran, berat di udara, serasa bisa dipegang, dan dimasukkan ke dalam mulut, dikunyah. Mereka berdua meneguk air liur. Sebesar kelereng meyumbat kerongkongan, dan kemudian mereka meludahkan bersama-sama, pecah di tanah dekat kaki mereka. (Lubis, 1981: 31)


Berita dan cerita hanya berbeda tipis. Peristiwa selama Mei 1956 hingga Januari 1957 yang menyangkut jatuhnya kabinet, sepak terjang partai, dan berita di media massa tak luput dari perhatian Mochtar Lubis untuk dituangkan dalam novelnya. Berbagai peristiwa dalam Senja di Jakarta merupakan reprensentasi dari semangat zaman saat itu. Baginya, tugas wartawan adalah mencatat dan menuliskan kejadian yang faktual secara objektif. Pandangan pribadi dan praduga wartawan tidak boleh masuk di dalam berita. Itulah sebabnya, beberapa karya fiksi Mochtar tidak sepenuhnya merupakan imajinasi, tetapi juga mengungkap babak kehidupan nyata yang pernah dialami.


DAFTAR PUSTAKA
Djoko Pradopo, Rahmat. 1994. Prinsip-prinsip Kritik Sastra Teori dan Penerapannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Hardjana, Andre. 1981. Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia.

Lubis, Mochtar. 1987. Catatan Subversif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan PT Gramedia Pustaka Utama.

Lubis, Mochtar. 1981. Senja di Jakarta. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.

Senggono, Endo. 1985. Senja di Jakarta: Analisis Tema dan Tokoh secara Sosiologis. Skripsi tidak diterbitkan. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Teeuw, A. 1980. Sastra Indonesia Baru I. Ende-Flores: Penerbit Nusa Indah.

Selasa, 11 Mei 2010

Sedikit Cerita dari Perjalanan Mapres (-mapresan)

Oleh Nila Rahma, Program Studi Indonesia FIB UI

Menjadi mahasiswa berprestasi tak dipungkiri menjadi harapan setiap mahasiswa di mana pun. Berprestasi itu bisa macam-macam, misalnya berprestasi dalam bidang akademik, olahraga, seni, jurnalistik, ataupun yang lain. Seleksi Mahasiswa Berprestasi yang rutin diadakan di tingkat fakultas, lantas universitas, dan berlanjut ke tingkat nasional setiap tahunnya ini hanyalah secuil wadah tempaan bagi mahasiswa jenjang strata satu untuk membuktikan kecakapan dalam bidang akademik, kokurikuler, maupun ekstrakurikuler. Jadi, bukan berarti bahwa yang tak ikut ajang ini adalah orang yang tak berprestasi.

Seleksi Mahasiswa Berprestasi (yang dimaksud dalam tulisan ini) lebih akrab dikenal dengan sebutan Seleksi Mapres. “Budaya Bahari sebagai Potensi Pengembang Keunggulan Bangsa” adalah tema yang diangkat pada tahun 2010. Untuk Seleksi Mapres, diberikan syarat yang cukup mudah untuk dipenuhi, yaitu berkewarganegaraan Indonesia, memiliki IPK lebih dari sama dengan 3,00, mampu berbahasa Inggris, dan memiliki poin kegiatan kokurikuler serta ekstrakurikuler minimal sejumlah 50 poin, serta membuat makalah sesuai dengan tema.

Ketentuan mengenai poin kegiatan tertera dalam Formulir Penilaian Kegiatan Kokurikuler dan Ekstrakurikuler. Sebagai contoh adalah saya. Saat ini saya diamanahi sebagai Kepala Departemen Keilmuan dan Kajian Budaya BEM FIB UI sehingga saya memperoleh empat poin. Usai diakumulasikan, saya memperoleh 200 poin lebih. Kesulitan dalam urusan poin-poinan ini adalah kelengkapan bukti. Jadi, jika memang berniat mengikuti ajang ini maka siapkanlah jauh-jauh hari.

Fakultas kita, FIB, memilki alur penyeleksian yang cukup panjang, yakni Babak Penyisihan (pencarian 12 besar), Babak Semifinal (pencarian 6 besar), dan Babak Final (penentuan para juara 1 sampai 6). Biasanya, peserta babak penyisihan diajukan oleh program studi masing-masing. Namun, hal ini berbeda dengan saya. Saya mengajukan diri (haha, kepedean critanya :)). Meski tak diminta, jika memang berniat sangat, ajukan diri saja! Gampang kan?

Kata Mark Twain, “Twenty years from now, you will be more disappointed by the things that you didn’t do than by the ones you did do. So, throw off the bowlines, sail away from the safe harbor. Catch the trade winds in your sails. Explore. Dream. Discover.” Maksudnya, mending nyoba meski kudu berjuang keras daripada nggak nyoba trus ntar nyesel.

Pada Babak Penyisihan, ada tiga kelas yang harus ditempuh, yakni kelas makalah bahasa Indonesia, kelas bahasa Inggris, dan kelas Prestatif (mengenai CV). Entah mengapa, saya nggak nervous sama sekali saat itu. Namun, sore harinya, saya terkaget-kaget saat nama saya disebutkan sebagai salah satu peserta lolos ke Babak Semifinal. Ini berarti bahwa ada ujian selanjutnya. Oke, dijalani saja.

Hal yang paling menarik dalam Seleksi Mapres di FIB, pun tidak dilakukan oleh fakultas-fakultas lain di UI, adalah penelitian lapangan. Tahun ini, penelitian lapangan dilakukan selama empat hari, 4—7 Maret 2010 di Indramayu, Jawa Barat. Penelitian yang saya lakukan tepatnya berlokasi di Sentra Industri Andalan Kerupuk Desa Kenanga Blok Dukuh, Kecamatan Sindang. Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari sana. Terkadang, data lapangan tak sesuai dengan ekspektasi sehingga terjadi “kebingungan akut”. Jika terjadi seperti ini, lebih baik meminta pertimbangan para dosen pembimbing dan teman-teman.

Para semifinalis diharuskan membuat makalah dari hasil penelitiannya masing-masing. Adapun makalah saya berjudul “Inovasi Pemasaran Kerupuk Udang Indramayu melalui Dunia Maya”. Presentasi makalah diselenggarakan di Auditorium Gedung 1 FIB UI. Saya mendapat urutan ke-11. Biasanya, hanya ada satu pertanyaan berbahasa Inggris dan empat pertanyaan dalam bahasa Indonesia yang diajukan. Namun, saya memperoleh tiga pertanyaan berbahasa Indonesia dan empat pertanyaan berbahasa Inggris. Entah kenapa, saya juga tidak tahu. Nah, jika pertanyaan diajukan dalam bahasa Inggris, pemakalah juga harus menjawabnya dengan bahasa Inggris.

Selain mempresentasikan makalah, para semifinalis mementaskan bakatnya masing-masing. Cita-cita masa kecil untuk menjadi seorang pembaca berita kembali terlintas di benak hingga saya memutuskan untuk menjadi pembaca berita saat pentas bakat. Jika diingat, lucu juga. Siang bolong, ngambil video di Taman Ismail Marzuki Jakarta bareng Dhisty. Minjem handycam Dhana, bahkan dikasih kasetnya juga.

Alhamdulillah, Allah memberikan kepercayaan kepada saya lagi untuk maju ke babak berikutnya, babak final. Setiap finalis diminta untuk memaparkan topik yang diperoleh dalam bahasa Inggris. Kemudian, kelima finalis lainnya mengajukan pertanyaan yang harus ditanggapi. Topik yang dipaparkan didapatkan secara dadakan. Jika ingin menaklukkan babak ini, kuncinya adalah rutin membaca koran setiap hari dan berlatih berbahasa Inggris sesering mungkin sehingga nggak kagok. Satu lagi, enjoy aja!

Siang harinya, enam finalis diharuskan menunjukkan bakatnya. Tentunya, pentas kali ini nggak afdhol kalo sama dengan pentas saat semifinalis kemarin. Saya mengalami kebingungan akut saat itu karena menyadari bahwa saya tidak begitu handal soal beginian. Dengan bantuan teman-teman, pukul dua dini hari di hari yang sama, saya memutuskan untuk Bernarasi Ironi di atas panggung. Alhamdulillah, saya puas dengan tampilan ini karena telah menyampaikan “sesuatu” melaluinya. Kali ini, Allah mempercayai saya untuk menjadi Juara Harapan I.

Menjadi juara berapapun bukanlah tujuan akhir saya dalam ajang ini. Masih banyak pintu-pintu masa depan yang harus segera dibuka dengan membukanya satu persatu. Mengajak orang untuk selalu berbuat kebaikan, salah satunya. Dengan mengikuti ajang seperti ini, banyak manfaat yang diperoleh. Di antaranya adalah mengetahui posisi kemampuan diri kita jika dibandingkan dengan orang lain dan berkesempatan untuk belajar langsung dengan orang-orang hebat di sekitar kita. Selain itu, tahun ini beberapa dari semifinalis Mapres, termasuk saya, diikutsertakan dalam proyek penelitian tentang kebudayaan Betawi. Sungguh menyenangkan.

Hambar jika raihan-raihan hanya dapat dirasakan sendiri sebab masih banyak yang bodoh dan lapar menunggu sumbangan ilmu para cendekia. Saya selalu teringat pesan Bapak saya, bahwa ”Syukur adalah mempergunakan semua pemberian atau kenikmatan dari Allah untuk digunakan seperti kehendak Yang Memberi.”. Jadi, ekspresi syukur itu bukan hanya dengan mengucap hamdalah, melainkan juga memaksimalkan segala hal yang telah diberikan-Nya. Selamat bersyukur!


Salam :)

Sabtu, 08 Mei 2010

Bersama Orang-orang

kita tidak akan mampu memuaskan semua orang

lakukan saja
jika ada yang suka ya biasa
jika ada yang tidak suka ya biasa juga

sebab ukurannya adalah benarnya,
bukan kata mereka.

Selasa, 04 Mei 2010

Bu Daya

gang sempit pemukiman kumuh, rusuh
belakang pabrik milik kapitalis tengik
terik
siang bolong


I Wayang dan Mbak Tik, keduanya terkekeh-kekeh
saat Wayang berhasil bongkar bak sampah
dan temukan Mbak Tik di dalamnya

keduanya seperjuangan mengais sampah di komplek sebelah
beruntung: kali ini mereka punya setengah jam tuk berpetak umpet
di gang sempit belakang pabrik

“Wayaaang, lekas masuk! Di sebelah ada penggusuran. Banyak petugas.
Aku kwatir kau diculik. Dijual ke negeri orang. Ah, aku tak mau.
Ayooo, lekas masuk!”

“Tak usahlah takut, Bu!
jika memang ada yang mau culik kami, biarlah, Bu!
sebab di sini kita pun tak pernah dihirau-hirau
mungkin saja: penculik itu akan beri kita makan barang sekali saja
mungkin saja: dicampuri racun supaya orang kayak kita ini lekas binasa
mungkin saja: usai makan, matipun aku bahagia.”

seusainya,
Wayang dan Mbak Tik bergegas berdinas
menjejak, sambangi komplek elit sebelah


Depok, 4 Mei 2010

Senin, 03 Mei 2010

berjalan

angkat kaki kanan
sembari berbasmalah dalam hati
lantas injakkan pada tanah Tuan

sesegera sampainya kaki kanan pada tanah Tuan,
kaki kiri pun mengikuti
keduanya melintas sepanjang ruas

syukur syukur syukur jika memang
saya, kamu, dan dia masih miliki keduanya

sedang mereka,
ada yang hanya punya satu
bahkan: ada pula yang tak punya


Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? (Q.S. Ar-Rahman: 32)

Kamis, 29 April 2010

Kedudukan Wanita*

Dalam beberapa kebudayaan masa lampau, wanita hanya dapat meraih kedudukan yang lumayan sebagai hasil suatu motif, baik karena kecantikannya atau kelemahannya sehingga orang merasa kasihan. Sebagai contoh adalah wanita memperoleh kasih sayang dari anak-anaknya sebagai imbalan dari kasih sayang keibuan yang dilimpahkan pada mereka. Kasih sayang seperti ini adalah umum di kalangan makhluk hidup meski tidak sampai seperti manusia dalam konstruksi jasmaniah dan kecerdasan otaknya.

Kedudukan yang dapat dinilai sebagai hasil dari perlakuan tata-tertib dan hukum atau kebudayaan dapat dikatakan hampir tidak ada dalam kebudayaan-kebudayaan lama.

Sebagai contoh adalah agama Manu di India. Agama ini tidak mengenal hak wanita yang terpisah dari hak ayahnya atau suaminya atau anaknya dalam suasana sang ayah dan suami sudah meninggal. Jika kesemuanya tidak ada, wanita harus menggabungkan diri kepada seorang pria dari keluarga suami dan ia sama sekali tidak diperkenankan mengurus dirinya sendiri dalam keadaan apapun secara bebas.

Tidak hanya itu, hak wanita tidak lagi diakui dalam pergaulan masyarakat. Ada pula yang tidak mengakui hak wanita itu dalam hidup, seperti wanita itu diberi vonis bahwa ia harus mati pada waktu suaminya mati atau ia harus dibakar bersama-sama dengan suaminya dalam satu pembakaran. Adat kebiasaan kuno ini terus berlaku sejak masa kebudayaan agama Brahma pada zaman purba sampai abad ke-17. Namun, adat ini diberlakukan kembali oleh kalangan yang fanatik dalam melakukan upacara-upacara agamanya.

Agama Hammurabi di Babylonia menganggap wanita sebagai bagian dari hewan piaraan. Ada suatu ketetapan bahwa jika seseorang membunuh seorang putri orang lain, ia harus menyerahkan anak putrinya kepada orangtua si putri (yang dibunuh) untuk dibunuh atau diperbudak. Meski terkadang orangtua korban telah memaafkan, anak putri dari si pembunuh itu harus juga dibunuh demi melaksanakan aturan resmi.

Di kalangan masyarakat Yunani kuno, wanita tidak memiliki kemerdekaan dan kedudukan dalam segala hal yang berhubungan dengan hak-hak menurut undang-undang. Wanita ditempatkan di rumah-rumah besar di suatu tempat yang terpisah jauh dari jalan raya dengan jendela sempit serta pintunya dijaga ketat. Tak satupun wanita yang ada di dalam himpunan ahli Filsafat Yunani. Tidak ada satupun wanita yang muncul sebagai seorang yang pintar. Sebaliknya, banyak wanita yang muncul dan populer sebagai penyanyi-penyanyi panggung atau wanita bebas.

Di Arab, jika seorang wanita memiliki cacat, ia membuat malu keluarganya. Karena sangat takut mendapat malu, pernah terjadi seorang lelaki menguburkan putrinya yang masih bayi. Nilai anak putri di kalangan orang-orang yang tidak menguburkannya pada waktu masih bayi hanyalah sebagai harta warisan yang dipindahkan dari bapak kepada anak, bisa dijual atau digadaikan untuk membayar utang atau membeli barang-barang kebutuhan. Tidak ada peraturan yang membela wanita dari vonis ini, kecuali jika ia berada dalam lingkungan keluarga yang mulia sehingga ia turut menjadi mulia bersama-sama dengan sahabat dan tetangga keluarga yang mulia itu.

***
Al-Qur’an yang mulia datang ke dunia ini dengan membawa hak-hak bagi kaum wanita, yang belum pernah ada dalam aturan negara maupun agama. Lebih dari itu, Al-Qur’an mengangkat derajat wanita dari lembah kehinaan, lepas dari najisnya syetan dan rendahnya hewan.

Al-Qur’an melepaskan wanita dari kutukan dosa warisan dan kotornya tubuh yang dihinakan sebelumnya. Adam dan Hawa, keduanya berhasil digoda oleh syetan, namun telah memperoleh ampunan dengan taubatnya. Cucu-cucu Adam dan Hawa tidak dikenai dosa nenek-moyang seperti firman Allah dalam Q.S. Al-Baqarah: 134,
“Itulah umat yang telah lalu. Baginya apa yang telah mereka usahakan dan bagimu apa yang telah kamu usahakan. Dan kamu tidak akan diminta (pertanggungjawaban) tentang apa yang dahulu mereka kerjakan.”

***
Al-Qur’an tidak hanya mencukupkan ketentuan kepada orang Islam untuk menghindari perbuatan menguburkan putrinya karena takut miskin dan malu. Menghindari perbuatan menguburkan itu tidak lebih sampai ke taraf mengangkat manusia dari kebiadaban dan belumlah sampai ke taraf mengangkat manusia sehingga menjadi makhluk yang jujur memelihara hak makhluk terhadap kehidupan. Tidak hanya menghentikan penguburan, Al-Qur’an mencegah Muslim untuk merasa bosan dengan keturunannya jika putri. Al-Qur’an melarang seorang Muslim bermuka masam dan gelisah saat menyambut kelahiran putrinya dalam Q.S. An-Nahl: 58-59)
”Padahal apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan dia sangat marah. Dia bersembunyi dari orang banyak disebabkan kabar buruk yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan atau akan membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan itu.”

Salah satu tanda kekuasaan Illahi mengenai ajaran terhadap kaum wanita ialah bahwa ajaran itu diperintahkan tanpa adanya suatu perbuatan, baik dari kaum wanita itu sendiri ataupun dari kalangan masyarakat yang menjadi latar belakang ajaran tersebut. Ajaran itu diperintahkan kepada masyarakat, baik kaum laki-laki maupun wanita, sebagai suatu kewajiban yang ditetapkan, bukan karena tuntutan suatu golongan. Itu adalah perintah yang belum ada bandingannya di dalam agama-agama yang telah lalu, sebelum lahirnya Da’wah Islam.

*disarikan oleh Nila Rahma dari buku Wanita dalam Al-Qur’an Terbitan Bulan Bintang, Jakarta Tahun 1976 halaman 81—99 karya Abbas Mahmoud Al ’Akkad.

Selasa, 27 April 2010

Actions are Judged by Intentions

It is narrated on the authority of Amirul Mukminin, Ummar bin al-Khattab r.a. who said: I heard the Messenger of Allah, sallallahu alayhi wasallam, say:
“Actions are (judged) by motives (niyyah), so each man will have what he intended. Thus, he whose migration (hijrah) was to Allah and His Messenger, his migration is to Allah and His Messenger; but he whose migration was for some worldly thing he might gain, or for a wife he might marry, his migration is to that for which he migrated.” (Al-Bukhari & Muslim)


BACKGROUND
This Hadith was expressed by the Prophet SAW at the time when a man migrated from Makkah to Madinah during the Hijrah (emigration) for the sake of marrying someone. It is considered to be one of the greatest ahadith in Islam. According to Al-Imam al-Shafii, this Hadith is one third of the knowledge of Islam and it can be related to over 70 topics of Fiqh.

Al-Imam Ahmad (with reference to Al-Imam al-Shafii statement) said: Islam is based on three fundamentals or principals:
1. Actions of the heart –Our internal actions
2. Actions of the limbs –Our external actions
3. Interactions between people –Our daily dealings or “muamalat” with people

These three principals are captured in the following three Hadiths from the collection of Imam Nawawi’s 40 Hadith as agreed upon by Al-Bukhari and Muslim:
Hadith 1 –“Actions are judged by intention (actions of the heart)”
Hadith 5 –“Whosoever introduces into this affair of ours (i.e. Islam) something that does not belong to it, it is to be rejected.”
Hadith 6
–“Truly, what is lawful is clear, and what is unlawful is clear, and in between the two are matters which are doubtful which many people do not know …”

These ahadith can be seen as three criteria to help Muslims evaluate and judge what they do and say “as an ‘ibadah” (act of worship) in their daily lives. Intentions or Niyyah has two meanings:
1. The intention before performing an ‘ibadah (e.g. prayer, fast)
2. The willingness of performing an action
This Hadith refers to the second meaning above.

Source: Commentary on The Forty Hadith of Al-Nawawi ( page 16—17) by Dr. Jamal Ahmed Badi. Dr. Jamal Ahmed Badi is an Associate Professor at the Department of General Studies at the International Islamic University of Malaysia (IIUM). Currently, he is the Director of the International Students’ Division, IIUM.

Senin, 26 April 2010

Punya NPWP: Penting Lho!

oleh Nila Rahma

Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) seringkali dikira sebagai barang yang baru boleh dimilki oleh orang-orang yang telah berpenghasilan alias punya gaji (tetap). Nyatanya, nggak kok. Buktinya? Saya sendiri. Saya telah memilkinya sejak Juli 2009.

Jika memiliki NPWP, kita akan mendapatkan banyak keuntungan. Sebagai mahasiswa yang mau pergi ke luar negeri, untuk urusan apapun, kita akan bebas fiskal. Biaya fiskal itu sejuta rupiah untuk jalur udara, sedangkan untuk jalur laut seharga 500 ribu rupiah. Ini nggak hanya berlaku untuk mahasiswa aja, tapi juga untuk semua pemilik NPWP.

Ngerasa belum punya rencana ke luar negeri? Ah, siapa tau besok ada yang nelpon kamu untuk ngajakin ke luar negeri. Entah jadi TKI atau pertukaran pelajar. Segalanya mugkin, bukan? Jangan menunggu ada panggilan ke luar negeri, trus baru bikin NPWP. Emmm, persiapan pergi ke luar negeri itu cukup repot, seperti ngurus paspor dan visa. Blum lagi ngurus tiket pesawat. Nggak cukup seminggu! kecuali pake calo, itu beda. Saya sih nggak nyaranin pake calo karena pastinya lebih mahal, hehe. Ilegal juga.

Kamu sering ngadain acara (events) di kampus nggak? Kalo ya, bersegeralah untuk memiliki NPWP. Jika berhasil dapet sponsor dari perusahaan dalam angka yang besar, dana sponsor yang diberikan akan dipotong pajak. Nah, pemotongan pajak itu bisa dilakukan jika panitia (satu orang) memiliki NPWP. Contohnya: Acara X dapet dana sponsor 5 juta rupiah dan dipotong pajak 2%. Jadi, hasil akhir dana sponsornya 4,9 juta. Waw, sayang sekali ya kalo udah dapet dana sponsor gede, tapi nggak punya NPWP. Makanya, buruan bikin yuk!

Jika berniat membuat NPWP, segeralah wujudkan niat ini. Caranya mudah kok. Dateng aja ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di kotamu (sesuai dengan kota yang tertera di KTP). Yang perlu dibawa cuma KTP, fotokopi KTP, dan Kartu Keluarga (emm, kayaknya ini nggak pake deh. Ah, lupa. Bawa aja biar aman). Waktu saya bikin NPWP, cuma butuh waktu 4 jam. Mungkin saja berbeda di tiap kota, tergantung antrian.

Kamu juga bisa mendaftarkan diri melalui situs e-Registration, bisa lewat sini http://www.pajak.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=71&Itemid=105. Langkah pertama yang mesti dilakukan adalah membuat login terlebih dahulu. Usai login, barulah kamu bisa masuk dan mengisi formulir pendaftaran. Trus, ikuti aja petujuk di sana.

Selamat mencoba! Semoga bermanfaat.

Minggu, 25 April 2010

scream as song

A cricket sang a song for night
shadow of the moon on the river side came to friend him
till he slept

the cricket concert finished

the shadow came to the frog
”sing me a song!”
“I just can scream.”
“Scream?”
“Yeah, I just scream all of the night.”
“Hwaaa?”
“I have heard you sung to the world.”
“It’s just a scream.”
“Somehow, sometimes, we said it as a shout,
but the world said it as a song.”

say…


Bekasi, 23 Januari 2010

without

it's like step without touch the earth
like a bee wanna take honey without touch the flower

think without brain
feel without heart

sing without a mouth
run without feet

laugh without smile
television without cable

without: somehow, make us less
no, no. no
it's just sometimes

running to the clouds needs energy to fly
but, sometimes: standing to the earth is more important
just like the eagle said,"Why do the people wanna fly? Actually, I wanna feel the gravitation like them."


22 Januari 2010

mirror

take a little tear
put on the box
leave it

walk,
run,
jump,
to take breath across the river

Mirror yours on the water
it's like a water mirrors on you
coz the tears left on yours


22 Januari 2010

glance

twilight ray attack the mudhole
glance to me

a song of typing

my computer loves singing very much
the keys are its mouth
sing the author's lyrics to us

do u wanna hear this?
pressure them to get the song

tik tik tik tik
tik tik tik tik tik tik tik
tik tik


Depok, 24 Januari 2010

limitasi

limitasi menjadi asasi
bagi insan yang bersadar diri
atas kuasa Illahi

karena diri tak kan mampu menyamai
meski warna-warni
tlah termiliki

kita berkerabat erat dengan limitasi



Bekasi, 24 Januari 2010

pesan dari Bapak

Syukur adalah
mempergunakan semua pemberian
atau kenikmatan dari Allah
untuk digunakan
seperti kehendak yang memberi

5 Februari 2010

alone

1

1

1

1

1

1

1

1

1

alone: finding the one to get Great One

mulut

senja hari, anak kecil itu diberi hadiah
dari ibunya
: sekeping nasihat tentang Mulut

Salah satu dari sekian tugasnya
adalah berbicara

dia punya dua pintu
pertama, kata-kata baik
kedua, kata-kata buruk

jika keduanya sama-sama mengeluarkan tenaga
kenapa tak pilih saja dia bekerja dengan baik?
bukankah yang baik itu lebih mulia dari yang buruk?
bukankah syukur
adalah mempergunakan segala sesuatu sesuai dengan apa yang diperintah-Nya?
menjaga, menjaga, dan menjaga

astaghfirullah
astaghfirullah
astaghfirullah


Depok, 13 Februari 2010

hak milik

kita tak punya hak milik
Lantas, kenapa sok merasa kehilangan?

Apa itu HaKI?
semuanya meniru
meniru
meniru

saya belum bisa jatuh cinta pada
"HaKI", "HAM", "Emansipasi wanita"

Apalagi sekarang
besok mau apalagi?


Depok, 17 Februari 2010

ruang dan jiwa

ruang:
terlihat ada
tapi, sayang:
kita tak tau apakah dia berjiwa atau tak

jiwa:
tak terlihat
tapi, benar:
terpantul oleh cermin datar,
bukan cekung atau cembung: mereka munafik

ruang dan jiwa berdebat singkat,
"Aku tak mau masuk ke ruang."
"Kenapa?"
"Aku kosong jika kau tak ada"
"Aku tak pas dengan ruangmu"
"???"
"Ruangmu terlalu sempit.
Luaskanlah!
Jika kau mau, aku kan bantu."
Lantas, ruang mengangguk-angguk perlahan

"Aku memang butuh diluaskan. Bantu aku."
"Insyaallah."


Depok, 17 Februari 2010

sisa

Merasai kebahagiaan
tak luput dari ingatan kematian
sebab dengannya, kala
bercepat mengantar hamba
bersua dengan Ta'ala

Tak tahu sampai
angka keberapa usiausia
lantas, kubermoga
saldo yang tersisa makin berasa


Depok, 10 Maret 2010

kata bertabur

anjutkan jalan
ke timur

makin terik
terjemur

tak terasa,
ada yang mengucur

*
berharap kasur
waktunya tidur,
malah lembur

menatap laptop
tergoda kasur
menatap buku
terngiang tutur

ah, mending tidur
daripada hancur


Indramayu, 6 Maret 2010

langit

setiap hari berganti lukisan rupa
meski kanvasnya tak pernah beda
masihkah kau ragu atas kuasa-Nya?

Beda dengan kita,
yang harus berganti kanvas jika ingin berganti rupa
atau mungkin,
jika mau,
menimpakan cat pada kanvas lantas
lemparkan kuas lantas menyapu atasnya

kuasa-Nya: tak kan tertandingi oleh kita
sebab kita hanyalah hamba-Nya


Depok, April 2010

Senin, 01 Maret 2010

Fitrah Pengakuan

Oleh Nila Rahma, Mahasiswa Program Studi Indonesia FIB UI


Ajip Rosidi bukan hanya seorang kritikus sastra, melainkan juga seorang penulis karya sastra. Laki-laki kelahiran 31 Januari 1938 di Jatiwangi, Majalengka, ini mulai muncul dalam majalah-majalah kebudayaan terkemuka di Jakarta sejak tahun 1952. H.B. Jassin memasukkan beliau ke dalam angkatan ’66.

Sebagai penyair, Ajip telah menerbitkan beberapa kumpulan sajak, yaitu Ketemu di Djalan (1956) bersama dengan S.M. Ardan dan Sobron Aidit; Pesta (1956) yang menjadikannya sebagai pemenang hadiah sastra nasional dari B.M.K.N. Untuk puisi tahun 1955-1956; Tjari Muatan (1959); Surat Tjinta Endaj Rasidin (1960), dan Djeram (1970). Dalam tulisan ini, penulis akan membahas kumpulan sajak Jeram melalui dua sajak yang terpilih, “Sajak buat Tuhan I” dan “Sajak buat Tuhan II”. Dalam Jeram, banyak ditemukan puisi religi. Kedua sajak tersebut mewakili sajak-sajak lainnya karena penulis mendapatkan kesan yang cukup mendalam saat membaca keduanya.

Sajak buat Tuhan
I
Kalau aku bicara pada-Mu, Tuhan
Bukan mau mengadukan dera dan derita
Tak kuharap Kau berdiri di depan
Ke dahiku mengeluskan tangan mesra

Kalau kutulis sajak ini, Tuhan
Bukan lantaran rindu-dendam atau demam
Tak kuharap Kau membacanya
Sambil duduk mengisap pipa kala senja

Karena Kau lebih tahu apa rasa hatiku
Dan mengerti bagaimana pikiranku
Karena Kau paling Aku dari aku
Yang terkadang kesamaran sama bayangan
8-1-1960

Jika dilihat sekilas, puisi ini seperti puisi lama karena terdiri dari empat baris dalam tiap baitnya dan diakhiri dengan bunyi yang sama di tiap barisnya. Akan tetapi, ada satu bunyi akhir pada baris kedua-bait terakhir yang memiliki perbedaan dengan lainnya. Hal ini membuktikan bahwa puisi di atas bukanlah puisi lama, melainkan puisi modern. Seluruh barisnya mengungkapkan tema kerendahan hati terhadap Tuhan. Kerendahan hati dapat kita tangkap melalui penggunaan bahasanya. Untuk membuktikan hal ini, marilah kita membahasnya melalui satu per satu baitnya.

Kalau aku bicara pada-Mu, Tuhan
Bukan mau mengadukan dera dan derita
Tak kuharap Kau berdiri di depan
Ke dahiku mengeluskan tangan mesra

Aku lirik tengah berandai-andai jika ia dilanda derita yang cukup berat. Sebenarnya, ia ingin mencurahkan segala derita yang ia rasa pada Tuhan. Aku lirik berbeda dengan orang kebanyakan. Jika orang lain seringkali mengadu pada Tuhan saat mereka dilanda dera dan derita, ia berpikir bahwa ia tak perlu melakukannya. Kita dapat melihatnya pada Tak kuharap Kau berdiri di depan/ ke dahiku mengeluskan tangan mesra. Elusan tangan mesra merupakan simbol dari kelembutan pada seseorang yang membutuhkan perhatian. Namun, aku lirik tak menghendakinya.

Hampir sama seperti bait sebelumnya, bait kedua mengungkapkan pengandaian. Jika aku lirik menulis sebuah sajak maka bukan berarti ia akan berharap sajaknya dibaca oleh Tuhan lantaran rindu-dendam ataupun demam. Baris terakhir menggambarkan suasana yang santai dalam menikmati sesuatu, sambil duduk mengisap pipa kala senja. “Tak kuharap Kau membacanya/ sambil duduk mengisap pipa kala senja.” Dalam bait kedua ini, kita dapat menangkap harapan aku lirik bahwa ia ingin diperhatikan dengan serius, bukan dengan perhatian sambilan saja seperti digambarkan pemuisi.

Tak dilakukannya aduan yang dilakukan oleh Aku lirik ternyata bukan berarti ia tak ingin direspon oleh Tuhan. Hal ini disebabkan oleh Aku lirik sadar akan kuasa Tuhan bahwa Tuhan memiliki dua puluh sifat wajib, salah satunya adalah Mahatahu (aliman). Dari sajak ini, kita dapat menangkap kebesaran Tuhan dengan kemahatahuan-Nya. Lebih dari itu, Tuhan lebih mengetahui segala hal yang makhluk-Nya rasakan daripada perasaan makhluk iu sendiri. Hal ini dilukiskan pada rangkaian kata berikut

Karena Kau lebih tahu apa rasa hatiku
Dan mengerti bagaimana pikiranku
Karena Kau paling Aku dari aku
yang terkadang kesamaran sama bayanagan

Secara keseluruhan, pemuisi mempergunakan diksi yang mudah dimengerti oleh pembaca atau biasa disebut dengan kata konkret. Kata konkret tidak memiliki abstraksi makna karena dia mengacu pada makna sebenarnya. Kemudahan inilah yang membuat sajak ini terkesan sederhana, namun memiliki makna yang mendalam sehingga mudah ditangkap. Pengimajian dalam puisi ini dapat kita rasakan melalui rangkaian kata yang mengacu pada tema, kerendahhatian, sehingga kita merasakan suasana yang cukup sunyi. Secara keseluruhan, “Sajak buat Tuhan I” didominasi oleh bunyi vokal di tiap akhir
barisnya. Hal ini menimbulkan keselarasan serta keharmonisan, keharmonisan hubungan hamba dengan Tuhan.

Dari puisi ini, kita dapat mengambil hikmah bahwa Tuhan bersifat Mahatahu sehingga apapun yang kita lakukan, bahkan yang baru kita pikirkan, diketahuinya. Oleh karena itu, patutlah kita menyadari bahwa keberadaaan kita di dunia ini adalah atas karunia Tuhan dan Ia tak bosan-bosan mengontrol kita di sini, di dunia ini.

Ajip memberikan judul sajak berikut sama dengan sajak sebelumnya, hanya berbeda urutan, yakni I dan II. Inilah yang disebut dengan dua sajak-satu nafas, sajak satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Apakah sajak kedua ini juga meneruskan kerendahhatian Aku lirik? Marilah kita tilik dari satu per satu baitnya.

Sajak buat Tuhan
II
Makin terasa, betapa sendiri
Hidupku bermukim di bumi. Tiada kawan
yang mau mengulurkan tangan
dan sedia bersama menempuh jalan
tatkala tiap langkah buntu

Tak seorang pun, juga Kau
datanng mendekat, menepuk-nepuk bahu
menganjurkan tabah dan jangan ragu.
Tiada. Hanya aku saja lagi
yang setia padaku. Hidup bersama
dalam duka dan putusasa.

Hanya aku jua, yang tetap cinta
kepada hidupku, tiada dua! Duh, tiada
lagi yang lain kujadikan gagang
tempat sirih pulang.

Rasa sendiri di dunia ramai, mengeratkan
aku padaMu, sepi-mutlak!
Rasa lengang di tengah orang, menyadarkan
antara Kau dan aku tiada jarak!

Saat seluruh bumi diam sunyi ….
16-4-1960

Bait pertama melukiskan perasaan Aku lirik yang tengah kesepian dalam hidup ini. Ia merasa tak ada orang lain yang sudi membangkitkan semangatnya kembali ketika ia terpuruk dalam keadaan yang begitu rumit. Kerumitan persoalan itu digambarkan pemuisi melalui diksi ‘buntu’. Buntu menyimbolkan keputusasaan, akhir dari segalanya, dan tak terselesaikan.

Keputusasaan aku lirik yang tak terkira membuncah hingga ia pun menyalahkan Tuhan sebab ia merasa bahwa Tuhan tak jua menyapanya. Sebenarnya, Aku lirik mengharapkan adanya kerabat yang bersedia memberikan anjuran supaya ia kuat menghadapi cobaan hidup. Akan tetapi, penantian itu sia-sia. Ia tak jua menjumpai harapannya. Dahsyatnya kesendirian si Aku lirik menjadikan ia bertambah duka dan putus asa. Kita dapat merasakannya melalui lukisan kata pemuisi, “ Tiada. Hanya aku saja lagi/ yang setia padaku. Hidup bersama/ dalam duka dan putusasa.”

Kecintaan pada diri Aku lirik hanya dirasakan oleh dirinya sendiri. Menurutnya, tak ada orang lain yang memperhatikan ataupun mencintainya. Ia merasa bahwa sudah tak ada tempat lagi berbagi, tak ada tempat lagi guna mengadu segala resah dan gelisah. Hilangnya tempat mengadu diungkap pada,” Duh, tiada/ lagi yang lain kujadikan gagang/ tempat sirih pulang.”

Kesendirian yang ia rasakan semakin membuncah meski dalam situasi ramai. Namun, justru kesendirianlah yang mengantarkannya pada makna sendiri. Akhirnya, ia menyadari bahwa keeratan dengan Tuhan sebagai hal yang mutlak ketika tak ada orang lain di sisi kita. Lebih dari itu, ia merasa tiada jarak antara hamba dan Tuhan-Nya karena sesungguhnya Tuhan selalu bersama kita.

Rasa sendiri di dunia ramai, mengeratkan
Anganku padaMu, sepi-mutlak!
Rasa lengang di tengah orang, menyadarkan
antara Kau dan aku tiada jarak!

Saat seluruh bumi diam sunyi…


Seperti sajak-sajak Ajip lainnya, dalam “Sajak buat Tuhan” dipergunakan diksi yang mudah dimengerti atau biasa disebut dengan kata konkret. Pemuisi terlihat tak gemar mempergunakan gaya bahasa yang macam-macam. Kesederhanaan inilah yang justru memberi kesan yang mendalam karena mudah dimengerti kaum awam. Pengimajian yang tertangkap dari rangkaian kata dalam puisi itu membawa kita pada suasana yang gelisah pada kali pertama. Akan tetapi, suasana ini terasa dinamis saat perjalanan menuju akhir. Saat di tengah terjadi klimaks, yakni ketika ia merasa tak lagi punya tempat mengadu. “ Hanya aku jua yang tetap cinta/ kepada hidupku, tiada dua! Duh, tiada/ lagi yang lain kujadikan gagang/ tempat sirih pulang.”. Pada akhir bait, kita merasakan suasana yang begitu syahdu saat seorang hamba begitu merasa dekat dengan sang Pencipta.

Secara keseluruhan, “Sajak buat Tuhan II” didominasi oleh bunyi vokal di tiap akhir barisnya. Hal ini menimbulkan keselarasan serta keharmonisan, keharmonisan hubungan hamba dengan Tuhan. Penggunaan tanda baca seru juga mempertegas makna yang ingin disampaikan, seperti pada “aku padaMu sepi mutlak!” dan “antara Kau dan aku tiada jarak!”. Penegasan yang disampaikan oleh pemuisi adalah bahwa antara Tuhan dan hamba-Nya sungguh tak berjarak karena sesungguhnya Tuhan selalu dekat.

Melalui “Sajak buat Tuhan I” dan “Sajak Buat Tuhan II”, kita dapat menangkap rangkaian rasa fitrah antara hamba dan Tuhan. Keduanya merupakan suatu bentuk kerendahhatian seorang hamba meski terkadang ia merasa tak didampingi-Nya. Keduanya dapat dijadikan teladan bahwasanya kita tak pernah sendiri, di manapun dan kapanpun.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran. 2005. Gema Insani Press: Jakarta
Rosidi, Ajip. 2001. Jeram: Tiga Kumpulan Sajak. PT Dunia Pustaka Jaya: Jakarta.
Rosidi, Ajip. 1991. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Binacipta: Bandung.

Minggu, 28 Februari 2010

Komentar untuk Gadis


Dalam buku Sejarah Indonesia Modern Bab 18: Percobaan Demokrasi,1950-7, M.C. Ricklefs mengatakan bahwa pendidikan diberi prioritas utama dan jumlah lembaga pendidikan meningkat secara drastis. Antara tahun 1953 dan 1960, jumlah anak yang memasuki sekolah dasar meningkat dari 1,7 juta menjadi 2,5 juta, tetapi sekitar 60 % dari jumlah itu pada umumnya keluar sebelum menyelesaikan sekolah.

Sekolah-sekolah lanjutan negeri dan swasta (kebanyakan sekolah agama) dan lembaga-lembaga tingkat universitas bermunculan di mana-mana tetapi terutama sekali di Jawa, dan banyak yang mencapai standar yang tinggi Akan tetapi, masalah-masalah ekonomi dan sosial yang dihadapi bangsa Indonesia setelah pendudukan Jepang dan Revolusi masih besar. Salah satu fenomena sosial diungkapkan oleh Toto dalam puisinya, “Gadis Peminta-Minta”

Gadis Peminta-Minta
Oleh Toto Sudarto Bachtiar

Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa

Ingin aku ikut gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemayaan riang
Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral
Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kau hafal
Jiwa begitu murni
Untuk bisa membagi dukaku

Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu tak ada yang punya
Dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda
(1955)

Cukup ironis jika di atas dinyatakan bahwa jumlah lembaga meningkat secara drastis kemudian 60% dari 2,5 juta peserta didik tingkat dasar pada umumnya keluar sebelum menyelesaikan sekolah. Mungkin, gadis kecil dalam puisi di atas salah satunya. Seringkali kita temui gadis kecil peminta-minta di sepanjang kota, seperti di angkot dan perempatan jalan. Setiap aku lirik bertemu dengan gadis kecil berkaleng kecil, ia merasa bahwa kedukaan yang kekal menyelimuti si gadis meski ia terlihat tersenyum di hadapnya. Pengharapan gadis pada si aku untuk memberikan uang begitu besar hingga digambarkan ia tengadah pada aku lirik bagaikan tengadah pada bulan merah jambu.

Saat gadis kecil pergi meninggalkannya, ia merasa bahwa kota telah kehilangan jiwanya. Aku lirik menjadi penasaran dan ingin mengikutinya sampai rumah. Tak hanya ingin, aku lirik benar-benar membuntuti si gadis kecil hingga sampai ke rumahnya, di bawah jembatan. Kegembiraan dalam kemayaan riang, itulah kehidupannya. Si gadis benar-benar miskin serta kegemerlapan dan keriangannya hanyalah angan-angannya. Angan-angan yang begitu tinggi digambarkan pemuisi dengan cara memperbandingkannya dengan menara katedral. Pemukiman kumuh tak menghalanginya untuk berangan tinggi yang melintas di sepanjang kota, tempat yang telah ia hafal. Begitu murninya hati si gadis kecil hingga membuat aku lirik tak tega untuk berbagi duka dengannya.

Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu tak ada yang punya
Dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda

Aku lirik begitu khawatir jika gadis kecil menghilang, entah pindah ke tempat lain ataupun mati. Jika si gadis tak ada lagi, bulan yang selalu menemani malamnya tak lagi ada yang memiliki. Tak hanya itu, kota ini tak lagi punya tanda.

Pengungkapan fenomena sosial ini memperlihatkan keresahan pemuisi terhadap lingkungan sekitarnya. Kota metropolitan tak pernah lepas dari dinamika kehidupan, kehidupan kaum elitenya dan kaum pinggiran yang miskin dan menderita.

Ikatan Makna

Rasa itu kuikat pada kata bermakna
Merasai berpikir itu menyesakkan
Sesak untuk berpikir bukanlah sakit
:pertanda lapang kan jumpa
rasa mencobainya menjadi biasa
Niscaya kan jadi insan bijaksana

Depok, 6 Desember 2009