Kamis, 29 April 2010

Kedudukan Wanita*

Dalam beberapa kebudayaan masa lampau, wanita hanya dapat meraih kedudukan yang lumayan sebagai hasil suatu motif, baik karena kecantikannya atau kelemahannya sehingga orang merasa kasihan. Sebagai contoh adalah wanita memperoleh kasih sayang dari anak-anaknya sebagai imbalan dari kasih sayang keibuan yang dilimpahkan pada mereka. Kasih sayang seperti ini adalah umum di kalangan makhluk hidup meski tidak sampai seperti manusia dalam konstruksi jasmaniah dan kecerdasan otaknya.

Kedudukan yang dapat dinilai sebagai hasil dari perlakuan tata-tertib dan hukum atau kebudayaan dapat dikatakan hampir tidak ada dalam kebudayaan-kebudayaan lama.

Sebagai contoh adalah agama Manu di India. Agama ini tidak mengenal hak wanita yang terpisah dari hak ayahnya atau suaminya atau anaknya dalam suasana sang ayah dan suami sudah meninggal. Jika kesemuanya tidak ada, wanita harus menggabungkan diri kepada seorang pria dari keluarga suami dan ia sama sekali tidak diperkenankan mengurus dirinya sendiri dalam keadaan apapun secara bebas.

Tidak hanya itu, hak wanita tidak lagi diakui dalam pergaulan masyarakat. Ada pula yang tidak mengakui hak wanita itu dalam hidup, seperti wanita itu diberi vonis bahwa ia harus mati pada waktu suaminya mati atau ia harus dibakar bersama-sama dengan suaminya dalam satu pembakaran. Adat kebiasaan kuno ini terus berlaku sejak masa kebudayaan agama Brahma pada zaman purba sampai abad ke-17. Namun, adat ini diberlakukan kembali oleh kalangan yang fanatik dalam melakukan upacara-upacara agamanya.

Agama Hammurabi di Babylonia menganggap wanita sebagai bagian dari hewan piaraan. Ada suatu ketetapan bahwa jika seseorang membunuh seorang putri orang lain, ia harus menyerahkan anak putrinya kepada orangtua si putri (yang dibunuh) untuk dibunuh atau diperbudak. Meski terkadang orangtua korban telah memaafkan, anak putri dari si pembunuh itu harus juga dibunuh demi melaksanakan aturan resmi.

Di kalangan masyarakat Yunani kuno, wanita tidak memiliki kemerdekaan dan kedudukan dalam segala hal yang berhubungan dengan hak-hak menurut undang-undang. Wanita ditempatkan di rumah-rumah besar di suatu tempat yang terpisah jauh dari jalan raya dengan jendela sempit serta pintunya dijaga ketat. Tak satupun wanita yang ada di dalam himpunan ahli Filsafat Yunani. Tidak ada satupun wanita yang muncul sebagai seorang yang pintar. Sebaliknya, banyak wanita yang muncul dan populer sebagai penyanyi-penyanyi panggung atau wanita bebas.

Di Arab, jika seorang wanita memiliki cacat, ia membuat malu keluarganya. Karena sangat takut mendapat malu, pernah terjadi seorang lelaki menguburkan putrinya yang masih bayi. Nilai anak putri di kalangan orang-orang yang tidak menguburkannya pada waktu masih bayi hanyalah sebagai harta warisan yang dipindahkan dari bapak kepada anak, bisa dijual atau digadaikan untuk membayar utang atau membeli barang-barang kebutuhan. Tidak ada peraturan yang membela wanita dari vonis ini, kecuali jika ia berada dalam lingkungan keluarga yang mulia sehingga ia turut menjadi mulia bersama-sama dengan sahabat dan tetangga keluarga yang mulia itu.

***
Al-Qur’an yang mulia datang ke dunia ini dengan membawa hak-hak bagi kaum wanita, yang belum pernah ada dalam aturan negara maupun agama. Lebih dari itu, Al-Qur’an mengangkat derajat wanita dari lembah kehinaan, lepas dari najisnya syetan dan rendahnya hewan.

Al-Qur’an melepaskan wanita dari kutukan dosa warisan dan kotornya tubuh yang dihinakan sebelumnya. Adam dan Hawa, keduanya berhasil digoda oleh syetan, namun telah memperoleh ampunan dengan taubatnya. Cucu-cucu Adam dan Hawa tidak dikenai dosa nenek-moyang seperti firman Allah dalam Q.S. Al-Baqarah: 134,
“Itulah umat yang telah lalu. Baginya apa yang telah mereka usahakan dan bagimu apa yang telah kamu usahakan. Dan kamu tidak akan diminta (pertanggungjawaban) tentang apa yang dahulu mereka kerjakan.”

***
Al-Qur’an tidak hanya mencukupkan ketentuan kepada orang Islam untuk menghindari perbuatan menguburkan putrinya karena takut miskin dan malu. Menghindari perbuatan menguburkan itu tidak lebih sampai ke taraf mengangkat manusia dari kebiadaban dan belumlah sampai ke taraf mengangkat manusia sehingga menjadi makhluk yang jujur memelihara hak makhluk terhadap kehidupan. Tidak hanya menghentikan penguburan, Al-Qur’an mencegah Muslim untuk merasa bosan dengan keturunannya jika putri. Al-Qur’an melarang seorang Muslim bermuka masam dan gelisah saat menyambut kelahiran putrinya dalam Q.S. An-Nahl: 58-59)
”Padahal apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan dia sangat marah. Dia bersembunyi dari orang banyak disebabkan kabar buruk yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan atau akan membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan itu.”

Salah satu tanda kekuasaan Illahi mengenai ajaran terhadap kaum wanita ialah bahwa ajaran itu diperintahkan tanpa adanya suatu perbuatan, baik dari kaum wanita itu sendiri ataupun dari kalangan masyarakat yang menjadi latar belakang ajaran tersebut. Ajaran itu diperintahkan kepada masyarakat, baik kaum laki-laki maupun wanita, sebagai suatu kewajiban yang ditetapkan, bukan karena tuntutan suatu golongan. Itu adalah perintah yang belum ada bandingannya di dalam agama-agama yang telah lalu, sebelum lahirnya Da’wah Islam.

*disarikan oleh Nila Rahma dari buku Wanita dalam Al-Qur’an Terbitan Bulan Bintang, Jakarta Tahun 1976 halaman 81—99 karya Abbas Mahmoud Al ’Akkad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar