Senin, 28 Desember 2009

Sabit

Tit tit tit.

Bunyi hape memecah konsentrasiku yang sedang baca Kompas, berita mengenai jebolnya tanggul di Situ Gintung, Banten.

Nduk, bisa ke Bekasi sekarang nggak?
Kak Rifky nginep d rmh tmnnya mlm ini
Km temenin ak ya

Kubalas,
Oke

Langsung aku melangkah meniti tangga bercat hitam sempurna yang meliuk mengitari sebatang besi kokoh. Tak biasanya aku mendaki dengan melekatkan tangan pada pegangan tangga karena tak mau kuulangi peristiwa shubuh suram itu. Saat itu, mata dan otakku menyatakan bahwa anak tangga tinggal satu lagi, ternyata salah. Dan, terkilirlah. Sakit.
Tangga di kosan Cempaka Sari menyimpan misteri yang sampai saat ini takterpecahkan. Ia telah memakan korban lebih dari sepuluh anak. Kasusnya sama, koordinasi otak dan mata yang tak sesuai dengan fakta. Hanya karena sebuah anak tangga yang terlewatkan. Nah, sekarang aku tahu rahasia misteri itu: kehati-hatian sangat diperlukan dalam setiap situasi, tak terkecuali untuk menapaki anak tangga.

Meskipun begitu, aku tetap gemar menapakinya. Ya iyalah, kalo aku nggak lewatin situ ya nggak bakal sampe ke kamar. Lebih dari itu, tadi malam kusadari keeksotisan langit terlihat ketika berdiri di atasnya. Aku dapat memandang langit karena tangga kosan ada di deket taman dalam yang tak beratap. Terbuka.

Bulan sabit seolah tersenyum pada setiap insan yang memandangnya. Namun, tak banyak orang punya waktu untuk sekedar mendongakkan mukanya. Aku tak berpikir bahwa orang yang mendongakkan muka adalah orang sombong. Mereka menyempatkan waktu untuk berkedip pada bulan, bintang, kucuran air hujan, dan langit. Mereka mulia karena berada di atas.
Biru laut. Ah tidak, dia lebih pekat dari itu. Ada semburat hitam. Seperti degradasi lukis buatan anak TK yang memenangi perlombaan mewarnai di Taman Mini Indonesia Indah. Sebenanya, TMII itu besar, tapi kok dibilang kecil ya. Bingung.

Memang, lukisan Allah tak tertandingi. Bayangkan saja, Dia hanya melukis langit dan lekatkan bulan padanya. Tak utuh, kira-kira seperenam saja. Sabit tepatnya. Indah sempurna. Lebih indah dari yang utuh. Kusadar sekarang kesempurnaan tak selalu menuntut keutuhan, tapi menutut memberikan yang terbaik.

Terkadang, aku berpikir, di mana ujung langit itu berada. Tapi tak kutemukan jawabnya. Pernah kubaca sebuah buku, bahwa langit itu segala sesuatu yang berada di atas. Ketika kita berada di dalam ruangan maka langit kita adalah atap. Langit, apa iti langit? Sebuah judul buku bersampul biru muda. Yang pasti, kulihat dia tersenyu manis pada dunia saat ini. Melihat anak kecil bermain petak umpet di sebelah kosan. Riuh.
Indah dan damai kurasa. Aku punya firasat indah, aku bisa terbang ke bulan kayak lagunya Memes, “pesawatku terbang ke bulan.” Itu hanyalah sebuah firasat baik. Ada juga kok firasat buruknya. Jangan-jangan pas perjalanan pulang aku bakal jatuh seusai mampir ke bulan. Pesawatnya nyungsep ke Mars. Aduh, jangan sampai deh. Ngomongin pulang, jadi inget aku harus segera pulang ke Bekasi. Segera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar