Senin, 01 Maret 2010
Fitrah Pengakuan
Ajip Rosidi bukan hanya seorang kritikus sastra, melainkan juga seorang penulis karya sastra. Laki-laki kelahiran 31 Januari 1938 di Jatiwangi, Majalengka, ini mulai muncul dalam majalah-majalah kebudayaan terkemuka di Jakarta sejak tahun 1952. H.B. Jassin memasukkan beliau ke dalam angkatan ’66.
Sebagai penyair, Ajip telah menerbitkan beberapa kumpulan sajak, yaitu Ketemu di Djalan (1956) bersama dengan S.M. Ardan dan Sobron Aidit; Pesta (1956) yang menjadikannya sebagai pemenang hadiah sastra nasional dari B.M.K.N. Untuk puisi tahun 1955-1956; Tjari Muatan (1959); Surat Tjinta Endaj Rasidin (1960), dan Djeram (1970). Dalam tulisan ini, penulis akan membahas kumpulan sajak Jeram melalui dua sajak yang terpilih, “Sajak buat Tuhan I” dan “Sajak buat Tuhan II”. Dalam Jeram, banyak ditemukan puisi religi. Kedua sajak tersebut mewakili sajak-sajak lainnya karena penulis mendapatkan kesan yang cukup mendalam saat membaca keduanya.
Sajak buat Tuhan
I
Kalau aku bicara pada-Mu, Tuhan
Bukan mau mengadukan dera dan derita
Tak kuharap Kau berdiri di depan
Ke dahiku mengeluskan tangan mesra
Kalau kutulis sajak ini, Tuhan
Bukan lantaran rindu-dendam atau demam
Tak kuharap Kau membacanya
Sambil duduk mengisap pipa kala senja
Karena Kau lebih tahu apa rasa hatiku
Dan mengerti bagaimana pikiranku
Karena Kau paling Aku dari aku
Yang terkadang kesamaran sama bayangan
8-1-1960
Jika dilihat sekilas, puisi ini seperti puisi lama karena terdiri dari empat baris dalam tiap baitnya dan diakhiri dengan bunyi yang sama di tiap barisnya. Akan tetapi, ada satu bunyi akhir pada baris kedua-bait terakhir yang memiliki perbedaan dengan lainnya. Hal ini membuktikan bahwa puisi di atas bukanlah puisi lama, melainkan puisi modern. Seluruh barisnya mengungkapkan tema kerendahan hati terhadap Tuhan. Kerendahan hati dapat kita tangkap melalui penggunaan bahasanya. Untuk membuktikan hal ini, marilah kita membahasnya melalui satu per satu baitnya.
Kalau aku bicara pada-Mu, Tuhan
Bukan mau mengadukan dera dan derita
Tak kuharap Kau berdiri di depan
Ke dahiku mengeluskan tangan mesra
Aku lirik tengah berandai-andai jika ia dilanda derita yang cukup berat. Sebenarnya, ia ingin mencurahkan segala derita yang ia rasa pada Tuhan. Aku lirik berbeda dengan orang kebanyakan. Jika orang lain seringkali mengadu pada Tuhan saat mereka dilanda dera dan derita, ia berpikir bahwa ia tak perlu melakukannya. Kita dapat melihatnya pada Tak kuharap Kau berdiri di depan/ ke dahiku mengeluskan tangan mesra. Elusan tangan mesra merupakan simbol dari kelembutan pada seseorang yang membutuhkan perhatian. Namun, aku lirik tak menghendakinya.
Hampir sama seperti bait sebelumnya, bait kedua mengungkapkan pengandaian. Jika aku lirik menulis sebuah sajak maka bukan berarti ia akan berharap sajaknya dibaca oleh Tuhan lantaran rindu-dendam ataupun demam. Baris terakhir menggambarkan suasana yang santai dalam menikmati sesuatu, sambil duduk mengisap pipa kala senja. “Tak kuharap Kau membacanya/ sambil duduk mengisap pipa kala senja.” Dalam bait kedua ini, kita dapat menangkap harapan aku lirik bahwa ia ingin diperhatikan dengan serius, bukan dengan perhatian sambilan saja seperti digambarkan pemuisi.
Tak dilakukannya aduan yang dilakukan oleh Aku lirik ternyata bukan berarti ia tak ingin direspon oleh Tuhan. Hal ini disebabkan oleh Aku lirik sadar akan kuasa Tuhan bahwa Tuhan memiliki dua puluh sifat wajib, salah satunya adalah Mahatahu (aliman). Dari sajak ini, kita dapat menangkap kebesaran Tuhan dengan kemahatahuan-Nya. Lebih dari itu, Tuhan lebih mengetahui segala hal yang makhluk-Nya rasakan daripada perasaan makhluk iu sendiri. Hal ini dilukiskan pada rangkaian kata berikut
Karena Kau lebih tahu apa rasa hatiku
Dan mengerti bagaimana pikiranku
Karena Kau paling Aku dari aku
yang terkadang kesamaran sama bayanagan
Secara keseluruhan, pemuisi mempergunakan diksi yang mudah dimengerti oleh pembaca atau biasa disebut dengan kata konkret. Kata konkret tidak memiliki abstraksi makna karena dia mengacu pada makna sebenarnya. Kemudahan inilah yang membuat sajak ini terkesan sederhana, namun memiliki makna yang mendalam sehingga mudah ditangkap. Pengimajian dalam puisi ini dapat kita rasakan melalui rangkaian kata yang mengacu pada tema, kerendahhatian, sehingga kita merasakan suasana yang cukup sunyi. Secara keseluruhan, “Sajak buat Tuhan I” didominasi oleh bunyi vokal di tiap akhir
barisnya. Hal ini menimbulkan keselarasan serta keharmonisan, keharmonisan hubungan hamba dengan Tuhan.
Dari puisi ini, kita dapat mengambil hikmah bahwa Tuhan bersifat Mahatahu sehingga apapun yang kita lakukan, bahkan yang baru kita pikirkan, diketahuinya. Oleh karena itu, patutlah kita menyadari bahwa keberadaaan kita di dunia ini adalah atas karunia Tuhan dan Ia tak bosan-bosan mengontrol kita di sini, di dunia ini.
Ajip memberikan judul sajak berikut sama dengan sajak sebelumnya, hanya berbeda urutan, yakni I dan II. Inilah yang disebut dengan dua sajak-satu nafas, sajak satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Apakah sajak kedua ini juga meneruskan kerendahhatian Aku lirik? Marilah kita tilik dari satu per satu baitnya.
Sajak buat Tuhan
II
Makin terasa, betapa sendiri
Hidupku bermukim di bumi. Tiada kawan
yang mau mengulurkan tangan
dan sedia bersama menempuh jalan
tatkala tiap langkah buntu
Tak seorang pun, juga Kau
datanng mendekat, menepuk-nepuk bahu
menganjurkan tabah dan jangan ragu.
Tiada. Hanya aku saja lagi
yang setia padaku. Hidup bersama
dalam duka dan putusasa.
Hanya aku jua, yang tetap cinta
kepada hidupku, tiada dua! Duh, tiada
lagi yang lain kujadikan gagang
tempat sirih pulang.
Rasa sendiri di dunia ramai, mengeratkan
aku padaMu, sepi-mutlak!
Rasa lengang di tengah orang, menyadarkan
antara Kau dan aku tiada jarak!
Saat seluruh bumi diam sunyi ….
16-4-1960
Bait pertama melukiskan perasaan Aku lirik yang tengah kesepian dalam hidup ini. Ia merasa tak ada orang lain yang sudi membangkitkan semangatnya kembali ketika ia terpuruk dalam keadaan yang begitu rumit. Kerumitan persoalan itu digambarkan pemuisi melalui diksi ‘buntu’. Buntu menyimbolkan keputusasaan, akhir dari segalanya, dan tak terselesaikan.
Keputusasaan aku lirik yang tak terkira membuncah hingga ia pun menyalahkan Tuhan sebab ia merasa bahwa Tuhan tak jua menyapanya. Sebenarnya, Aku lirik mengharapkan adanya kerabat yang bersedia memberikan anjuran supaya ia kuat menghadapi cobaan hidup. Akan tetapi, penantian itu sia-sia. Ia tak jua menjumpai harapannya. Dahsyatnya kesendirian si Aku lirik menjadikan ia bertambah duka dan putus asa. Kita dapat merasakannya melalui lukisan kata pemuisi, “ Tiada. Hanya aku saja lagi/ yang setia padaku. Hidup bersama/ dalam duka dan putusasa.”
Kecintaan pada diri Aku lirik hanya dirasakan oleh dirinya sendiri. Menurutnya, tak ada orang lain yang memperhatikan ataupun mencintainya. Ia merasa bahwa sudah tak ada tempat lagi berbagi, tak ada tempat lagi guna mengadu segala resah dan gelisah. Hilangnya tempat mengadu diungkap pada,” Duh, tiada/ lagi yang lain kujadikan gagang/ tempat sirih pulang.”
Kesendirian yang ia rasakan semakin membuncah meski dalam situasi ramai. Namun, justru kesendirianlah yang mengantarkannya pada makna sendiri. Akhirnya, ia menyadari bahwa keeratan dengan Tuhan sebagai hal yang mutlak ketika tak ada orang lain di sisi kita. Lebih dari itu, ia merasa tiada jarak antara hamba dan Tuhan-Nya karena sesungguhnya Tuhan selalu bersama kita.
Rasa sendiri di dunia ramai, mengeratkan
Anganku padaMu, sepi-mutlak!
Rasa lengang di tengah orang, menyadarkan
antara Kau dan aku tiada jarak!
Saat seluruh bumi diam sunyi…
Seperti sajak-sajak Ajip lainnya, dalam “Sajak buat Tuhan” dipergunakan diksi yang mudah dimengerti atau biasa disebut dengan kata konkret. Pemuisi terlihat tak gemar mempergunakan gaya bahasa yang macam-macam. Kesederhanaan inilah yang justru memberi kesan yang mendalam karena mudah dimengerti kaum awam. Pengimajian yang tertangkap dari rangkaian kata dalam puisi itu membawa kita pada suasana yang gelisah pada kali pertama. Akan tetapi, suasana ini terasa dinamis saat perjalanan menuju akhir. Saat di tengah terjadi klimaks, yakni ketika ia merasa tak lagi punya tempat mengadu. “ Hanya aku jua yang tetap cinta/ kepada hidupku, tiada dua! Duh, tiada/ lagi yang lain kujadikan gagang/ tempat sirih pulang.”. Pada akhir bait, kita merasakan suasana yang begitu syahdu saat seorang hamba begitu merasa dekat dengan sang Pencipta.
Secara keseluruhan, “Sajak buat Tuhan II” didominasi oleh bunyi vokal di tiap akhir barisnya. Hal ini menimbulkan keselarasan serta keharmonisan, keharmonisan hubungan hamba dengan Tuhan. Penggunaan tanda baca seru juga mempertegas makna yang ingin disampaikan, seperti pada “aku padaMu sepi mutlak!” dan “antara Kau dan aku tiada jarak!”. Penegasan yang disampaikan oleh pemuisi adalah bahwa antara Tuhan dan hamba-Nya sungguh tak berjarak karena sesungguhnya Tuhan selalu dekat.
Melalui “Sajak buat Tuhan I” dan “Sajak Buat Tuhan II”, kita dapat menangkap rangkaian rasa fitrah antara hamba dan Tuhan. Keduanya merupakan suatu bentuk kerendahhatian seorang hamba meski terkadang ia merasa tak didampingi-Nya. Keduanya dapat dijadikan teladan bahwasanya kita tak pernah sendiri, di manapun dan kapanpun.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran. 2005. Gema Insani Press: Jakarta
Rosidi, Ajip. 2001. Jeram: Tiga Kumpulan Sajak. PT Dunia Pustaka Jaya: Jakarta.
Rosidi, Ajip. 1991. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Binacipta: Bandung.
Minggu, 28 Februari 2010
Komentar untuk Gadis
Dalam buku Sejarah Indonesia Modern Bab 18: Percobaan Demokrasi,1950-7, M.C. Ricklefs mengatakan bahwa pendidikan diberi prioritas utama dan jumlah lembaga pendidikan meningkat secara drastis. Antara tahun 1953 dan 1960, jumlah anak yang memasuki sekolah dasar meningkat dari 1,7 juta menjadi 2,5 juta, tetapi sekitar 60 % dari jumlah itu pada umumnya keluar sebelum menyelesaikan sekolah.
Sekolah-sekolah lanjutan negeri dan swasta (kebanyakan sekolah agama) dan lembaga-lembaga tingkat universitas bermunculan di mana-mana tetapi terutama sekali di Jawa, dan banyak yang mencapai standar yang tinggi Akan tetapi, masalah-masalah ekonomi dan sosial yang dihadapi bangsa
Gadis Peminta-Minta
Oleh Toto Sudarto Bachtiar
Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa
Ingin aku ikut gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemayaan riang
Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral
Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kau hafal
Jiwa begitu murni
Untuk bisa membagi dukaku
Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu tak ada yang punya
Dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda
(1955)
Cukup ironis jika di atas dinyatakan bahwa jumlah lembaga meningkat secara drastis kemudian 60% dari 2,5 juta peserta didik tingkat dasar pada umumnya keluar sebelum menyelesaikan sekolah. Mungkin, gadis kecil dalam puisi di atas salah satunya. Seringkali kita temui gadis kecil peminta-minta di sepanjang
Saat gadis kecil pergi meninggalkannya, ia merasa bahwa
Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu tak ada yang punya
Dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda
Aku lirik begitu khawatir jika gadis kecil menghilang, entah pindah ke tempat lain ataupun mati. Jika si gadis tak ada lagi, bulan yang selalu menemani malamnya tak lagi ada yang memiliki. Tak hanya itu,
Pengungkapan fenomena sosial ini memperlihatkan keresahan pemuisi terhadap lingkungan sekitarnya.
Ikatan Makna
Merasai berpikir itu menyesakkan
Sesak untuk berpikir bukanlah sakit
:pertanda lapang kan jumpa
rasa mencobainya menjadi biasa
Niscaya kan jadi insan bijaksana
Depok, 6 Desember 2009
Senin, 28 Desember 2009
Cerita Lebaran
Saat saya memutuskan pulang tanggal 18 alias H minus dua,
detak jantung berdegup biasa
sebagai pertanda akan melampauinya dengan baik-baik saja
Jumat siang, kaki ini melanglang naik bus kota
jurusan terminal di Jakarta, Lebak Bulus namanya
Di sana kawan-kawan tengah menanti
dua jam sebelum keberangkatan tepatnya
Mereka terlalu khawatir tertinggal armada
Sebenarnya, saya pun diwanti-wanti agar datang in time istilahnya
Saya jawab,”Ya, saya akan datang sebelum keberangkatan armada.”
Sungguh benar janji saya
Tubuh ini dan barang bawaan dua tas tiba
dua puluh menit sebelum bus meninggalkan Jakarta
Tak terasa melaju, kita pun sampai di Cikampek
Macet begitu dahsyat hingga ratusan mobil bagaikan satu armada berderek
Sungguh terlalu capek
Kami berkeringat hingga lepek
sebab AC berhembus cethek
Biasanya, saya menjumpai rumah setelah 16 jam berada di armada
Tahun ini memang berbeda masanya
Molor sepuluh jam lebih menjadikan bosan makin terlalu
Bagaimana tidak? Saya pulang tepat pada Puncak arus mudik,
Jumat malam Sabtu
***
Tiba di rumah tepat 45 menit sebelum sayup azan asyar terdengar
Alhamdulillah, kutemui ayah dan ibu
dengan otak dan rasa berbinar
Dalam perjalanan itu, perutku hanya terisi seporsi makan malam
hingga ia berteriak, “Aku lapar!”
Usai magrib, pintu rumah diketuk kerabat
Teman sebayaku singgah, Nurin namanya
Kami bersiap diri menyusul buka bersama
Sebab kami tak pakar bermotor di jalan raya,
Kakaknyalah jadi korban hingga kami berbonceng tiga
Bertemu dengan kawan sebaya usai lama tak berjumpa
membuat hati terasa berbunga
Kami bertegur sapa, bertanya kabar, dan menikmati es blewah
Emmm, sungguh manis rupanya
Beberapa kotak nasi dan beberapa es blewah terwadah
menyapa kami untuk terus minta disantap
Rupanya, perut ini terlalu rakus jika menanggapinya
Gagasan seorang teman guna menyedekahkannya
pada tukang becak dan abang ojek menjadi solusinya
***
Malam takbiran cukup indah
Bercengkerama dengan keluarga hingga larut malam pun tak terasa
Bertanya rasa, cinta, dan asa
Malam ini penuh cinta dan cerita
Pagi-pagi buta, Bapak telah menyiapkan baju dan sarungnya
Beliau diamanahi untuk menjadi imam salat Idul Fitri di masjid dekat rumah
Saya bertanya,”Hari ini Bapak mau baca surat apa?”
“Al-A’la dan Al-Ghasiyah”, jawabnya.
Kedua surat itu memang sudah biasa dibaca Rasulullah saat hari raya
Jika kita mengikutinya, kita melaksanakan sunahnya
“Baju saya mana ya?”
“Sapu tangan warna coklat ada di lemari mana?”
“Ibu, sarungku yang baru beli kemarin sudahkah disetrika?”
“Jangan lupa nyapu, ngepel, nyiram bunga, dan ngelap kaca ya!”
Suara-suara itu makin merdu saat terucap dari mulut-mulut terbuka
Kami sadar kewajiban
Kami tak membedakan pekerjaan rumah bagi saudara laki-laki ataupun perempuan
Kami harus mencuci piring seusai memakainya
Kami menghormati itu semua
Kami bahagia meski terkadang dalam selang gelak tawa terselip duka
***
Tradisi bertemu nenek buyut kami tunaikan saat lebaran ketiga
Paman dari seberang, Borneo, pun datang untuk bersua
Kami berkendara Avanza menerjang jalan berbatu di suatu desa
Berjabat tangan, muka, dan hati: itulah tradisi keluarga
Kami bersama-sama memanjatkan doa pada Allah ta’ala
Memohon ampun atas khilaf ucap dan tindakan berkelamut dosa
Teriring pula doa khusus untuk saudara kami yang telah dahulu menghadap Penguasa
Berkeliling ke rumah saudara, bertemu dengan kawan, dan tetangga
Menjadi fitri dengan saling memaafkan hingga gugur dosa-dosa
Makanan, minuman, jajanan, bahkan obrolan pun jadi santapan utama
Begitu indah ukhuwah ini
hingga Allah ta’ala menjamin rezeki bagi orang-orang yang senantiasa menjaga tali silaturahmi
Semoga kita termasuk dalam golongan orang-orang yang selalu saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran meski terkadang dilanda duka tak terperi.
Amiin.
Potret Masa Lalu
Aku tak bisa bercerita banyak bagaimana saya waktu bayi dulu. Aku hanya mampu bercerita sedikit tentang masa itu dengan pengetahuan tentang diriku dari sekitar. Aku terlahir sebagai anak keempat dari enam bersaudara. Aku mendekam di dalam kandungan selama sepuluh bulan. Itu bukan jangka waktu biasa, sembilan bulan sepuluh hari.
Saat berumur beberapa bulan, aku pernah terjatuh dari gendongan seorang teman perempuan Mbak Ulfah, Mbak Dwi namanya. Ah, tak apa. Bahkan, seingatku, aku tak pernah merasakan sakit itu. Aku bahagia dapat melihat potret diriku sendiri saat bayi. Enak sekali. Di mana-mana selalu digendong ibu. Terpotret dalam gambar juga di sekelilingku banyak anak-anak lucu yang bahkan saat ini mereka sudah punya anak seumuran anak-anak dalam foto.
Dua kakak lelakiku selalu berpose seperti jagoan. Ada adegan mengangkat dua tangan yang diangkat tepat di depan dada. Tangan kanan lebih maju daripada yang kiri. Kakinya setengah turun dengan muka yang menantang terarah pada kamera. Ah, lucu sekali! Amir adalah kakak pertama. Dia tegas, tapi terkadang suka menunda pekerjaan. Tapi, apapun itu, dia mencontohiku untuk selalu berani bertindak dan tetap bertahan selama kita benar.
Selepas SMA, ia meneruskan studinya ke IKIP Malang dnegan mengambil jurusan Pendidikan Kewarganegaraan. Tak utuh setahun, ia memutusan untuk keluar dari tempat itu. Alasannya, dia tak begitu kuat dengan udara Malang yang dingin. Sakit typusnya sering kambuh. Saat pulang pun, ia dalam keadaan sakit. Mungkin, ada sebab yang lain. Tapi, aku belum tahu. Kan kutanyakan padanya esok.
Salman, kakak laki-laki ketigaku. Saking cintanya dengan ayam jagonya, dia mendoumentasikannya dalam sebuah foto. Di sana ada aku, Mbak Sita, Mbak Atin, Iput kecil, Mbah Yah, Kak Salman, dan seekor ayam jagonya itu. Dia seringkali mengelus-elus bulu ayamnya. Sepulang sekolah, pasti ayam yang diperhatikannya. Tak pernah aku mendengarnya kalah dalam pertarungan. Selalu menang! Sebenarnya, aku tak bangga padamu atas hal ini sebab ternyata ada yang lebih berarti dalam ingatanku tentangmu.
--bersambung
Sabit
Bunyi hape memecah konsentrasiku yang sedang baca Kompas, berita mengenai jebolnya tanggul di Situ Gintung, Banten.
Nduk, bisa ke Bekasi sekarang nggak?
Kak Rifky nginep d rmh tmnnya mlm ini
Km temenin ak ya
Kubalas,
Oke
Langsung aku melangkah meniti tangga bercat hitam sempurna yang meliuk mengitari sebatang besi kokoh. Tak biasanya aku mendaki dengan melekatkan tangan pada pegangan tangga karena tak mau kuulangi peristiwa shubuh suram itu. Saat itu, mata dan otakku menyatakan bahwa anak tangga tinggal satu lagi, ternyata salah. Dan, terkilirlah. Sakit.
Tangga di kosan Cempaka Sari menyimpan misteri yang sampai saat ini takterpecahkan. Ia telah memakan korban lebih dari sepuluh anak. Kasusnya sama, koordinasi otak dan mata yang tak sesuai dengan fakta. Hanya karena sebuah anak tangga yang terlewatkan. Nah, sekarang aku tahu rahasia misteri itu: kehati-hatian sangat diperlukan dalam setiap situasi, tak terkecuali untuk menapaki anak tangga.
Meskipun begitu, aku tetap gemar menapakinya. Ya iyalah, kalo aku nggak lewatin situ ya nggak bakal sampe ke kamar. Lebih dari itu, tadi malam kusadari keeksotisan langit terlihat ketika berdiri di atasnya. Aku dapat memandang langit karena tangga kosan ada di deket taman dalam yang tak beratap. Terbuka.
Bulan sabit seolah tersenyum pada setiap insan yang memandangnya. Namun, tak banyak orang punya waktu untuk sekedar mendongakkan mukanya. Aku tak berpikir bahwa orang yang mendongakkan muka adalah orang sombong. Mereka menyempatkan waktu untuk berkedip pada bulan, bintang, kucuran air hujan, dan langit. Mereka mulia karena berada di atas.
Biru laut. Ah tidak, dia lebih pekat dari itu. Ada semburat hitam. Seperti degradasi lukis buatan anak TK yang memenangi perlombaan mewarnai di Taman Mini Indonesia Indah. Sebenanya, TMII itu besar, tapi kok dibilang kecil ya. Bingung.
Memang, lukisan Allah tak tertandingi. Bayangkan saja, Dia hanya melukis langit dan lekatkan bulan padanya. Tak utuh, kira-kira seperenam saja. Sabit tepatnya. Indah sempurna. Lebih indah dari yang utuh. Kusadar sekarang kesempurnaan tak selalu menuntut keutuhan, tapi menutut memberikan yang terbaik.
Terkadang, aku berpikir, di mana ujung langit itu berada. Tapi tak kutemukan jawabnya. Pernah kubaca sebuah buku, bahwa langit itu segala sesuatu yang berada di atas. Ketika kita berada di dalam ruangan maka langit kita adalah atap. Langit, apa iti langit? Sebuah judul buku bersampul biru muda. Yang pasti, kulihat dia tersenyu manis pada dunia saat ini. Melihat anak kecil bermain petak umpet di sebelah kosan. Riuh.
Indah dan damai kurasa. Aku punya firasat indah, aku bisa terbang ke bulan kayak lagunya Memes, “pesawatku terbang ke bulan.” Itu hanyalah sebuah firasat baik. Ada juga kok firasat buruknya. Jangan-jangan pas perjalanan pulang aku bakal jatuh seusai mampir ke bulan. Pesawatnya nyungsep ke Mars. Aduh, jangan sampai deh. Ngomongin pulang, jadi inget aku harus segera pulang ke Bekasi. Segera.
Memasuki Diri
Sebuah diskusi menarik kami lakukan pada Rabu malam, 9 Desember 2009 di kosan. Saya, Dadah, dan Miu membincang pengenalan diri. Diawali dengan obrolan kecil, diselingi tawa ceria, dan makanan tentunya, kami menonton sebuah pengantar film, Celestine Prophecy. Sebagai sebuah sarana pembelajaran, cuplikan ini menjadi anjuran yang bagus.
Malam itu, saya mendapat peneguhan pembelajaran bahwa tempat bergantung segala sesuatu adalah Allah –untuk afirmasi yang ke sekian kalinya-. Allah, pemberi energi dan cinta yang tak terbatas, menguatkan saya untuk percaya diri menatap hidup. Terkatakan sebagai tindakan awam jika saya masih merasa tidak berarti saat tak ada teman ataupun saudara yang berada di dekat saya.
Bayangkan saja: saat semua teman ataupun saudara memiliki urusan masing-masing yang harus ditunaikan dalam waktu yang sama dan tempat yang berbeda, apakah saya harus sedih karena tidak ada yang menemani saya? Atau saya harus bingung sebab ingin tahu mereka berada di mana dan sedang apa? Jawabannya: tidak! Saya percaya bahwa banyak orang di sekitar kita memiliki energi dan cinta untuk dibagikan pada kita. Ingat, itu terbatas! Bagaimana jika mereka semua meninggalkan kita? Bagaimana jika ada musibah dahsyat melanda dan kita tertinggal hidup seorang diri di kerumunan orang tak dikenal?
CONTOH KECIL
Siang itu, saya berjalan menyusuri jalan setapak balik hutan antara Stasiun UI dan FIB. Tiba-tiba, ada yang mencolek pundak. Saya kaget. Saya berputar 360 derajat ke arah kiri, tapi dia sudah berada di sebelah kanan saya.
“Ooo, mbak Ika.”
“Iya. Kok kamu jalan sendirian?
“Iya, Mbak. Udah biasa kok.”
“Ooo, gitu ya. Eh, saya nggak PD lho kalo jalan sendiri gitu. Gimana gitu rasanya. Kayak ada yang kurang. Nggak sreg aja. Jadi, saya lebih suka ada barengannya.”
“Ooo.” Saya termanggut-manggut. Pun tersenyum menolehnya.
Kami berdua berjalan hingga sampai berjumpa Gedung II.
“Mbak, saya mau ke Kansas dulu ya. Mau makan. Sedari pagi, saya belum makan. Laper.”
“Sendirian?”
“Iya. Atau Mbak mau ikut?”
“Oh, nggak. Saya udah makan kok. Saya juga nggak PD lho kalo makan di Kansas sendirian. Gimana gitu rasanya. Aneh aja. Nggak nyaman. Nyaman kalo bareng temen-temen”
“Ooo.” Lagi-lagi, saya termanggut-manggut dan tersenyum menolehnya.
“Oke. Saya duluan ya.”
“Iya, Mbak.”
Kami berpisah di koridor gedung perpustakaan menuju Kansas. Mbak Ika belok kiri. Tujuan kami berlainan.
PEMBELAJARAN
Sebuah keadaan mengkhawatirkan saat kita sendiri tak mampu menjadi teman bagi jiwa dan diri kita sendiri. Begitu kasihan jika kita hanya merasa berarti saat ada orang yang memperhatikan kita. Perhatian, cinta, dan apresiasi seakan tak habis kita ingini. Fitrah memang, tapi dari mana seharusnya?
Seseorang akan diperhatikan atau diapresiasi hanya jika dia memiliki nilai untuk diperlakukan seperti itu. Perhatian, cinta, dan apresiasi itu berasal dari diri sendiri. Lalu, dari manakah asal kekuatan diri itu? Pemberi energi dan cinta yang tak terbatas adalah Allah. Dialah yang Maha Pengasih. Dia Maha atas kesemuanya, tak terbatas.
Orang yang telah mengenali diri akan pede dalam melakukan aktivitasnya. Tak perlu lagi merasa sendiri atau tak terperhatikan. Merasai perhatian yang bersumber dari arah tepat akan berefek tepat. Jika diri telah membendung perhatian lebih, tak usah lagi bermohon perhatian pada yang lain. Lebih dari itu, diri pun mampu berbagi pada sekitar.