Rabu, 02 Juni 2010

STUDI BANDINGAN ANTARA FABEL KARYA LA FONTAINE DAN SATJADIBRATA

Oleh Nila Rahma, Mahasiswa Program Studi Indonesia FIB UI


I. PENDAHULUAN

Di Prancis, seperti halnya di Indonesia, fabel tak habis-habisnya menebarkan daya tariknya yang besar. Di Indonesia, dapat ditemui sejumlah fabel yang berasal dari India dan Eropa yang telah mengalami transformasi. Tak mengherankan lagi jika kita membaca fabel Indonesia yang sama atau mirip dengan fabel yang berasal dari negeri asing, bahkan yang memiliki kultur berbeda.

Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI), fabel berarti cerita yang menggambarkan watak dan budi manusia yang pelakunya diperankan oleh binatang, biasanya berisi pendidikan moral dan budi pekerti. Fabel merupakan karya sastra yang muncul sejak abad ke-17 dan dibawa oleh tradisi klasik.

Fabel karya La Fontaine dan fabel karya Satjadibrata mengandung beberapa ciri yang sama. Aspek-aspek edukatif yang disiratkan dalam cerita-cerita yang mengandung teladan dan lucu ditemukan dalam kedua karya penulis tersebut. Dalam makalah ini, penulis akan membandingkan antara karya fabel La Fontaine dan Satjadibrata. Dengan membandingkan karya tersebut, akan diketahui persamaan dan perbedaan keduanya.


II. STUDI BANDINGAN ANTARA FABEL KARYA LA FONTAINE DAN SATJADIBRATA

2.1. Tentang Pengarang
2.1.1. La Fontaine
Jean de La Fontaine dilahirkan pada tanggal 8 Juli 1621 di Chateu-Thierry. Nenek moyangnya berasal dari Champagne. Ayahnya berkedudukan sebagai penasihat raja dan bekerja sebagai pengurus pengairan dan kebutuhan swasta. Pada saat dewasa, Jean de La Fontaine pun melakukan pekerjaan serupa. Ibunya, Francoise Pidoux, adalah keturunan keluarga dokter kerajaan, namun telah wafat saat ia masih kecil.

Dengan perantara paman istrinya, Jannart, Jean de la Fontaine berkenalan dengan Fouquet, menteri keuangan Prancis pada waktu itu. Pada masa itu, para seniman, baik penulis, maupun pelukis lazim memiliki pelindung yang membiayai hidup mereka. Para pelindung terdiri dari orang-orang penting di masyarakat.

Pada tahun 1641, ia belajar di Oratoire yang ditinggalkannya setahun kemudian. Selanjutnya, ia mempelajari teologia di Seminari di Juilly. Di sana, ia tidak termasuk murid yang baik sehingga ayahnya memintanya untuk mempelajari ilmu hukum. Dari sana, La Fontaine memperoleh gelar “Pengacara Parlemen”. Sebenarnya, pekerjaan ini tidak menarik minatnya, namun dari sini ia belajar seni argumentasi yang ternyata sangat berguna dalam penulisan karya-karyanya di kemudian hari. Pada masa belajarnya saat itu, ia menjadi anggota Table Ronde, suatu kelompok kecil yang beranggotakan para penyair muda yang sering hadir di istana.

Sejak masa kanak-kanak, ayahnya telah mendorongnya untuk mempelajari puisi. Jean de la Fontaine sangat gemar membaca. Sejak kecil, ia membaca roman, cerita, dan puisi. Saat menggantikan tugas ayahnya sebagai pengurus pengairan dan kehutanan adalah masa yang mempengaruhi pengembangan bakatnya sebagai pencerita atau pengarang fabel. Dalam tugasnya, ia seringkali berkelana di daerah pedesaan dan hutan-hutan. Di sana ia menemukan rahasia dunia binatang dan tumbuh-tumbuhan.

La Fontaine menerbitkan kumpulan fabel pertamanya pada tahun 1668 pada usia 40 tahun. Ia menerbitkan Eunuque, terjemahannya pada Agustus 1653. Pada tahun 1658, ia menulis sebuah puisi berjudul "Adonis". Untuk menghormati Fouquet, ia menulis "Songe de Vaux dan Ode au Roi". Antara tahun 1658 dan 1660, ia menulis Clymene dan Ballet Rieurs du Beau-Richard. Pada tahun 1668, ia menulis fabel-fabelnya yang pertama, yaitu Fables Choices Mises en Vers. La Fointe dikenal dan diterima oleh Raja Louis XIV untuk menyajikan karyanya, Les Amours de Psyche et de Cupidon. Fabel-fabel La Fontaine terdapat dalam tiga kumpulan, yakni Le Premier Recuil (1668) yang terdiri atas buku I-VI; Le Second Recuil (1678-1679) yang terdiri atas buku VII-XI, dan buku XII (1694).

2.1.2. Satjadibrata
Satjadibrata dilahirkan di Sumedang pada tanggal 31 Agustus 1886 dari darah kyai. Ayahnya, R. Hadji Muhammad Amin adalah seorang penghulu dan meninggal saat Satjadibrata ketika masih muda. Ia mendapatkan warisan dari ayahnya berupa koleksi karya sastra Sunda.

Selama empat tahun, ia menjalani pendidikan dasar di Sumedang pada Sekolah Kelas II yang memiliki bahasa pengantar Sunda. Pada masa itu, ia sudah menunjukkan minat dan bakat yang besar dalam mata pelajaran Menggambar dan Menembang. Di luar sekolah, ia gemar membaca karya sastra Sunda dan wawacan tulisan tangan yang ditemukannya di antara koleksi ayahnya. Seringnya diajak oleh guru untuk menembang di berbagai acara pesta pernikahan ataupun khitanan membuat bakat mengarang dan bersyairnya tumbuh.

Pada tahun 1902, ia mulai belajar di Sekolah Kelas I yang memiliki bahasa pengantar Belanda. Waktu senggangnya dipergunakan untuk membaca berbagai naskah sambil menghafalkan bait tembang serta menulis tembang. Pada tahun 1905, ia melanjutkan sekolah di Kweekschool voor Onderwijzers dengan hasil kelulusan terbaik. Pada tahun 1926, ia mulai aktif menulis artikel untuk sejumlah majalah Sunda. Pada tahun 1928, ia bekerja di Balai Pustaka sebagai redaktur.

Sakadang Peucang adalah karya pertamanya yang diterbitkan pada tahun 1930. Setahun kemudian, 1931, ia menerbitkan Rasiah Tembang Sunda. Tidak lama berselang, pada tahun 1932, sebuah wiracarita yang berirama indah berjudul Wawatjan Sastra-Satri. Selain itu, Satjadibrata juga menyusun Kamus Sunda-Indonesia yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada Desember 1943 dan Kamus Sunda-Sunda yang terbit pada tahun 1946.

Satjadibrata termasuk sastrawan produktif. Ia menulis di berbagai media, menerjemahkan, dan menyadur karya-karya sastrawan dari dalam maupun luar negeri. Di antara hasil terjemahan karya sastra asing adalah Graaf de Monte Cristo (1928), Lalakon si Tjongtjorang (Pinokio), dan Boedak Timoe (1929). Ia diangkat menjadi anggota Lembaga Bahasa Sunda. Di sana, karya-karya yang dihasilkannya menjadi koleksi arsip pemerintah Jawa Barat hingga saat ini.

2.2. Analisis Studi Bandingan antara Fabel Karya La Fonte dan Satjadibrata

Dalam fabel, terdapat unsur-unsur kebaikan dan kejahatan. Pengarang fabel mempergunakan nama berbagai binatang untuk mempersonifikasikan kebaikan dan kejahatan tersebut. Jadi, fabel merupakan cerita yang menggambarkan suatu kehidupan yang dinamis, yaitu kehidupan manusia itu sendiri.

Bagi orang Indonesia, Kancil dengan akal cerdiknya melambangkan manusia cerdik sekaligus pandai berbicara. Ia tampil sebagai makhluk yang terampil dan penuh dengan gagasan. Tipe masyarakat yang digambarkan melalui Kancil adalah masyarakat kecil yang lemah dan memiliki masalah, namun selalu berhasil terpecahkan berkat kecerdasannya. Kancil dapat menghadapi keadaaan apapun dalam kehidupan. Akan tetapi, ia menghalalkan segala cara, tanpa peduli benar atau tidaknya cara yang ia gunakan.

Kancil seperti halnya rubah di negeri Eropa. Rubah digambarkan oleh Taine, peneliti Prancis, sebagai binatang yang cerdas dan memiliki kemampuan menipu yang bermutu. Ia memiliki semangat dan keberanian yang tinggi. Tutur katanya yang baik dan mimik muka yang ekspresif menakdirkannya untuk hidup bergantung pada makhluk lain, menempatkan diri di kalangan orang kaya, di istana, dan datang untuk meminta belas kasihan sebanyak mungkin.

Dalam “Si Kancil dan Seratus Lima Puluh Buaya”, usaha untuk menghindari kematian terwujud dalam kalimat yang memukau. Kancil dengan kemampuan verbal yang tinggi dapat meyakinkan musuhnya.

“Percuma makan tubuhku. Aku terlalu kecil untuk kalian semua. Aku tak akan dapat mengisi perut-perut kalian. Tapi kalau kau ingin dagingku untuk obat, boleh. Tapi tidak boleh makan terlalu banyak. Berapa jumlah kalian semua?” ”Hanya, lebih baik kalau kau membagi-bagikannya dengan teman-temanmu. Mereka akan menganggapmu murah hati. Sebenarnya, aku telah berbuat kebodohan dengan membukakan rahasiaku. Aku bisa saja membiarkan kalian mati karena makan dagingku. Hal itu tentu akan baik bagi binatang-binatang yang lain. Mereka tak perlu lagi takut kepada buaya”


Kefasihan berbicara terlihat juga pada Rubah dalam ”Le Lion, le Loup et le Renard”. Kepandaian Rubah berbicara tak hanya untuk mengeluarakan dirinya dari bahaya, tetapi juga untuk membalas dendam kepada fitnahan serigala seperti digambarkan berikut ini:

Je crains, Sire, dit-il, qu’un rapport peu sincere
Ne ma’it a mepris impute
D’avoir differe cet hommage
Mais j’’etais en pelerinage
Et m’acquittas d’un voeu fait pour otre sante
Meme j’ai vu dans mon voyage
Gens experts et savants, leur aid it la languer
Don’t Votre Majeste craint, a bon droit la suite
Vous ne manquez que de chaleur;
Le long age en vous l’a detruite
D’un Loup ecorche vif appliquez-vous la peau
Toute chaude et toute fumante;
Le secret sans doute en est beau
Pour la nature defaillante
Messire Loup vous servira
S’il vous plait, de robe de chamber.

“Saya khawatir, Tuan, akan adanya laporan yang kurang benar. Saya dianggap bersalah telah bersikap tak hormat. Tetapi, saya sedang dalam perjalanan ziarah dan menjalankan tugas di bawah sumpa yang dibuat untuk kesehatan Tuan. Dalam perjalanan itu, saya bertemu dengan orang-orang pandai dan ahli, saya ceritrakan penyakit yang Yang Mulia takuti kelanjutannya. Tuanku hanya kedinginan, usia tuan membuat Tuan demikian. Dari seekor serigala yang dikuliti hidup-hidup, gunakanlah kulitnya panas-panas dan berasap. Resep ini pasti baik untuk tubuh yang melemah. Tuan Serigala akan dapat digunakan sebagai pakaian kamar”


Dalam kedua kutipan fabel di atas, “Si Kancil dan Seratus Lima Puluh Buaya” dan ”Le Lion, le Loup et le Renard”, ditemukan kesamaan berupa penggambaran tokoh dengan karakter sama. Hal ini diwakili oleh Kancil dan Rubah. Keduanya memiliki kecerdasan yang tinggi sehingga berhasil mengelabuhi musuhnya. La Fontaine dan Satjadibrata memperlihatkan kesamaan-kesamaan antara manusia dan binatang. Kesamaan-kesamaan tersebut terlihat pada aspek lahiriah, sifat, perasaan, serta ungkapan-ungkapan dalam tata pergaulan umat manusia dan juga percakapan yang dipergunakan oleh para tokoh dalam cerita. Keduanya memanusiakan binatang dan mewarnainya dengan suatu simbolisme sosial. Setiap binatang mewakili tipe tertentu manusia dan tipe sosial.

III. PENUTUP
Sejumlah cerita binatang Indonesia berasal dari kumpulan cerita India yang dikenal dengan nama Panchatantra. Sementara itu, La Fontaine menyatakan dirinya sebagai penerus, peniru, dan murid setia Aesop. Sedangkan fabel karangan Aesop juga berasal dari sumber yang sama, yakni cerita-cerita India kuno. Menurut sejarah fabel, cerita binatang bermula dari India tidak hanya menyebar ke Barat (arah Eropa dan Afrika), tetapi juga ke arah Timur (arah Indonesia dan Malaysia).

La Fontaine pernah terlibat dalam perjuangan politik pada masanya. Ia mengutuk semangat dan politik pemimpinnya, Colbert. Fabel-fabel La Fontaine menjadi suatu pembelaan politik bagi Fouquet, pelindungnya, yang merupakan lawan politik dari Colbert. Hal ini berbeda dengan Satjadibrata. Fabel-fabelnya tidak bertujuan politik sama sekali. Fabel-fabel karyanya merupakan kumpulan dari cerita yang sudah tersebar secara turun-temurun.

Tidaklah mengherankan saat diketahui Prancis dan Indonesia memiliki fabel yang serupa. Kedua fabel ini, “Si Kancil dan Seratus Lima Puluh Buaya” dan ”Le Lion, le Loup et le Renard” berasal dari sumber yang sama, yaitu cerita-cerita binatang dari India yang paling kuno dan diciptakan oleh pujangga-pujangga Hindu. Dapat disimpulkan bahwa La Fontaine dan Satjadibrata terpengaruh oleh pujanga-pujangga Hindu dari India.


DAFTAR PUSTAKA

Budianta, Melani, dkk. 2006. Membaca Sastra. Jakarta: Indonesiatera.

Aksa, Yati Haswidi. 1990. Rubah dan Kancil (Suatu Gambaran Tatanan Dunia: Studi Bandingan Beberapa Fabel Karya La Fontaine dan Satjadibrata. Disertasi Tidak Diterbitkan. Jakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia.
Fokkema, D.W. 1998. Teori Sastra Abad Kedua Puluh. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Tim Penyusun Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Depertemen Pendidikan Nasional.

PEMINJAMAN ISTILAH-ISTILAH BIDANG EKONOMI DARI BAHASA INGGRIS DALAM BAHASA INDONESIA

Oleh Nila Rahma, Mahasiswa Program Studi Indonesia FIB UI


I. PENDAHULUAN


Bahasa selalu berkembang dalam masyarakat yang juga semakin berkembang. Penggunaannya menyangkut berbagai bidang, seperti bidang hukum, politik, budaya, ataupun ekonomi. Dalam perkembangannya, suatu bahasa akan menerima kata-kata asing yang kemudian menjadi bagian dari kosakata bahasa tersebut.

Tidak ada satupun bahasa di dunia ini yang sudah memiliki kosakata yang lengkap dan tidak memerlukan ungkapan untuk gagasan, temuan, atau rekacipta yang baru. Bahasa Inggris yang merupakan bahasa internasional pun pernah menyerap kata dari bahasa Yunani, Latin, Prancis, dan bahasa-bahasa lain.

Sementara itu, istilah-istilah dalam bahasa Indonesia diambil dari berbagai sumber, terutama dari tiga golongan bahasa yang penting, yaitu (1) bahasa Melayu; (2) bahasa Nusantara, seperti Sansekerta dan Jawa Kuno; serta (3) bahasa asing, seperti bahasa Arab dan bahasa Inggris. Dalam makalah ini, akan diperlihatkan peminjaman istilah-istilah bidang ekonomi dari bahasa Inggris dalam bahasa Indonesia.


II. PEMINJAMAN ISTILAH-ISTILAH BIDANG EKONOMI
DARI BAHASA INGGRIS DALAM BAHASA INDONESIA

Pengambilalihan istilah dari bahasa Inggris dalam masyarakat Indonesia adalah untuk menambah konsep dan tanda dalam bahasa Indonesia. Ini merupakan hasil kontak bahasa antara bahasa Ingggris dan bahasa Indonesia. Kontak bahasa adalah hubungan kebahasaan yang terjadi antara satu masyarakat bahasa dengan masyarakat bahasa yang lain (Samsuri, 1968: 661).

Selain itu, akan terjadi saling pengaruh, baik langsung atupun tidak langsung, antara bahasa-bahasa tersebut. Ketika terjadi proses saling berpengaruh itu, bahasa yang lebih penting akan banyak mempengaruhi bahasa yang kurang penting (Moeliono, 1980: 15). Suatu bahasa akan menerima kata-kata asing yang kemudian menjadi bagian dari kosakata bahasa tersebut.

Dalam perkembangannya, suatu bahasa harus menambah jumlah konsep dan tanda untuk melakukan berbagai kegiatan. Dalam penjelasan ini, diberikan beberapa istilah bidang ekonomi dari bahasa Inggris dalam bahasa Indonesia. Pada setiap istilah, akan terdapat keterangan dengan abjad (a) dan (b) dengan penjelasan sebagai berikut:
(a) Istilah dari bahasa aslinya disertai dengan maknanya
(b) Makna dari Kamus Bahasa Indonesia Edisi Keempat

(1) Bank
(a) bank: establishment for keeping money and valuables safely, the money being paid out on the costumer’s order
(b) bank: lembaga keuangan yang usaha pokonya memberikan pinjaman (kredit) dan jasa dalam pembayaran dan peredaran uang

(2) Akumulasi
(a) accumulation: The addition to capital of interest or profits
(b) akumulasi: tambahan dana secara periodik dari bunga atau dari laba neto

(3) Barter
(a) Barter: exchange (goods, property, etc) for other goods, etc)
(b) Barter:perdagangan dengan saling tukar barang.

(4) Bisnis
(a) Business: buying and selling; commerce, trade
(b) Bisnis: usaha dagang; usaha komersial dalam dunia perdagangan

(5) Cek
(a) Check: bill (in restaurant)
(b) Cek: Kertas atau formulir yang digunakan sebagai alat pembayaran; formulir tersebut dikeluarkan oleh bank dan diberikan kepada perseorangan atau perseorangan atau perusahaan yang membuka giro di bank tersebut.

(6) Embargo
(a) Embargo: order that forbids (trade movement of ships, etc; stoppage of commerce; or of branch of commerce; seize (ships or goods) by government authority for the service of the state.
(b) Embargo: Larangan mengirimkan (mengekspor) barang dagangan dan sebagainya ke suatu negara (misalnya karena dalam permusuhan).

(7) Komoditi
(a) Commodity: Useful things especially an article of trade
(b) Komoditi: barang dagangan; benda niaga

(8) Subsidi
(a) Subsidy: money granted, especially by a government to an industry or other cause needing help or to anually in war, to keep prices at a desired level
(b) Subsidi: bantuan uang dan sebagainya kepada yayasan atau perkumpulan (biasanya dari pihak pemerintah)

(9) Transfer
(a) Transfer: change position, move; hand over the possession of property, etc
(b) Transfer: pindah atau beralih tempat

(10) Royalti
(a) Royalty: payment of money by a mining or oil company to owner of the land; sum paid to the owner of copy right or patent
(b) Royalti: imbalan atau uang jasa yang dibayar oleh penerbit kepada pengarang untuk setiap buku yang diterbitkan.


Munculnya istilah-istilah bidang ekonomi yang diserap dari bahasa Inggris seperti diuraikan di atas merupakan sebuah gambaran jelas mengenai perkembangan bahasa Indonesia. Apabila seseorang atau suatu masyarakat hendak menggambarkan suatu konsep baru, ia akan menciptakan kata-kata baru atau menyerap istilah-istilah asing dari bahasa asing yang memiliki kontak kebudayaan dengannya. Peminjaman dilakukan karena tidak adanya tanda untuk menggambarkan suatu konsep yang sudah ada dalam bahasa Indonesia.


III. PENUTUP

Dalam perkembangannya, suatu bahasa harus menambah jumlah konsep dan tanda untuk melakukan berbagai kegiatan. Dari hasil studi kasus tentang kemunculan istilah-istilah bidang ekonomi yang diserap dari bahasa Inggris dalam bahasa Indonesia seperti diuraikan di atas, terlihat jelas bahwa peminjaman istilah-istilah asing sangat dibutuhkan jika masyarakat hendak menggambarkan suatu konsep baru.




DAFTAR PUSTAKA


Echols, John M. dan Hassan Shadily. 1977. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT Gramedia

Moeliono, Anton. 1980. “Bahasa Indonesia dan Ragam-ragamnya” dalam Majalah Penulisan Bahasa Indonesia Jilid I No. 1 hal. 15—34.

Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia. 2007. Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Samsuri. 1968. Analisa Bahasa. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Siregar, Amelia Fariza. 1985. Peminjaman Istilah-Istilah dari Bahasa Asing dalam Bahasa Indonesia di Bidang Ekonomi. Skripsi tidak diterbitkan. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia

Tim Penyusun. 1995. Pedoman Pengindonesiaan Nama dan Kata Asing. Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Tim Penyusun. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional

Usman, Zuber. 1960. Kedudukan Bangsa dan Bahasa Indonesia. Jakarta: Gunung Agung

Tinjauan Sosiologis Senja di Jakarta Karya Mochtar Lubis

Oleh Nila Rahma, Mahasiswa Program Studi Indonesia FIB UI

Novel Senja di Jakarta telah banyak diperbincangkan para pengamat sastra Indonesia. A. Teew (1980: 264-265) mengatakan bahwa novel ini merupakan karya Mochtar Lubis yang agung. Keberhasilan Mochtar Lubis dalam menggambarkan kebobrokan masyarakat lapisan bawah maupun atas sekitar tahun 1950-an sebelum pemilihan umum saat itu patut diacungi jempol. Dalam tulisan ini, saya ingin mempersoalkan latar belakang kehidupan Mochtar Lubis yang dihubungkan dengan novelnya, Senja di Jakarta.

Kritik ekspresif (expressive criticism) memandang karya sastra terutama dalam hubungannya dengan penulis sendiri. Kritik ini mendefinisikan puisi/karya sastra sebagai sebuah ekspresi, curahan atau ucapan perasaan, atau sebagai produk imajinasi pengarang yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran, dan perasaan-perasaannya.

Seorang sastrawan tidak akan pernah terlepas dari pengalaman dan kondisi sosial-budayanya di dalam pelahiran karya-karya sastra. Segi sosiologis sastrawan inilah yang menjadi landasan misi segala jenis penciptaan. Sastrawan melahirkan karyanya berdasarkan pengalaman sosial–budayanya; kalaupun bukan dia sendiri yang mengalami, setidak-tidaknya ia menjadi saksi suatu kondisi sosial – budaya yang hidup dan dinamis.

Mochtar Lubis lahir di Padang, Sumatera Barat pada 7 Maret 1922 dan meninggal dunia pada 2 Juli 2004 pada umur 82 tahun di Jakarta. Ia pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Ekonomi INS Kayu Tanam, Sumatera serta Jefferson Fellowship East and West Center, Universitas Hawai. Selain sastrawan, Mochtar Lubis adalah pengarang ternama asal Indonesia. Ia turut mendirikan Kantor Berita ANTARA. Mochtar Lubis juga mendirikan dan memimpin harian Indonesia Raya. Selain itu, majalah sastra Horizon juga didirikan olehnya bersama dengan kawan-kawan. Pada waktu pemerintahan rezim Soekarno, ia dijebloskan ke dalam penjara hampir sembilan tahun dan baru dibebaskan pada tahun 1966. Mochtar Lubis sering mendapatkan penghargaan seperti Magsaysay Award untuk jurnalistik dan kesusasteraan, Golden Pen Award dari International Association of Editors and Publishers, dan Hadiah Sastra dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional.

Mochtar Lubis menulis Senja di Jakarta pada saat ia dikenakan tahanan rumah oleh pemerintah Orde Lama. Awalnya, novel itu berjudul Yang Terinjak dan Melawan. Masa penulisan novel Senja di Jakarta diungkapkannya dalam Catatan Subversif sebagai berikut:

... Informasi tentang keadaan-keadaan politik selalu mengalir datang dari kawan-kawan. Saya juga sekarang telah mulai menulis roman saya yang diberi nama Yang Terinjak dan Melawan. Sekarang telah menjadi jelas dalam otak saya buku roman apakah yang akan saya tulis. Saya ingin melukiskan dalam roman keadaan sosial dan politik negeri kita. Betapa kehausan akan kekuatan, keserakahan dalam harta benda dan kekuasaan dalam menggunakan kedudukan partai telah menimbulkan kerusakan-kerusakan yang amat banyak di tengah-tengah masyarakat kita. Saya telah menulisnya dengan lancar dan mudah sekali meskipun saya tahu buku ini mungkin dalam masa lama belum akan diterbitkan di Indonesia, akan tetapi saya merasa dengan melukiskannya saya telah menyusun laporan yang perlu diketahui masyarakat kita kelak. (Lubis, 1987: 111-112)


Keadaan politik dan sosial di Indonesia yang kacau pada tahun 1950-an ingin disampaikan pengarang melalui novel ini. Carut-marut kondisi saat itu juga dapat diketahui dari buku-buku Sejarah, seperti Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV: Zaman Jepang dan Pemerintahan RI (Notosusanto, 1975) dan Pertumbuhan, Perkembangan, dan Perkembangan Lekra di Indonesia (Ismail, 1972). Dengan demikian, dapat diartikan bahwa Senja di Jakarta muncul atas pengaruh keadaan ekonomi dan sosial di Indonesia yang kacau pada tahun-tahun tersebut. Mochtar Lubis yang dikenal sebagai wartawan sekaligus pengarang mampu memotret kegelisahan dirinya terhadap keadaan masyarakat melalui Senja di Jakarta.

Mochtar Lubis menggambarkan para manusia Indonesia lapisan atas dengan menghadirkan Suryono, Raden Kaslan, Husin Limbara, dan kawan-kawannya. Mereka seakan tak pernah puas pada hal yang telah miliki sehingga mereka bersama-sama melakukan korupsi. Melalui pendirian perusahaan-perusahaan fiktif yang akan menangani lisensi impor barang-barang kebutuhan pokok rakyat, mereka mengepul lembaran-lembaran uang. Sementara itu, Neneng, Saimun, Itam, dan Pak Ijo digambarkan sebagai manusia-manusia Indonesia yang sungguh setengah mati berjuang untuk bertahan hidup. Keputusan Neneng untuk melacurkan diri hanya untuk memperoleh sesuap nasi menjadi gambaran penting dalam potret kebobrokan akhlak manusia.

Kekhasan Mochtar Lubis yang juga mencerminkan seorangs wartawan adalah menyertakan Laporan Kota dalam beberapa bagian novelnya seperti berikut ini:

LAPORAN KOTA:
Malam itu seperti biasa juga. Malam ramai di pasar Glodok. Ribuan lampu listrik berkelip seperti kunang-kunang menari dalam malam. Lampu-lampu mobil bergerak, bola-bola mata kuning. Wangi makanan merangkak keluar dari restoran, berat di udara, serasa bisa dipegang, dan dimasukkan ke dalam mulut, dikunyah. Mereka berdua meneguk air liur. Sebesar kelereng meyumbat kerongkongan, dan kemudian mereka meludahkan bersama-sama, pecah di tanah dekat kaki mereka. (Lubis, 1981: 31)


Berita dan cerita hanya berbeda tipis. Peristiwa selama Mei 1956 hingga Januari 1957 yang menyangkut jatuhnya kabinet, sepak terjang partai, dan berita di media massa tak luput dari perhatian Mochtar Lubis untuk dituangkan dalam novelnya. Berbagai peristiwa dalam Senja di Jakarta merupakan reprensentasi dari semangat zaman saat itu. Baginya, tugas wartawan adalah mencatat dan menuliskan kejadian yang faktual secara objektif. Pandangan pribadi dan praduga wartawan tidak boleh masuk di dalam berita. Itulah sebabnya, beberapa karya fiksi Mochtar tidak sepenuhnya merupakan imajinasi, tetapi juga mengungkap babak kehidupan nyata yang pernah dialami.


DAFTAR PUSTAKA
Djoko Pradopo, Rahmat. 1994. Prinsip-prinsip Kritik Sastra Teori dan Penerapannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Hardjana, Andre. 1981. Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia.

Lubis, Mochtar. 1987. Catatan Subversif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan PT Gramedia Pustaka Utama.

Lubis, Mochtar. 1981. Senja di Jakarta. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.

Senggono, Endo. 1985. Senja di Jakarta: Analisis Tema dan Tokoh secara Sosiologis. Skripsi tidak diterbitkan. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Teeuw, A. 1980. Sastra Indonesia Baru I. Ende-Flores: Penerbit Nusa Indah.

Selasa, 11 Mei 2010

Sedikit Cerita dari Perjalanan Mapres (-mapresan)

Oleh Nila Rahma, Program Studi Indonesia FIB UI

Menjadi mahasiswa berprestasi tak dipungkiri menjadi harapan setiap mahasiswa di mana pun. Berprestasi itu bisa macam-macam, misalnya berprestasi dalam bidang akademik, olahraga, seni, jurnalistik, ataupun yang lain. Seleksi Mahasiswa Berprestasi yang rutin diadakan di tingkat fakultas, lantas universitas, dan berlanjut ke tingkat nasional setiap tahunnya ini hanyalah secuil wadah tempaan bagi mahasiswa jenjang strata satu untuk membuktikan kecakapan dalam bidang akademik, kokurikuler, maupun ekstrakurikuler. Jadi, bukan berarti bahwa yang tak ikut ajang ini adalah orang yang tak berprestasi.

Seleksi Mahasiswa Berprestasi (yang dimaksud dalam tulisan ini) lebih akrab dikenal dengan sebutan Seleksi Mapres. “Budaya Bahari sebagai Potensi Pengembang Keunggulan Bangsa” adalah tema yang diangkat pada tahun 2010. Untuk Seleksi Mapres, diberikan syarat yang cukup mudah untuk dipenuhi, yaitu berkewarganegaraan Indonesia, memiliki IPK lebih dari sama dengan 3,00, mampu berbahasa Inggris, dan memiliki poin kegiatan kokurikuler serta ekstrakurikuler minimal sejumlah 50 poin, serta membuat makalah sesuai dengan tema.

Ketentuan mengenai poin kegiatan tertera dalam Formulir Penilaian Kegiatan Kokurikuler dan Ekstrakurikuler. Sebagai contoh adalah saya. Saat ini saya diamanahi sebagai Kepala Departemen Keilmuan dan Kajian Budaya BEM FIB UI sehingga saya memperoleh empat poin. Usai diakumulasikan, saya memperoleh 200 poin lebih. Kesulitan dalam urusan poin-poinan ini adalah kelengkapan bukti. Jadi, jika memang berniat mengikuti ajang ini maka siapkanlah jauh-jauh hari.

Fakultas kita, FIB, memilki alur penyeleksian yang cukup panjang, yakni Babak Penyisihan (pencarian 12 besar), Babak Semifinal (pencarian 6 besar), dan Babak Final (penentuan para juara 1 sampai 6). Biasanya, peserta babak penyisihan diajukan oleh program studi masing-masing. Namun, hal ini berbeda dengan saya. Saya mengajukan diri (haha, kepedean critanya :)). Meski tak diminta, jika memang berniat sangat, ajukan diri saja! Gampang kan?

Kata Mark Twain, “Twenty years from now, you will be more disappointed by the things that you didn’t do than by the ones you did do. So, throw off the bowlines, sail away from the safe harbor. Catch the trade winds in your sails. Explore. Dream. Discover.” Maksudnya, mending nyoba meski kudu berjuang keras daripada nggak nyoba trus ntar nyesel.

Pada Babak Penyisihan, ada tiga kelas yang harus ditempuh, yakni kelas makalah bahasa Indonesia, kelas bahasa Inggris, dan kelas Prestatif (mengenai CV). Entah mengapa, saya nggak nervous sama sekali saat itu. Namun, sore harinya, saya terkaget-kaget saat nama saya disebutkan sebagai salah satu peserta lolos ke Babak Semifinal. Ini berarti bahwa ada ujian selanjutnya. Oke, dijalani saja.

Hal yang paling menarik dalam Seleksi Mapres di FIB, pun tidak dilakukan oleh fakultas-fakultas lain di UI, adalah penelitian lapangan. Tahun ini, penelitian lapangan dilakukan selama empat hari, 4—7 Maret 2010 di Indramayu, Jawa Barat. Penelitian yang saya lakukan tepatnya berlokasi di Sentra Industri Andalan Kerupuk Desa Kenanga Blok Dukuh, Kecamatan Sindang. Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari sana. Terkadang, data lapangan tak sesuai dengan ekspektasi sehingga terjadi “kebingungan akut”. Jika terjadi seperti ini, lebih baik meminta pertimbangan para dosen pembimbing dan teman-teman.

Para semifinalis diharuskan membuat makalah dari hasil penelitiannya masing-masing. Adapun makalah saya berjudul “Inovasi Pemasaran Kerupuk Udang Indramayu melalui Dunia Maya”. Presentasi makalah diselenggarakan di Auditorium Gedung 1 FIB UI. Saya mendapat urutan ke-11. Biasanya, hanya ada satu pertanyaan berbahasa Inggris dan empat pertanyaan dalam bahasa Indonesia yang diajukan. Namun, saya memperoleh tiga pertanyaan berbahasa Indonesia dan empat pertanyaan berbahasa Inggris. Entah kenapa, saya juga tidak tahu. Nah, jika pertanyaan diajukan dalam bahasa Inggris, pemakalah juga harus menjawabnya dengan bahasa Inggris.

Selain mempresentasikan makalah, para semifinalis mementaskan bakatnya masing-masing. Cita-cita masa kecil untuk menjadi seorang pembaca berita kembali terlintas di benak hingga saya memutuskan untuk menjadi pembaca berita saat pentas bakat. Jika diingat, lucu juga. Siang bolong, ngambil video di Taman Ismail Marzuki Jakarta bareng Dhisty. Minjem handycam Dhana, bahkan dikasih kasetnya juga.

Alhamdulillah, Allah memberikan kepercayaan kepada saya lagi untuk maju ke babak berikutnya, babak final. Setiap finalis diminta untuk memaparkan topik yang diperoleh dalam bahasa Inggris. Kemudian, kelima finalis lainnya mengajukan pertanyaan yang harus ditanggapi. Topik yang dipaparkan didapatkan secara dadakan. Jika ingin menaklukkan babak ini, kuncinya adalah rutin membaca koran setiap hari dan berlatih berbahasa Inggris sesering mungkin sehingga nggak kagok. Satu lagi, enjoy aja!

Siang harinya, enam finalis diharuskan menunjukkan bakatnya. Tentunya, pentas kali ini nggak afdhol kalo sama dengan pentas saat semifinalis kemarin. Saya mengalami kebingungan akut saat itu karena menyadari bahwa saya tidak begitu handal soal beginian. Dengan bantuan teman-teman, pukul dua dini hari di hari yang sama, saya memutuskan untuk Bernarasi Ironi di atas panggung. Alhamdulillah, saya puas dengan tampilan ini karena telah menyampaikan “sesuatu” melaluinya. Kali ini, Allah mempercayai saya untuk menjadi Juara Harapan I.

Menjadi juara berapapun bukanlah tujuan akhir saya dalam ajang ini. Masih banyak pintu-pintu masa depan yang harus segera dibuka dengan membukanya satu persatu. Mengajak orang untuk selalu berbuat kebaikan, salah satunya. Dengan mengikuti ajang seperti ini, banyak manfaat yang diperoleh. Di antaranya adalah mengetahui posisi kemampuan diri kita jika dibandingkan dengan orang lain dan berkesempatan untuk belajar langsung dengan orang-orang hebat di sekitar kita. Selain itu, tahun ini beberapa dari semifinalis Mapres, termasuk saya, diikutsertakan dalam proyek penelitian tentang kebudayaan Betawi. Sungguh menyenangkan.

Hambar jika raihan-raihan hanya dapat dirasakan sendiri sebab masih banyak yang bodoh dan lapar menunggu sumbangan ilmu para cendekia. Saya selalu teringat pesan Bapak saya, bahwa ”Syukur adalah mempergunakan semua pemberian atau kenikmatan dari Allah untuk digunakan seperti kehendak Yang Memberi.”. Jadi, ekspresi syukur itu bukan hanya dengan mengucap hamdalah, melainkan juga memaksimalkan segala hal yang telah diberikan-Nya. Selamat bersyukur!


Salam :)

Sabtu, 08 Mei 2010

Bersama Orang-orang

kita tidak akan mampu memuaskan semua orang

lakukan saja
jika ada yang suka ya biasa
jika ada yang tidak suka ya biasa juga

sebab ukurannya adalah benarnya,
bukan kata mereka.

Selasa, 04 Mei 2010

Bu Daya

gang sempit pemukiman kumuh, rusuh
belakang pabrik milik kapitalis tengik
terik
siang bolong


I Wayang dan Mbak Tik, keduanya terkekeh-kekeh
saat Wayang berhasil bongkar bak sampah
dan temukan Mbak Tik di dalamnya

keduanya seperjuangan mengais sampah di komplek sebelah
beruntung: kali ini mereka punya setengah jam tuk berpetak umpet
di gang sempit belakang pabrik

“Wayaaang, lekas masuk! Di sebelah ada penggusuran. Banyak petugas.
Aku kwatir kau diculik. Dijual ke negeri orang. Ah, aku tak mau.
Ayooo, lekas masuk!”

“Tak usahlah takut, Bu!
jika memang ada yang mau culik kami, biarlah, Bu!
sebab di sini kita pun tak pernah dihirau-hirau
mungkin saja: penculik itu akan beri kita makan barang sekali saja
mungkin saja: dicampuri racun supaya orang kayak kita ini lekas binasa
mungkin saja: usai makan, matipun aku bahagia.”

seusainya,
Wayang dan Mbak Tik bergegas berdinas
menjejak, sambangi komplek elit sebelah


Depok, 4 Mei 2010

Senin, 03 Mei 2010

berjalan

angkat kaki kanan
sembari berbasmalah dalam hati
lantas injakkan pada tanah Tuan

sesegera sampainya kaki kanan pada tanah Tuan,
kaki kiri pun mengikuti
keduanya melintas sepanjang ruas

syukur syukur syukur jika memang
saya, kamu, dan dia masih miliki keduanya

sedang mereka,
ada yang hanya punya satu
bahkan: ada pula yang tak punya


Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? (Q.S. Ar-Rahman: 32)