Rabu, 26 Desember 2012

Well, Let's See!

Well, let's see! Siapa membuktikan apa. Bagaimana membuktikan apa. Kapan membuktikan siapa. Dan mengapa membuktikan bagaimana.

Jumat, 09 November 2012

Dongeng Membuat Anak Peka pada Kita dan Kata

(Disampaikan dalam Seminar "Dongeng sebagai Media Komunikasi antara Orangtua dan Anak" di Auditorium Gedung I FIB UI, Senin, 29 Oktober 2012)

Dunia pendidikan Indonesia seringkali menjelma kaku sebab terlalu banyak pembelajaran yang disajikan dengan pencekokan teori dari pengajar terhadap murid. Cara belajar yang searah, guru menjelaskan; guru memberi pertanyaan; lalu, murid menjawab pertanyaan adalah alur biasa yang jamak dipraktikkan. Kejamakan ini terus berlanjut hingga memunculkan kebosanan.

Ketidakluwesan cara demikian mungkin berhasil menciptakan anak yang bisa menjawab soal, namun tidak untuk menyikapi keadaan sosial. Mengisi LKS (Lembar Kerja Siswa) di sekolah, mengerjakan PR di rumah dengan mengisi LKS, lalu mencocokkan isian LKS yang sudah dikerjakan menjadi rutinitas yang mau-tidak mau harus mereka jalani. Cara orang dewasa mendidik anak membuat mereka menjadi demikian. Terpaku pada kemampuan kognitif belaka adalah kesalahan besar orang dewasa dalam menilai anak.

Indonesia bukan tidak tahu arahan pendidikan kita mau ke mana. Telah disebutkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional dalam UU No. 20 tahun 2003 bab II pasal 3, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Tujuan baik patut disayangkan jika cara menujunya tidak baik. Jika cara menujunya tidak baik maka konsekuensi logisnya adalah ketidaksempunaan hasil yang dicapai. Oleh karena itu, perlu adanya cara yang baik untuk menjalankan ataupun mendukungnya. Dalam konteks ini, pembelajaran harus dilakukan dengan baik. Bahwa yang disebut belajar adalah setiap kegiatan yang mampu menghantarkan seseorang pada kesiapan hidup yang mencakup kemampuan akademik, maupun non-akademik perlu kita sepakati bersama.

Kehidupan adalah sebenar-benarnya lapangan belajar kita. Kita mendapatkannya dari sana dan akan mengamalkannya di sana. Dalam kehidupan, manusia bisa, bahkan suka bercerita. Manusia juga suka mendengar cerita. Sebab kita adalah pembuat yang juga sekaligus aktor cerita menjadikan kehidupan manusia tak lepas dari cerita.

Mendekatkan kesukaan pada kewajiban, belajar di sekolah misalnya, akan membuat kewajiban tersebut dijalankan dengan senang hati dan tak terbebani. Akankah cerita menjadi jawaban atas kebutuhan pendidikan kita? Dongeng Membuat Anak Peka pada Kita Kita mengenal berbagai macam cerita, salah satunya adalah dongeng. Dongeng kerap disandingkan dengan kata satu ini, anak-anak. Wajar memang, sebab dunia mereka penuh dengan imajinasi dan rekaan. Belajar bersama anak dengan cara yang mereka suka membuat mereka nyaman. Jika nyaman dirasa maka pemahaman pun akan maksimal. Dengan membaca atau dibacakan dongeng, anak bisa memperoleh pelajaran tentang kehidupan dari konflik yang disajikan. Saling tolong-menolong, mudah memaafkan, dan menyayangi teman merupakan beberapa tema keseharian yang kerap diangkat dalam dongeng.

“Mimpi Yang Indah”, sebuah dongeng dari buku Dongeng Kancil 2 yang diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama dan diterbitkan di rubrik Fabelia Bee Magazine Edisi 39 Volume I, menceritakan Kancil yang menyesali perbuatannya sebab telah memperdaya hewan-hewan lain. Kancil berpikir bahwa tidak ada salahnya jika ia mempergunakan kecerdikannya untuk kebaikan sesama hewan. Baginya, otak cerdas saja tidak cukup sebagai modal untuk menjadi penguasa rimba seperti dikatakannya berikut, “Aku harus berpikir keras untuk mempersatukan dunia hewan. Tidak benar jika aku merasa berotak cerdas lalu menuntut untuk menjadi penguasa rimba. Kita harus dipimpin oleh tokoh yang kuat perkasa dan gagah berani. Tetapi gagah berani saja juga tidak cukup. Buktinya Harimau dan Gajah bisa kuperdaya,” (hal. 14). Pergulatan tokoh Kancil dengan dirinya sendiri memunculkan dialog pribadi yang didengar oleh burung-burung, “Kekuatan, keperkasaan, dan keberanian harus dipadukan dengan kecerdasan dan akal panjang. Ah, masih ada lagi, harus disertai hati yang tulus, senang bersahabat. Yang kuat melindungi yang lemah, yang lemah menghormati yang kuat.” (hal. 15) Perbincangan kancil dengan dirinya sendiri pada akhirnya mendapatkan pemecahan yang sederhana.

Bahwa kancil menempatkan setiap jenis hewan pada tempat yang sesuai dengan kemampuan masing-masing adalah solusi terbaik, seperti dituliskan di bawah ini, “Nah, aku sudah dapat ide. Hutan rimba ini memang harus diatur dan dikuasai bersama. Aku ingin Singa tetap menjadi raja rimba. Harimau jadi panglima, Gajah jadi bayangkara. Monyet-monyet itu jadi prajurit dan narakaya, para abdi. Dan aku? Aku pantas menjadi perdana menteri. Pikiranku dapat kusumbangkan. Lalu siput jadi apa? Oh, ya, ia bisa dijadikan prajurit kapal selam. Yah, sudah bulat pendapatku. Aku akan segera minta maaf kepada semua pihak yang pernah kusakiti hatinya. Lalu kita bentuk pemerintahan rimba raya yang aman dan damai.” (hal.15).

Dalam dunia realita anak, konflik semacam ini kerapkali muncul dalam urusan pertemanan. Bahwa yang kuat akan menindas dan yang lemah tertindas merupakan konsekuensi logis jika cara berteman “yang kuat boleh semaunya” dijadikan dasar. Dengan membaca ataupun mendengar dongeng semacam ini, anak mampu membawanya pada dunia realita, bahwa kita bisa berteman dengan siapa saja dan setiap anak adalah berharga dalam lingkungan pertemanannya. Kepekaan terhadap lingkungan menjadi penting dalam kehidupan sebab anak tidak mampu bertahan jika mengandalkan kemampuan kognitif belaka sebab kemampuan menghargai orang lain, berbagi pada sesama, dan menjalankan fungsi sebagai bagian dari kelompok membuat kehidupan anak akan berjalan dengan baik. Oleh sebab itu, boleh dikatakan bahwa dongeng mampu membuat anak peka pada kita, yaitu keseluruhan lingkungannya.

Dongeng Membuat Anak Peka pada Kata
Sebab dongeng adalah media komunikasi antara orangtua dan anak, idealnya yang berperan bukan hanya orangtua, melainkan keduanya. Orangtua berbicara, anak pun berbicara. Peran orangtua atau guru telah jamak kita ketahui, seperti mendongengkan. Sementara itu, peran anak adalah sebagai pendengar, penjawab pertanyaan, dan seringkali menjadi target amanat dongeng sesuai kehendak orang dewasa. Sebagai media pembelajaran, dongeng selayaknya tidak hanya dipergunakan sebagai bahan acuan jawaban atas pertanyaan pendongeng yang berhubungan dengan cerita. Anak juga bisa diajak untuk memperkirakan kelanjutan cerita. Kemampuan inilah yang saya sebut sebagai kemampuan prediksi. Kemampuan prediksi ini sangat penting untuk melatih kemampuan logika sebab dari sinilah anak berlatih berpikir tentang sebab-akibat, jika begini maka demikian.

Dengan mendengar ataupun membaca dongeng yang berkualitas dan berkuantitas baik sehingga menimbulkan pemahaman yang baik pula mampu menjadikan anak memiliki referensi kata yang cukup. Kosakata yang memadai disertai dengan kepekaan terhadap lingkungan dan kemampuan berpikir sebab-akibat membuat anak akan lebih mudah menuangkan ide ataupun pendapat dalam bentuk lisan, maupun tulisan. Berikut ini akan saya sampaikan beberapa ekspresi yang ditulis oleh beberapa murid At-Taqwa Qur’anic School Tingkat SD dalam bentuk puisi. Puisi berikut ini ditulis oleh Asiah (9 tahun) berjudul “Sekolahku”,
Sekolahku banyak pepohonannya Ada belimbing, mangga, dan lain-lain
Rekolahku tidak ada dindingnya
Walaupun tidak ada
Aku tidak kegerahan
Karena ada kipas anginnya

Melalui puisinya, Aku lirik merasa baik-baik saja dengan tiadanya dinding yang membuat panas matahari bisa langsung masuk ke ruang kelasnya sebab ada kipas angin, “Walaupun tidak ada/ Aku tidak kegerahan/ karena ada kipas angin/”. Kesederhanaan menjadi tema yang dapat kita tarik dari “Sekolahku” karya Asiah ini.

Penyampaian emosi yang baik tidak harus selalu berkenaan dengan hal yang menyenangkan sebab penyampaian resah bisa dikatakan baik jika disampaikan dengan cara yang tepat. Dalam puisinya, Afreen (7 tahun) menyampaikan keresahannya dengan judul yang sama, “Sekolahku”,
Kadang-kadang Aku berpikir Kenapa sih anak anak di sekolahku suka milih temen sama suka marah marah
Sebenarnya aku gak suka anak sombong.

Dengan memberi tema “Sekolahku” dalam tugas membuat puisi, akan diketahui tentang apa sebenarnya yang anak pikirkan, yang mereka resahkan, ataupun yang mereka inginkan.

Saat lemparan tema ini diterima oleh anak maka yang dikeluarkan mereka dalam tulisan semacam yang tertulis di atas merupakan fokus seorang anak dalam melihat Sekolahku berdasarkan cara pandang masing-masing. Melalui pengungkapan seperti ini, selain mampu mewadahi ekspresi anak juga dapat dijadikan sebagai wadah pengembangan kemampuan serta kreativitas anak. Jika yang dimasukkan adalah dongeng lantas yang keluar adalah puisi tidaklah menjadi soal.

Anak tidak harus juga membuat dongeng seperti yang dikonsumsinya sebab mereka bisa mengolah apa yang didapat dengan apa yang dimiliki menjadi sesuatu yang hakikatnya merupakan ekspresi ide. Yang menjadi penting di sini adalah bahwa komunikasi antara orangtua dan anak berjalan. Jika orangtua berbicara dengan dongeng, lantas anak menyahutnya dengan puisi itu sah-sah saja.

Kita Butuh Dongeng
Dongeng setidaknya mampu mendukung proses menuju tujuan mulia pendidikan Indonesia sebab media pembelajaran ini mampu melatih kita untuk menjadi lebih peka pada kehidupan. Semoga pendidikan Indonesia akan segera selesai dari penjelmaan kakunya dan kembali pada bentuk yang seharusnya, yang cair.

Senin, 16 Juli 2012

Pagi Menganga

Namanya Pagi. Sejak semalam, ia tak kunjung tidur sebab ada yang mengganjal dalam jiwanya. Ia sudah tak mampu lagi berbicara, bahkan mengeja. Mulutnya telah tercabik panas kemarin sore. Panasnya terlalu panas hingga ia tak lagi bisa mengecap. Lidahnya telah melepuh tergores saat panas itu datang. Jika ditanya sudah makan atau belum, ia menulis di selembar kertas, Aku telah kenyang dengan panas itu. Kala malam tiba, panas itu pun tak henyak dari mulutnya. Panas itu masih betah menetap di balik gigi-giginya hingga jika mulut Pagi tertutup maka mulutnya serasa hampir meledak. Terpaksa ia terus membuka mulutnya meski tak dapat berkata. # Sastra namanya. Ia teman Pagi. Ke mana-mana mereka selalu berdua. Tak pernah sekali pun aku lihat mereka berdua tak bersama. Aku tidak mengenal mereka berdua, tapi aku telah sering melihatnya. Yang terjadi antara aku dan mereka hanyalah sekadar sapa-sapa senyum. Ia tinggal di ujung blok perumahan dekat gerbang utama. Pertama aku tahu mereka, bukan mengenal, saat mereka jalan berdua di taman kota. Setiap kali kemalaman dari pulang kerja di akhir pekan kedua, aku melihat mereka duduk berdua di bangku panjang taman kota. Entah apa yang mereka lakukan. Aku hanya tahu, tak mengenal mereka. # Di suatu malam saat pulang kerja, tak sengaja aku seangkot dengan Sastra. Bukan berniat menguping, tapi Sastra berbicara dengan kadar yang bisa didengar oleh seluruh penumpang angkot kali ini. "Kamu sudah di sana?" Hening. "Mungkin lima belas menit lagi aku sampai." Hening. Telepon genggam itu ditutupnya. Sebab aku tak mengenal Sastra, aku hanya sapa-sapa senyum saja dengan dia. Itupun sekali dua kali saja selama di angkot hingga ia minta turun pada sopir angkot saat tiba di taman kota. # Tak sengaja aku telah menghitungnya, tak pernah kujumpai mereka yang sedang berdua di taman kota saat pekan kedua. Ini sudah yang kedua kalinya. Ini bukan urusanku, tapi aku telah tahu. # "Sepulang kantor tadi, aku melihat seorang bapak tua yang menjual cerita di pinggir jalan tentang rasa" "Dengan angka limaratus, Pak Tua telah sepakat memberikan cerita itu padaku dan berjanji tak akan memberikannya pada siapapun sebab ia telah menjualnya padaku." "Bagaimana dengan Pak Tua itu sekarang?" "Pak Tua itu langsung pergi dengan gerobaknya sebab cerita yang dijualnya padaku itu adalah jualan terakhirnya." "Boleh aku membuka bungkusan cerita itu?" "Boleh saja." Sastra menyodorkan bungkusan itu pada Pagi yang sedari tadi penasaran dengan isinya. Pagi tak langsung membuka meski ia begitu penasaran pada bungkusan itu. Ia lebih memilih untuk berbincang dengan Sastra sebab ini sudah hampir tengah malam yang artinya mereka berdua sudah harus pulang sebentar lagi. # 15.15 Diambilnya cangkir yang tergantung di rak putih itu dan ditaruhnya satu kantong teh beraroma bunga. Ia memencet tombol merah sehingga keluarlah air panas dari mulut dispenser dekat meja kerjanya. Sengaja tidak ia tuangkan gula. Ditemani teh beraroma bunga, Pagi mengambil bungkusan Sastra yang diberikannya semalam. Lambat-lambat ia mengeja isi bungkusan itu. Tak ada suara ataupun kata yang keluar sejak matanya menyapu kata pertama. Ia mengeja persis seperti waktu kecil bertemu dengan kata. Diperhatikannya dengan sebaik-baiknya. Tak ada jeda pandang pada selain kertas di depannya.Selama ini tak pernah sekalipun Pagi tak menggubris saat, Siti, bibi di rumahnya memintanya untuk me-SMS suaminya bahwa Siti harus pulang terlambat sebab cucian di rumah Neng masih banyak yang belum digosok. Sudah lima kali Siti menepuk pundak Pagi, namun ia tak bergerak. Kepalanya tertunduk, tampak ia sedang mengeja kertas di depannya. Siti nampak semakin takut dan bingung sebab Pagi tak juga menyahut bicaranya. Siti sudah tak lagi memikirkan tentang kepulangannya yang terlambat. Ia berkata, "Neng ini kenapa?". Siti semakin terkaget saat Pagi menoleh ke arahnya. Dilihatnya mata dan mulut Pagi yang berkobaran. Persis api, tapi bukan api. Tak berasap. Sejak sore itu, Pagi menganga. Depok, 12 Juli 2012

Jumat, 06 April 2012

Catatan 6 April 2012

“Jadinya aku berangkat jam berapa malem ini, Kak?”
“Jam 7 lebih. Habis maghrib udah harus di stasiun.”
“Kelas?”
“Bisnis.”
“Haa, bisnis? Eeeng. Emang eksekutif berapa?”
“Bukan masalah uangnya, Nil.”

Nyampe di stasiun.
“Bisa tuker tiket kan?”
“Nggak mau. Aku nggak mau nukerin tiketnya. Dan tiket ini nggak boleh dituker. Aku pegang aja.”
“Dih, nyebelin. Kan panas di kereta bisnis, nggak ada AC-nya.”
“Ada kipasnya. Nggak ada tuker tiket. Titik.”

Dia menggenggam tiket. Aku tak bisa mengambilnya untuk ditukarkan. Kereta datang. Aku diantar ke dalam gerbong. Duduk di pinggir jendela . Dia pulang. Malam ini aku berangkat dari Cepu untuk belajar esok hari di Jakarta.

Jika bisa memilih, aku tidak akan memilih kereta untuk perjalanan ini. Aku benci kereta. Bagaimana tidak? Pernah suatu kali saat SD, tepat di Pekalongan, aku berada di dalam gerbong dan seluruh kaca kereta yang sedang berjalan itu dilempari batu oleh Bonek.

Keterpaksaan ini bukan tanpa alasan. Aku tak bisa berangkat siang dengan bus untuk kembali ke Jakarta. Ada hal yang harus diselesaikan. Masalah ijazahku yang memakai foto ijazah berjilbab di sana. Selesailah urusan itu dengan akhir aku membuat surat pernyataan bermeterai. Ini konyol.

#
“Kamu nggak boleh takut apapun kalo kamu benar. Mau kepala sekolah, Kek. Guru, Kek. Temen, Kek. Jangan mau diatur-atur mereka! Kalo ada yang salah, bilang aja salah. Pokoknya kalo benar, nggak usah takut.” Jelas aku masih ingat dia menyampaikannya di jalanan kecil antara kamar kulon dan jalan menuju pawon, tepat dekat lemari. Kita berdua duduk di sana, siang hari.

Pembicaraan itu dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan seputar OSIS. Aku ceritakan seadanya organisasi di sekolahku itu. Dia berpesan untuk tidak tidur siang sepulang sekolah sebab akan repot menyesuaikan jam biologis jika nanti aku menjadi aktivis di kampus saat berkuliah nanti. Lalu, kamu melanjutkan dengan istilah sosialisme, nasionalisme, dan kawan-kawannya. Krik krik krik. Tau kamu? Aku nggak begitu paham saat itu, Kapten!

#
Senin pagi menjadi hari yang selalu menyenangkan saat aku kelas 2 SMA. Aku tidak menyapu rumah dan halaman depan. Bukan aku tak mau mengerjakannya, melainkan sudah ada yang membereskan semua itu. Dan dipastikan aku tidak telat tiba di sekolah karena diantar, sedangkan biasanya aku harus berdesakan dengan teman-teman di batas pintu angkutan. Kakakku pertama selalu berada di rumah setiap Senin pagi. Dia baru akan kembali ke Surabaya siang nanti, tidak ada kelas di Senin pagi. Dia mengerjakan semua itu.

#
Hari ini bukan Senin, tapi tidak terlambat datang ke sekolah. Bukan karena diantar, melainkan karena ini hari libur. Nggak perlu dihitung-hitung usiamu sekarang berapa. Yang jelas kamu paling tua di antara kita berlima. Barakallahu fii umrik, Kak!

Depok, 6 April 2012

Jumat, 02 Maret 2012

Konferensi Mulut

para mulut bersepakat untuk bertemu dalam konferensi mulut
mereka berencana memperbincangkan negeri yang sudah di bibir maut
sebab telah bersepakat, akhirnya mereka benar-benar bertemu dalam konferensi mulut.

mulut-mulut dari kota satu bertemu dengan mulut-mulut kota lain
konferensi mulut kali ini berwarna-warni sekali,
ada mulut dengan bibir bergincu,
ada mulut dengan bibir yang biasa ditenggeri rokok jisamsu,
ada juga bibir yang biasa, tak tersapu rokok, pun gincu.

hampir setiap mulut ingin mengatakan apa yang ada di kepalanya
entah karena ingin menunjukkan intelektual yang akhirnya malah terkesan emosional, mulut-mulut itu tentulah sedang membual.

pertemuan mulut pun menjadi seru, seperti tahun-tahun lalu
mulutnya, mulut mereka, atau mungkin mulut kita juga begitu menikmati konferensi mulut, tak ubahnya masa lalu.

di suatu titik waktu, sebuah mulut berseru, "permasalahan ini tak mungkin bisa kita selesaikan dalam singkat waktu. aku usul untuk kita buat pertemuan yang lebih seru. silakan diluangkan waktu."
"pertemuan macam apa lagi yang akan kita hadiri jika terus-terusan begini dan begitu?"

cekcok mulut-mulut itu tak berkesudahan
hingga mereka bersepakat meluangkan waktu untuk membuat lagi sebuah pertemuan.

setan datang dengan bahak-bahak tawanya
mendatangi para mulut yang telah nanar
dan berbisik serempak pada mulut mereka,
"buatlah yang lebih besar. KMB, terdengar seperti yang dilakukan oleh orang-orang dahulu, bukan? Ya, itu pasti akan seru sekali: Konferensi Mulut Besar."
"ide cemerlang, paduka besar."

Jumat, 12 Agustus 2011

Sang Penandai

Jim, lelaki pemain biola itu tak berani menjemput Nayla yang telah lama menungguinya di balik tembok istana kota. Jim terlalu pengecut untuk membuktikan cintanya. Dia tak mengerti bahwa sesungguhnya cinta adalah kerja-kerja yang penuh dengan pengorbanan. Nayla telah menunjukkan pengorbanannya yang sudah di luar logika. Dia memberontak pada keluarganya dengan meminum racun sebab dia tak sudi berpakaian pengantin jika bukan untuk Jim. Nayla tak mau membersamai lelaki sepanjang sehari jika itu bukan Jim, kekasihnya. Nayla tak mau menikah dengan pria yang tak dicintainya. Titik.


Nayla dan Jim bertemu peratma kali saat Jim memainkan biola di pernikahan Marguiretta. Usai memainkannya, Jim terkesiap melihat gadis itu mendekatinya, dan berkata dalam bahasa asing yang tak ia mengerti. Dia tidak akan mengerti karena bersekolah saja ia tak pernah. Kurang lebih gadis itu berkata padanya, “Mainkan satu lagu lagi untukku.” Tak lama, Jim menggesek biolanya kembali. Memainkan satu lagu lagi untuk Nayla.



Setiap hari mereka bermain di taman kota. Jim memainkan biola untuk Nayla. Dan Nayla bercerita apa saja. Jim mendengarkannya. Begitu terus setiap hari. Mereka menikmati keberduaan itu. Orang-orang di taman kota bahkan sudah biasa melihatnya setiap hari di taman kota.



Kini, Nayla sudah tiada. Jim dengan kepengecutan yang masih lekat lebur dalam jiwanya ingin menyusul kekasih hatinya dengan meminum racun yang kini sudah ada di tangannya. Jim terlalu banyak berpikir. Berpikir terlalu panjang untuk menjemput kekasihnya ke alam sana.



Dunia menunggu kisahmu, Jim. Dunia membutuhkan kisahmu. Dunia tak pantas lagi tercekoki kisah cinta sehidup semati yang dipercayai masyarakat seperti kisah denting jam dinding kota di kapel tua itu. Kisah itu bohong besar.



“Pecinta sejati tak akan pernah menyerah sebelum kematian itu sendiri datang menjemput dirinya.” Begitulah Sang Penandai berkata pada Jim.



Jim harus meneruskan hidupnya, tanpa Nayla di sampingnya. Jim harus terus berjalan tanpa Nayla mengiringinya. Keberangkatan Armada Kota Terapung menjadi wadah Jim untuk meneruskan perjalanannya. Sekali lagi, tanpa Nayla. Kelasi yang Menangis, itulah sebuatan bagi Jim. Sungguh pantas ia disebut demikian. Ia terisak-isak sendiri meratap pada tembok kapal. Menangis tersedu-sedu saat malam hari. Berbulan-bulan. Saat teringat Nayla, itulah yang membuatnya demikian. Mengingat Nayla adalah kepahitan hidup yang harus ia rasai saat ini.



Berbagai peristiwa ia alami dalam ekspedisi yang dilakukan Armada Kota Terapung. Bertarung dengan perompak dan menghadapi badai besar hanyalah sebagian peristiwa yang dialaminya, hingga ia bertemu dengan gadis yang sungguh mirip dengan Nayla, kekasihnya dulu. Tetap, hal yang paling pahit adalah saat teringat Nayla.



Ekspedisi Armada Kota Terapung begitu mengesankan. Berangsur-angsur dalam perjalanan itu kepahitan luka hati Jim membaik. Memang benar, perjalanan panjang membuat kita membaik dalam menghadapi hidup. Hingga tibalah mereka pada daratan yang benar-benar mereka tuju. Sebuah tempat yang indah, tergugus lima pulau di sana dan kaya akan sumber daya alamnya. Di sanalah Jim mengakhiri ceritanya. Ia hampir mati setelah berusaha terseok-seok, berjalan, dan kemudian berlari hingga ke sini. Benar, “Pecinta sejati tak akan pernah menyerah sebelum kematian itu sendiri datang menjemput dirinya.” Dan, kini Nayla berada di sampingnya.



Kau telah memberi satu kisah pada dunia tentang cinta sejati. Bukan seperti kisah bohong di kapel tua itu. Terima kasih, Jim.



Depok, 13 Agustus 2011

usai membaca Kisah Sang Penandai karya Tere Liye

Senin, 25 Juli 2011

Melihat Langsung

Melihat pertunjukan seni secara langsung adalah kenikmatan yang lebih menarik hati jika dibandingkan dengan menontonnya melalui televisi ataupun rekaman sejenisnya. Semenjak berada di fakultas tempat menimba ilmu saat ini, aku semakin tertarik dengan kesenian. Aku menyukai musik, tari, drama, bahkan orasi sendiri adalah seni. Ya, sebutlah orasi sebagai seni jalanan karena selalu terkatakan di jalanan.

Bukankah kau akan lebih tertarik berada di pinggir jalan atau di dalam barisan saat ada orasi daripada hanya menontonnya di rumah dari sekotak televisi? Jika tidak, ya sudah. Itu tidak jadi persoalan. Sama seperti saat aku menonton konser-konser Iwan Fals di televisi. Aku suka dia dan dulu, waktu SMA, aku memiliki mimpi melihat dia bernyanyi langsung. Dan, sebab berita dari temanku, aku tahu engkau akan mengunjungi UI. Lalu, kau berpesan, “Tanam, tanam, tanam. Oi. Siram siram siram.” Untungnya, kubawa payung waktu itu. Jadilah nyanyianmu mengiringi hujan dan mengiriku di bawah payungku.

Sewaktu sekolah, beberapa puisi di buku materi pelajaran Bahasa Indonesia tertera nama-nama pemuisi terkenal, seperti Taufik Ismail, WS Rendra, D Zawawi Imron, Agus R. Sarjono, dan Sapardi Djoko Damono. Juga Hamsad Rangkuti sebagai cerpenis keren. Dan, sesungguhnya mereka dekat dengan kita, di sini, di dalam hati kita yang mencintai seni. Sangat senang mendengarkan wejangan para orang keren itu saat celotehan mereka keluar menuju ujung mikrofon. Membacakan puisi di atas panggung gedung 9 FIB UI.

Om Rendra, waktu itu aku melihat engkau pucat sekali. Saya baru tau kalo Om sudah sakit cukup parah saat itu. Om Rendra, para pengamen itu datang, membela-belakan diri masuk ke gedung 9 untuk menyapamu. Berkenalan denganmu. Mereka tak mau duduk sejajar di kursi di sampingmu. Mereka duduk di bawah samping kanan dan kiri mengerumunimu. Bukankah itu sesuatu yang patut kuiri darimu? Ya, Om Rendra, aku hanya sedikit tahu, mungkin, itu bagian dari cara cermin ikhlasmu.

Pak Taufik, waktu di SMA dulu, guru Bahasa Indonesiaku memajang fotonya yang di sana ada Bapak di sampingnya. Tahukah kau, Bapak? Aku juga ingin. Ingin berbincang denganmu. Menatapmu dari dekat. Mendengar dan melihat langsung Bapak berbicara. Dan, terima kasih, Pak. Engkau sudi mendengarkan puisiku di gedung 4 waktu itu, waktu anak-anak Teater Sastra mengundangmu. Anak Tesas menawariku untuk membacakan puisiku, aku maumau saja, tanpa rasa malu-malu. Itu karena aku ingin mengejamu melalui puisiku. Dan, sungguh, engkau (masih saja) memukau dalam membaca puisi. Aku tahu itu dari hati. Engkau tertawa. Engkau marah. Dan engkau pun menangis. Menangis. Menangis hingga kau pun keluarkan sapu tangan dari saku celanamu. Kami tahu, engkau menagisi negeri ini.

Di hari itu yang berbeda padamu adalah pada cara kau berada di panggung. Di akhir tahun 2007, engkau kuat berdiri dan membaca berlembar-lembar puisimu yang selalu membuat kami kelu, prihatin atas hujaman-hujaman pada negeri ini oleh palu-palu. 19 Mei 2011, malam itu, kau duduk dan membaca lembaran-lembaran puisimu. Kami tahu engkau mulai menjadi senja. Seperti biasa, engkau mengambilnya sendiri dari map yang juga kau bawa sendiri. “The Election Channel!” Gila, itu sungguh sindiran hebat untuk Metro TV dan kami semua tertawa di ruang itu, “Apa mereka pikir pemilu ini diadakan di California? Pake bahasa Inggris segala!

Agus R. Sarjono, aku sangat menyukai puisimu yang berjudul “Memperlihatkan yang Palsu”. Aku tau dari buku kumpulan sajak yang diberikan kakakku saat aku masih di tahun pertama kuliah. Aku membacanya dan aku, bahkan, pernah menghafalnya. Aku bacakan puisi itu pada teman-temanku saat perjalanan ke Sukabumi, saat menuju tempat baksos di pelosok desa itu. Om Agus, semoga kami bisa menjadi murid dan guru tanpa sapaan palsu karena kami tak ingin menjadi yang palsu. Dan, kau membawakan itu di atas panggung gedung 9 dan tentunya aku menyukai itu 

Kitaro. Aku tahu namamu sejak SMA. Saat aku meminjam mp3 dari kakakku. Oke, air, angin, udara. Alam, adalah inspirasi bagimu. Satu hal yang ingin kusampaikan padamu, “Kau rendah hati sekali.” Terlihat bagaimana engkau berjalan, engkau menatap, engkau berbicara, engkau memainkan grand piano itu. Kau memang tak setinggi rektorat UI, Gumilar. Tapi, engkau memiliki jiwa yang luas, seperti luasnya alam yang menginspirasimu. Aku baru tahu bahwa engkau tak bisa membaca not balok. Bukankah itu suatu yang patut kuiri? Ya sudahlah, setidaknya, aku harus menirumu untuk berendah hati. Kau begitu antusias melihat pertunjukan kolintang yang dimainkan oleh sekelompok pemuda di gedung 9 waktu itu. Bahkan, kau mengajaknya untuk rekaman bersama. Bukankah itu sebuah contoh kerendahhatian seorang yang besar? Meski ada yang bilang, musikmu sudah terlalu pasaran, aku masih menikmatinya kok, Kitaro  Rambut panjangmu lucu  Aku memiliki beberapa instrumen yang telah kau buat, tapi aku tak bosan mendengarkan rekaman permainanmu saat di gedung 9 dari mp3ku 

Begitu juga malam ini, Tanjidor, samrah, dan silat Betawi memukaukan Setu Babakan, menyenangkan penonton, dan tentunya menyenangkan hati saya  Sangat senang juga karena Sabtu lalu saya melihat dan mendengar langsung pembacaan Hikayat Saman oleh seorang ibu di rumah Bang Yahya Andi Saputra, di kawasan Cilandak Selatan, Jakarta Selatan.

Karena memang yang pertama dan rekapannya adalah beda. Kesempatan untuk menjadi saksi langsung adalah kesempatan yang sungguh menyenangkan :)