“Jadinya aku berangkat jam berapa malem ini, Kak?”
“Jam 7 lebih. Habis maghrib udah harus di stasiun.”
“Kelas?”
“Bisnis.”
“Haa, bisnis? Eeeng. Emang eksekutif berapa?”
“Bukan masalah uangnya, Nil.”
Nyampe di stasiun.
“Bisa tuker tiket kan?”
“Nggak mau. Aku nggak mau nukerin tiketnya. Dan tiket ini nggak boleh dituker. Aku pegang aja.”
“Dih, nyebelin. Kan panas di kereta bisnis, nggak ada AC-nya.”
“Ada kipasnya. Nggak ada tuker tiket. Titik.”
Dia menggenggam tiket. Aku tak bisa mengambilnya untuk ditukarkan. Kereta datang. Aku diantar ke dalam gerbong. Duduk di pinggir jendela . Dia pulang. Malam ini aku berangkat dari Cepu untuk belajar esok hari di Jakarta.
Jika bisa memilih, aku tidak akan memilih kereta untuk perjalanan ini. Aku benci kereta. Bagaimana tidak? Pernah suatu kali saat SD, tepat di Pekalongan, aku berada di dalam gerbong dan seluruh kaca kereta yang sedang berjalan itu dilempari batu oleh Bonek.
Keterpaksaan ini bukan tanpa alasan. Aku tak bisa berangkat siang dengan bus untuk kembali ke Jakarta. Ada hal yang harus diselesaikan. Masalah ijazahku yang memakai foto ijazah berjilbab di sana. Selesailah urusan itu dengan akhir aku membuat surat pernyataan bermeterai. Ini konyol.
#
“Kamu nggak boleh takut apapun kalo kamu benar. Mau kepala sekolah, Kek. Guru, Kek. Temen, Kek. Jangan mau diatur-atur mereka! Kalo ada yang salah, bilang aja salah. Pokoknya kalo benar, nggak usah takut.” Jelas aku masih ingat dia menyampaikannya di jalanan kecil antara kamar kulon dan jalan menuju pawon, tepat dekat lemari. Kita berdua duduk di sana, siang hari.
Pembicaraan itu dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan seputar OSIS. Aku ceritakan seadanya organisasi di sekolahku itu. Dia berpesan untuk tidak tidur siang sepulang sekolah sebab akan repot menyesuaikan jam biologis jika nanti aku menjadi aktivis di kampus saat berkuliah nanti. Lalu, kamu melanjutkan dengan istilah sosialisme, nasionalisme, dan kawan-kawannya. Krik krik krik. Tau kamu? Aku nggak begitu paham saat itu, Kapten!
#
Senin pagi menjadi hari yang selalu menyenangkan saat aku kelas 2 SMA. Aku tidak menyapu rumah dan halaman depan. Bukan aku tak mau mengerjakannya, melainkan sudah ada yang membereskan semua itu. Dan dipastikan aku tidak telat tiba di sekolah karena diantar, sedangkan biasanya aku harus berdesakan dengan teman-teman di batas pintu angkutan. Kakakku pertama selalu berada di rumah setiap Senin pagi. Dia baru akan kembali ke Surabaya siang nanti, tidak ada kelas di Senin pagi. Dia mengerjakan semua itu.
#
Hari ini bukan Senin, tapi tidak terlambat datang ke sekolah. Bukan karena diantar, melainkan karena ini hari libur. Nggak perlu dihitung-hitung usiamu sekarang berapa. Yang jelas kamu paling tua di antara kita berlima. Barakallahu fii umrik, Kak!
Depok, 6 April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar