Melihat pertunjukan seni secara langsung adalah kenikmatan yang lebih menarik hati jika dibandingkan dengan menontonnya melalui televisi ataupun rekaman sejenisnya. Semenjak berada di fakultas tempat menimba ilmu saat ini, aku semakin tertarik dengan kesenian. Aku menyukai musik, tari, drama, bahkan orasi sendiri adalah seni. Ya, sebutlah orasi sebagai seni jalanan karena selalu terkatakan di jalanan.
Bukankah kau akan lebih tertarik berada di pinggir jalan atau di dalam barisan saat ada orasi daripada hanya menontonnya di rumah dari sekotak televisi? Jika tidak, ya sudah. Itu tidak jadi persoalan. Sama seperti saat aku menonton konser-konser Iwan Fals di televisi. Aku suka dia dan dulu, waktu SMA, aku memiliki mimpi melihat dia bernyanyi langsung. Dan, sebab berita dari temanku, aku tahu engkau akan mengunjungi UI. Lalu, kau berpesan, “Tanam, tanam, tanam. Oi. Siram siram siram.” Untungnya, kubawa payung waktu itu. Jadilah nyanyianmu mengiringi hujan dan mengiriku di bawah payungku.
Sewaktu sekolah, beberapa puisi di buku materi pelajaran Bahasa Indonesia tertera nama-nama pemuisi terkenal, seperti Taufik Ismail, WS Rendra, D Zawawi Imron, Agus R. Sarjono, dan Sapardi Djoko Damono. Juga Hamsad Rangkuti sebagai cerpenis keren. Dan, sesungguhnya mereka dekat dengan kita, di sini, di dalam hati kita yang mencintai seni. Sangat senang mendengarkan wejangan para orang keren itu saat celotehan mereka keluar menuju ujung mikrofon. Membacakan puisi di atas panggung gedung 9 FIB UI.
Om Rendra, waktu itu aku melihat engkau pucat sekali. Saya baru tau kalo Om sudah sakit cukup parah saat itu. Om Rendra, para pengamen itu datang, membela-belakan diri masuk ke gedung 9 untuk menyapamu. Berkenalan denganmu. Mereka tak mau duduk sejajar di kursi di sampingmu. Mereka duduk di bawah samping kanan dan kiri mengerumunimu. Bukankah itu sesuatu yang patut kuiri darimu? Ya, Om Rendra, aku hanya sedikit tahu, mungkin, itu bagian dari cara cermin ikhlasmu.
Pak Taufik, waktu di SMA dulu, guru Bahasa Indonesiaku memajang fotonya yang di sana ada Bapak di sampingnya. Tahukah kau, Bapak? Aku juga ingin. Ingin berbincang denganmu. Menatapmu dari dekat. Mendengar dan melihat langsung Bapak berbicara. Dan, terima kasih, Pak. Engkau sudi mendengarkan puisiku di gedung 4 waktu itu, waktu anak-anak Teater Sastra mengundangmu. Anak Tesas menawariku untuk membacakan puisiku, aku maumau saja, tanpa rasa malu-malu. Itu karena aku ingin mengejamu melalui puisiku. Dan, sungguh, engkau (masih saja) memukau dalam membaca puisi. Aku tahu itu dari hati. Engkau tertawa. Engkau marah. Dan engkau pun menangis. Menangis. Menangis hingga kau pun keluarkan sapu tangan dari saku celanamu. Kami tahu, engkau menagisi negeri ini.
Di hari itu yang berbeda padamu adalah pada cara kau berada di panggung. Di akhir tahun 2007, engkau kuat berdiri dan membaca berlembar-lembar puisimu yang selalu membuat kami kelu, prihatin atas hujaman-hujaman pada negeri ini oleh palu-palu. 19 Mei 2011, malam itu, kau duduk dan membaca lembaran-lembaran puisimu. Kami tahu engkau mulai menjadi senja. Seperti biasa, engkau mengambilnya sendiri dari map yang juga kau bawa sendiri. “The Election Channel!” Gila, itu sungguh sindiran hebat untuk Metro TV dan kami semua tertawa di ruang itu, “Apa mereka pikir pemilu ini diadakan di California? Pake bahasa Inggris segala!”
Agus R. Sarjono, aku sangat menyukai puisimu yang berjudul “Memperlihatkan yang Palsu”. Aku tau dari buku kumpulan sajak yang diberikan kakakku saat aku masih di tahun pertama kuliah. Aku membacanya dan aku, bahkan, pernah menghafalnya. Aku bacakan puisi itu pada teman-temanku saat perjalanan ke Sukabumi, saat menuju tempat baksos di pelosok desa itu. Om Agus, semoga kami bisa menjadi murid dan guru tanpa sapaan palsu karena kami tak ingin menjadi yang palsu. Dan, kau membawakan itu di atas panggung gedung 9 dan tentunya aku menyukai itu
Kitaro. Aku tahu namamu sejak SMA. Saat aku meminjam mp3 dari kakakku. Oke, air, angin, udara. Alam, adalah inspirasi bagimu. Satu hal yang ingin kusampaikan padamu, “Kau rendah hati sekali.” Terlihat bagaimana engkau berjalan, engkau menatap, engkau berbicara, engkau memainkan grand piano itu. Kau memang tak setinggi rektorat UI, Gumilar. Tapi, engkau memiliki jiwa yang luas, seperti luasnya alam yang menginspirasimu. Aku baru tahu bahwa engkau tak bisa membaca not balok. Bukankah itu suatu yang patut kuiri? Ya sudahlah, setidaknya, aku harus menirumu untuk berendah hati. Kau begitu antusias melihat pertunjukan kolintang yang dimainkan oleh sekelompok pemuda di gedung 9 waktu itu. Bahkan, kau mengajaknya untuk rekaman bersama. Bukankah itu sebuah contoh kerendahhatian seorang yang besar? Meski ada yang bilang, musikmu sudah terlalu pasaran, aku masih menikmatinya kok, Kitaro Rambut panjangmu lucu Aku memiliki beberapa instrumen yang telah kau buat, tapi aku tak bosan mendengarkan rekaman permainanmu saat di gedung 9 dari mp3ku
Begitu juga malam ini, Tanjidor, samrah, dan silat Betawi memukaukan Setu Babakan, menyenangkan penonton, dan tentunya menyenangkan hati saya Sangat senang juga karena Sabtu lalu saya melihat dan mendengar langsung pembacaan Hikayat Saman oleh seorang ibu di rumah Bang Yahya Andi Saputra, di kawasan Cilandak Selatan, Jakarta Selatan.
Karena memang yang pertama dan rekapannya adalah beda. Kesempatan untuk menjadi saksi langsung adalah kesempatan yang sungguh menyenangkan :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar