(Disampaikan dalam Seminar "Dongeng sebagai Media Komunikasi antara Orangtua dan Anak" di Auditorium Gedung I FIB UI, Senin, 29 Oktober 2012)
Dunia pendidikan Indonesia seringkali menjelma kaku sebab terlalu banyak pembelajaran yang disajikan dengan pencekokan teori dari pengajar terhadap murid. Cara belajar yang searah, guru menjelaskan; guru memberi pertanyaan; lalu, murid menjawab pertanyaan adalah alur biasa yang jamak dipraktikkan. Kejamakan ini terus berlanjut hingga memunculkan kebosanan.
Ketidakluwesan cara demikian mungkin berhasil menciptakan anak yang bisa menjawab soal, namun tidak untuk menyikapi keadaan sosial. Mengisi LKS (Lembar Kerja Siswa) di sekolah, mengerjakan PR di rumah dengan mengisi LKS, lalu mencocokkan isian LKS yang sudah dikerjakan menjadi rutinitas yang mau-tidak mau harus mereka jalani. Cara orang dewasa mendidik anak membuat mereka menjadi demikian. Terpaku pada kemampuan kognitif belaka adalah kesalahan besar orang dewasa dalam menilai anak.
Indonesia bukan tidak tahu arahan pendidikan kita mau ke mana. Telah disebutkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional dalam UU No. 20 tahun 2003 bab II pasal 3, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tujuan baik patut disayangkan jika cara menujunya tidak baik. Jika cara menujunya tidak baik maka konsekuensi logisnya adalah ketidaksempunaan hasil yang dicapai. Oleh karena itu, perlu adanya cara yang baik untuk menjalankan ataupun mendukungnya. Dalam konteks ini, pembelajaran harus dilakukan dengan baik. Bahwa yang disebut belajar adalah setiap kegiatan yang mampu menghantarkan seseorang pada kesiapan hidup yang mencakup kemampuan akademik, maupun non-akademik perlu kita sepakati bersama.
Kehidupan adalah sebenar-benarnya lapangan belajar kita. Kita mendapatkannya dari sana dan akan mengamalkannya di sana. Dalam kehidupan, manusia bisa, bahkan suka bercerita. Manusia juga suka mendengar cerita. Sebab kita adalah pembuat yang juga sekaligus aktor cerita menjadikan kehidupan manusia tak lepas dari cerita.
Mendekatkan kesukaan pada kewajiban, belajar di sekolah misalnya, akan membuat kewajiban tersebut dijalankan dengan senang hati dan tak terbebani. Akankah cerita menjadi jawaban atas kebutuhan pendidikan kita? Dongeng Membuat Anak Peka pada Kita Kita mengenal berbagai macam cerita, salah satunya adalah dongeng. Dongeng kerap disandingkan dengan kata satu ini, anak-anak. Wajar memang, sebab dunia mereka penuh dengan imajinasi dan rekaan. Belajar bersama anak dengan cara yang mereka suka membuat mereka nyaman. Jika nyaman dirasa maka pemahaman pun akan maksimal. Dengan membaca atau dibacakan dongeng, anak bisa memperoleh pelajaran tentang kehidupan dari konflik yang disajikan. Saling tolong-menolong, mudah memaafkan, dan menyayangi teman merupakan beberapa tema keseharian yang kerap diangkat dalam dongeng.
“Mimpi Yang Indah”, sebuah dongeng dari buku Dongeng Kancil 2 yang diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama dan diterbitkan di rubrik Fabelia Bee Magazine Edisi 39 Volume I, menceritakan Kancil yang menyesali perbuatannya sebab telah memperdaya hewan-hewan lain. Kancil berpikir bahwa tidak ada salahnya jika ia mempergunakan kecerdikannya untuk kebaikan sesama hewan. Baginya, otak cerdas saja tidak cukup sebagai modal untuk menjadi penguasa rimba seperti dikatakannya berikut, “Aku harus berpikir keras untuk mempersatukan dunia hewan. Tidak benar jika aku merasa berotak cerdas lalu menuntut untuk menjadi penguasa rimba. Kita harus dipimpin oleh tokoh yang kuat perkasa dan gagah berani. Tetapi gagah berani saja juga tidak cukup. Buktinya Harimau dan Gajah bisa kuperdaya,” (hal. 14). Pergulatan tokoh Kancil dengan dirinya sendiri memunculkan dialog pribadi yang didengar oleh burung-burung, “Kekuatan, keperkasaan, dan keberanian harus dipadukan dengan kecerdasan dan akal panjang. Ah, masih ada lagi, harus disertai hati yang tulus, senang bersahabat. Yang kuat melindungi yang lemah, yang lemah menghormati yang kuat.” (hal. 15) Perbincangan kancil dengan dirinya sendiri pada akhirnya mendapatkan pemecahan yang sederhana.
Bahwa kancil menempatkan setiap jenis hewan pada tempat yang sesuai dengan kemampuan masing-masing adalah solusi terbaik, seperti dituliskan di bawah ini, “Nah, aku sudah dapat ide. Hutan rimba ini memang harus diatur dan dikuasai bersama. Aku ingin Singa tetap menjadi raja rimba. Harimau jadi panglima, Gajah jadi bayangkara. Monyet-monyet itu jadi prajurit dan narakaya, para abdi. Dan aku? Aku pantas menjadi perdana menteri. Pikiranku dapat kusumbangkan. Lalu siput jadi apa? Oh, ya, ia bisa dijadikan prajurit kapal selam. Yah, sudah bulat pendapatku. Aku akan segera minta maaf kepada semua pihak yang pernah kusakiti hatinya. Lalu kita bentuk pemerintahan rimba raya yang aman dan damai.” (hal.15).
Dalam dunia realita anak, konflik semacam ini kerapkali muncul dalam urusan pertemanan. Bahwa yang kuat akan menindas dan yang lemah tertindas merupakan konsekuensi logis jika cara berteman “yang kuat boleh semaunya” dijadikan dasar. Dengan membaca ataupun mendengar dongeng semacam ini, anak mampu membawanya pada dunia realita, bahwa kita bisa berteman dengan siapa saja dan setiap anak adalah berharga dalam lingkungan pertemanannya. Kepekaan terhadap lingkungan menjadi penting dalam kehidupan sebab anak tidak mampu bertahan jika mengandalkan kemampuan kognitif belaka sebab kemampuan menghargai orang lain, berbagi pada sesama, dan menjalankan fungsi sebagai bagian dari kelompok membuat kehidupan anak akan berjalan dengan baik. Oleh sebab itu, boleh dikatakan bahwa dongeng mampu membuat anak peka pada kita, yaitu keseluruhan lingkungannya.
Dongeng Membuat Anak Peka pada Kata
Sebab dongeng adalah media komunikasi antara orangtua dan anak, idealnya yang berperan bukan hanya orangtua, melainkan keduanya. Orangtua berbicara, anak pun berbicara. Peran orangtua atau guru telah jamak kita ketahui, seperti mendongengkan. Sementara itu, peran anak adalah sebagai pendengar, penjawab pertanyaan, dan seringkali menjadi target amanat dongeng sesuai kehendak orang dewasa. Sebagai media pembelajaran, dongeng selayaknya tidak hanya dipergunakan sebagai bahan acuan jawaban atas pertanyaan pendongeng yang berhubungan dengan cerita. Anak juga bisa diajak untuk memperkirakan kelanjutan cerita. Kemampuan inilah yang saya sebut sebagai kemampuan prediksi. Kemampuan prediksi ini sangat penting untuk melatih kemampuan logika sebab dari sinilah anak berlatih berpikir tentang sebab-akibat, jika begini maka demikian.
Dengan mendengar ataupun membaca dongeng yang berkualitas dan berkuantitas baik sehingga menimbulkan pemahaman yang baik pula mampu menjadikan anak memiliki referensi kata yang cukup. Kosakata yang memadai disertai dengan kepekaan terhadap lingkungan dan kemampuan berpikir sebab-akibat membuat anak akan lebih mudah menuangkan ide ataupun pendapat dalam bentuk lisan, maupun tulisan. Berikut ini akan saya sampaikan beberapa ekspresi yang ditulis oleh beberapa murid At-Taqwa Qur’anic School Tingkat SD dalam bentuk puisi. Puisi berikut ini ditulis oleh Asiah (9 tahun) berjudul “Sekolahku”,
Sekolahku banyak pepohonannya Ada belimbing, mangga, dan lain-lain
Rekolahku tidak ada dindingnya
Walaupun tidak ada
Aku tidak kegerahan
Karena ada kipas anginnya
Melalui puisinya, Aku lirik merasa baik-baik saja dengan tiadanya dinding yang membuat panas matahari bisa langsung masuk ke ruang kelasnya sebab ada kipas angin, “Walaupun tidak ada/ Aku tidak kegerahan/ karena ada kipas angin/”. Kesederhanaan menjadi tema yang dapat kita tarik dari “Sekolahku” karya Asiah ini.
Penyampaian emosi yang baik tidak harus selalu berkenaan dengan hal yang menyenangkan sebab penyampaian resah bisa dikatakan baik jika disampaikan dengan cara yang tepat. Dalam puisinya, Afreen (7 tahun) menyampaikan keresahannya dengan judul yang sama, “Sekolahku”,
Kadang-kadang Aku berpikir Kenapa sih anak anak di sekolahku suka milih temen sama suka marah marah
Sebenarnya aku gak suka anak sombong.
Dengan memberi tema “Sekolahku” dalam tugas membuat puisi, akan diketahui tentang apa sebenarnya yang anak pikirkan, yang mereka resahkan, ataupun yang mereka inginkan.
Saat lemparan tema ini diterima oleh anak maka yang dikeluarkan mereka dalam tulisan semacam yang tertulis di atas merupakan fokus seorang anak dalam melihat Sekolahku berdasarkan cara pandang masing-masing. Melalui pengungkapan seperti ini, selain mampu mewadahi ekspresi anak juga dapat dijadikan sebagai wadah pengembangan kemampuan serta kreativitas anak. Jika yang dimasukkan adalah dongeng lantas yang keluar adalah puisi tidaklah menjadi soal.
Anak tidak harus juga membuat dongeng seperti yang dikonsumsinya sebab mereka bisa mengolah apa yang didapat dengan apa yang dimiliki menjadi sesuatu yang hakikatnya merupakan ekspresi ide. Yang menjadi penting di sini adalah bahwa komunikasi antara orangtua dan anak berjalan. Jika orangtua berbicara dengan dongeng, lantas anak menyahutnya dengan puisi itu sah-sah saja.
Kita Butuh Dongeng
Dongeng setidaknya mampu mendukung proses menuju tujuan mulia pendidikan Indonesia sebab media pembelajaran ini mampu melatih kita untuk menjadi lebih peka pada kehidupan. Semoga pendidikan Indonesia akan segera selesai dari penjelmaan kakunya dan kembali pada bentuk yang seharusnya, yang cair.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar