Mengerti lingkungan, sejatinya, hanya mampu dilakukan saat diri telah lulus mengerti diri sendiri. Sebuah perjalanan yang tak pendek saat semuanya dikembalikan pada diri: siapakah saya?; dari manakah saya?; Apa tujuan hidup saya?; Ke mana saya akan kembali?
Sebuah diskusi menarik kami lakukan pada Rabu malam, 9 Desember 2009 di kosan. Saya, Dadah, dan Miu membincang pengenalan diri. Diawali dengan obrolan kecil, diselingi tawa ceria, dan makanan tentunya, kami menonton sebuah pengantar film, Celestine Prophecy. Sebagai sebuah sarana pembelajaran, cuplikan ini menjadi anjuran yang bagus.
Malam itu, saya mendapat peneguhan pembelajaran bahwa tempat bergantung segala sesuatu adalah Allah –untuk afirmasi yang ke sekian kalinya-. Allah, pemberi energi dan cinta yang tak terbatas, menguatkan saya untuk percaya diri menatap hidup. Terkatakan sebagai tindakan awam jika saya masih merasa tidak berarti saat tak ada teman ataupun saudara yang berada di dekat saya.
Bayangkan saja: saat semua teman ataupun saudara memiliki urusan masing-masing yang harus ditunaikan dalam waktu yang sama dan tempat yang berbeda, apakah saya harus sedih karena tidak ada yang menemani saya? Atau saya harus bingung sebab ingin tahu mereka berada di mana dan sedang apa? Jawabannya: tidak! Saya percaya bahwa banyak orang di sekitar kita memiliki energi dan cinta untuk dibagikan pada kita. Ingat, itu terbatas! Bagaimana jika mereka semua meninggalkan kita? Bagaimana jika ada musibah dahsyat melanda dan kita tertinggal hidup seorang diri di kerumunan orang tak dikenal?
CONTOH KECIL
Siang itu, saya berjalan menyusuri jalan setapak balik hutan antara Stasiun UI dan FIB. Tiba-tiba, ada yang mencolek pundak. Saya kaget. Saya berputar 360 derajat ke arah kiri, tapi dia sudah berada di sebelah kanan saya.
“Ooo, mbak Ika.”
“Iya. Kok kamu jalan sendirian?
“Iya, Mbak. Udah biasa kok.”
“Ooo, gitu ya. Eh, saya nggak PD lho kalo jalan sendiri gitu. Gimana gitu rasanya. Kayak ada yang kurang. Nggak sreg aja. Jadi, saya lebih suka ada barengannya.”
“Ooo.” Saya termanggut-manggut. Pun tersenyum menolehnya.
Kami berdua berjalan hingga sampai berjumpa Gedung II.
“Mbak, saya mau ke Kansas dulu ya. Mau makan. Sedari pagi, saya belum makan. Laper.”
“Sendirian?”
“Iya. Atau Mbak mau ikut?”
“Oh, nggak. Saya udah makan kok. Saya juga nggak PD lho kalo makan di Kansas sendirian. Gimana gitu rasanya. Aneh aja. Nggak nyaman. Nyaman kalo bareng temen-temen”
“Ooo.” Lagi-lagi, saya termanggut-manggut dan tersenyum menolehnya.
“Oke. Saya duluan ya.”
“Iya, Mbak.”
Kami berpisah di koridor gedung perpustakaan menuju Kansas. Mbak Ika belok kiri. Tujuan kami berlainan.
PEMBELAJARAN
Sebuah keadaan mengkhawatirkan saat kita sendiri tak mampu menjadi teman bagi jiwa dan diri kita sendiri. Begitu kasihan jika kita hanya merasa berarti saat ada orang yang memperhatikan kita. Perhatian, cinta, dan apresiasi seakan tak habis kita ingini. Fitrah memang, tapi dari mana seharusnya?
Seseorang akan diperhatikan atau diapresiasi hanya jika dia memiliki nilai untuk diperlakukan seperti itu. Perhatian, cinta, dan apresiasi itu berasal dari diri sendiri. Lalu, dari manakah asal kekuatan diri itu? Pemberi energi dan cinta yang tak terbatas adalah Allah. Dialah yang Maha Pengasih. Dia Maha atas kesemuanya, tak terbatas.
Orang yang telah mengenali diri akan pede dalam melakukan aktivitasnya. Tak perlu lagi merasa sendiri atau tak terperhatikan. Merasai perhatian yang bersumber dari arah tepat akan berefek tepat. Jika diri telah membendung perhatian lebih, tak usah lagi bermohon perhatian pada yang lain. Lebih dari itu, diri pun mampu berbagi pada sekitar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar