Minggu, 28 Februari 2010

Komentar untuk Gadis


Dalam buku Sejarah Indonesia Modern Bab 18: Percobaan Demokrasi,1950-7, M.C. Ricklefs mengatakan bahwa pendidikan diberi prioritas utama dan jumlah lembaga pendidikan meningkat secara drastis. Antara tahun 1953 dan 1960, jumlah anak yang memasuki sekolah dasar meningkat dari 1,7 juta menjadi 2,5 juta, tetapi sekitar 60 % dari jumlah itu pada umumnya keluar sebelum menyelesaikan sekolah.

Sekolah-sekolah lanjutan negeri dan swasta (kebanyakan sekolah agama) dan lembaga-lembaga tingkat universitas bermunculan di mana-mana tetapi terutama sekali di Jawa, dan banyak yang mencapai standar yang tinggi Akan tetapi, masalah-masalah ekonomi dan sosial yang dihadapi bangsa Indonesia setelah pendudukan Jepang dan Revolusi masih besar. Salah satu fenomena sosial diungkapkan oleh Toto dalam puisinya, “Gadis Peminta-Minta”

Gadis Peminta-Minta
Oleh Toto Sudarto Bachtiar

Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa

Ingin aku ikut gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemayaan riang
Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral
Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kau hafal
Jiwa begitu murni
Untuk bisa membagi dukaku

Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu tak ada yang punya
Dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda
(1955)

Cukup ironis jika di atas dinyatakan bahwa jumlah lembaga meningkat secara drastis kemudian 60% dari 2,5 juta peserta didik tingkat dasar pada umumnya keluar sebelum menyelesaikan sekolah. Mungkin, gadis kecil dalam puisi di atas salah satunya. Seringkali kita temui gadis kecil peminta-minta di sepanjang kota, seperti di angkot dan perempatan jalan. Setiap aku lirik bertemu dengan gadis kecil berkaleng kecil, ia merasa bahwa kedukaan yang kekal menyelimuti si gadis meski ia terlihat tersenyum di hadapnya. Pengharapan gadis pada si aku untuk memberikan uang begitu besar hingga digambarkan ia tengadah pada aku lirik bagaikan tengadah pada bulan merah jambu.

Saat gadis kecil pergi meninggalkannya, ia merasa bahwa kota telah kehilangan jiwanya. Aku lirik menjadi penasaran dan ingin mengikutinya sampai rumah. Tak hanya ingin, aku lirik benar-benar membuntuti si gadis kecil hingga sampai ke rumahnya, di bawah jembatan. Kegembiraan dalam kemayaan riang, itulah kehidupannya. Si gadis benar-benar miskin serta kegemerlapan dan keriangannya hanyalah angan-angannya. Angan-angan yang begitu tinggi digambarkan pemuisi dengan cara memperbandingkannya dengan menara katedral. Pemukiman kumuh tak menghalanginya untuk berangan tinggi yang melintas di sepanjang kota, tempat yang telah ia hafal. Begitu murninya hati si gadis kecil hingga membuat aku lirik tak tega untuk berbagi duka dengannya.

Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu tak ada yang punya
Dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda

Aku lirik begitu khawatir jika gadis kecil menghilang, entah pindah ke tempat lain ataupun mati. Jika si gadis tak ada lagi, bulan yang selalu menemani malamnya tak lagi ada yang memiliki. Tak hanya itu, kota ini tak lagi punya tanda.

Pengungkapan fenomena sosial ini memperlihatkan keresahan pemuisi terhadap lingkungan sekitarnya. Kota metropolitan tak pernah lepas dari dinamika kehidupan, kehidupan kaum elitenya dan kaum pinggiran yang miskin dan menderita.

Ikatan Makna

Rasa itu kuikat pada kata bermakna
Merasai berpikir itu menyesakkan
Sesak untuk berpikir bukanlah sakit
:pertanda lapang kan jumpa
rasa mencobainya menjadi biasa
Niscaya kan jadi insan bijaksana

Depok, 6 Desember 2009